Selasa, 22 November 2011

Mencari Adab dalam Politik


Mencari Adab dalam Politik

Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 22 November 2011



Menyaksikan bagaimana atlet sepeda gunung, Risa Suseanty, menangis dengan air mata yang terus jatuh, memegang erat medali emas yang baru saja dikalungkan di lehernya, siapa pun orang Indonesia tentu akan merasa ikut terharu, bangga, dan berterima kasih, bahkan turut menitikkan air mata karenanya.

Sebagian dari kita mungkin akan lebih merasa bersyukur karena bukan saja sudah lama kita tidak merasakan momen semacam itu, melainkan juga karena mereka merasakan bagaimana kehidupan kita belakangan ini,lebih banyak diisi oleh karut-marut dan percekcokan politik,khususnya di kalangan elite,yang kita tidak tahu kapan akan berakhir.

Itulah harga penting dari prestasi Risa dan para atlet kita lainnya yang sukses membawa kita kembali ke kejayaan olahraga, setelah lebih dua dekade kita tenggelam hampir ke dasar. Prestasi sebagai juara umum bukan hanya berharga bagi olahraga, melainkan juga bagi pemulihan rasa percaya diri kita sebagai bangsa.

Maka, bagaimana kita tidak terharu dan berterima kasih sekali pada Umar Syarif, karateka senior yang di usia senja— bagi seorang atlet—masih mampu mempersembab kan emas, berseru lantang, lalu bersujud di sajadah yang ternyata bendera Merah Putih, benda yang tak pernah dia pindahkan dari dalam tas dan dibawa ke mana saja dia pergi.

Adakah dedikasi dan kecintaan kepada bangsa serta profesi sehebat itu pada kaum elite (politik) kita? Adakah Merah Putih selalu terbawa di hati dan saku mereka? Mungkin ada lambang Garuda di saku itu, tapi apakah isinya adalah sungguh pundi-pundi halal yang mereka dapatkan?

Pengkhianatan

Sungguh akan menjadi pemandangan yang menyakitkan, menghina, bahkan bisa disebut mengkhianati bangsa sendiri, ketika masih banyak kemiskinan di sudut-sudut negeri ini, ketidakadilan bagi rakyat kecil, dan kematian tanpa alasan; ketika anak-anak muda belasan atau likuran tahun— seperti perenang remaja fenomenal, I Gde Siman Sudartawa, atau Patrich Wanggai dan Titus Bonai, serta tim PSSI-23 lainnya—justru berpeluh keringat dan tekanan,

kehilangan masa kanak-kanak dan remajanya, memperjuangkan medali untuk negerinya, namun di saat yang sama kaum elite,pejabat publik,dan wakil rakyatnya, bermewah-mewah menggunakan fasilitas, otoritas, atau kewenangan yang diberikan rakyat pada mereka. Sungguh seperti serangan ke ulu hati, saat kita hanya bisa menonton beberapa anggota parlemen, yang setelah ia diangkat menjadi pejabat publik, mengendarai dan memenuhi lapangan parkir gedung (milik) rakyat itu dengan mobil-mobil berharga miliaran rupiah,yang mungkin sama nilainya dengan biaya pembangunan sebuah sekolah dasar atau program kesehatan sebuah provinsi.

Semua itu akan benar-benar menjadi tragis bagi bangsa ini, ketika elite pejabat itu bukannya segera menyadari kekeliruannya, malah justru melakukan pembelaan superdefensif dengan cara balas mengejek dan mengkritik pihak (person dan lembaga) lain yang selama ini tekun memberi koreksi.

Bukannya berterima kasih pada koreksi-koreksi itu, mereka—elite bermasalah itu—justru balik menantang— memanfaatkan kelemahan dan kurang efektifnya—KPK untuk membuktikan dulu apakah semua kemewahan itu hasil korupsi atau bukan. Tentu saja, selain tidak elegan, defensi semacam itu makin menjauhkan mereka—juga kita—dari substansi masalah sebenarnya: tidak berkembang atau semakin buruknya kualitas budaya politik yang kita kembangkan selama ini.

Bahwa cara hidup yang menyertai atau dijalani seseorang saat ia terlibat dalam politik, terlebih saat ia mendapat kepercayaan publik, bukanlah semata persoalan pantas atau tidak pantas, terbukti atau tidak/belumnya perbuatan koruptif, apalagi sekadar sebagai objek retorika belaka. Cara hidup seseorang, dalam satuan masyarakat kecil (kelompok, komunitas) atau luas (suku atau bangsa), sebenarnya menyangkut hal yang lebih dalam dan universal.

Di dalam cara hidup itu terkandung nilai-nilai,juga moralitas, yang dibangun oleh komunitas atau bangsa sebagai sebuah konsensus bagi berlangsungnya kepentingan bersama. Bagi masyarakat (sukusuku) dan bangsa Indonesia, konsensus itu sudah dihasilkan, dikembangkan,dan dihormati sejak lama, sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Semua itu menjadi fundamen atau tiang-tiang yang meneguhkan keberadaan bangsa ini, memosisi-kannya sebagai sebuah adab yang pantas dihormati oleh bangsa-bangsa lain.

Di situlah inti: kebudayaan. Sebagai hasil dari oleh kemanusiaan yang komprehensif, yang ditujukan bukan hanya untuk survivalitas spesies manusia, melainkan juga untuk memuliakan kehidupannya. Kebudayaan adalah kata benda,katasifat,dankatakerja, di mana semua manusia mau tidak mau mengacu padanya. Bila sebuah usaha,dalam sektor atau dimensi hidup apa pun, melalaikan atau tidak mengindahkan peran dan posisinya.

Dapat dipastikan siapa pun yang menjalankan usaha itu akan terjerembab dalam ketiada- adaban, bahkan biadab. Kemanusiaannya pun akan lenyap dan semua respek yang pantas dialamatkan padanya (sebagai makhluk yang beradab) akanmelesetdaridirinya. Di titik pengertian inilah, sebuah adab politik yang penuh dengan respek harus diisi dengan budaya politik yang mampu memuliakan tidak hanya dirinya sendiri,tapi juga manusia dan kemanusiaan seumum dan seutuhnya.

Bila tidak dengan ideal semacam itu, politik lebih baik tidak ada, lebih dilenyapkan sebagai salah satu proses kita berbangsa dan bernegara. Politik adalah sebuah kerja yang pada dasarnya suci,karena ia membimbing manusia atau masyarakat yang ada di wilayahnya untuk bekerja sama, mengorganisasikan kepentingan mereka,untuk mencapai cita-cita luhur yang mereka sepakati bersama. Karena itu, dalam kodratnya politik memang memiliki hasrat dan insting untuk memimpin.

Dan sebagai pemimpin, ia tidak dapat mengelak dari perannya sebagai acuan dan teladan. Di sinilah tuntutan alamiah seorang pemimpin untuk mampu hidup dengan etos dan etika tersendiri, seperti disiplin hidup yang asketik,atau zuhud dalam tradisi atau sejarah Islam.

Sayangnya, apa yang terlihat, terdengar, dan terberitakan belakangan ini, kaum elite politik kita, para wakil rakyat, dan pejabat pemerintahan lainnya justru bertindak dan hidup dengan cara yang berlawanan dengan etos dan etika itu. Sebuah bukti bahwa kebudayaan politik kita masih belum terbangun, sehingga ia tidak kunjung melahirkan adab yang pantas dilimpahi oleh respek. Itulah juga akibat karena begitu lamanya kebudayaan (yang dianggap sekadar sektor minor dalam pembangunan) kita kucilkan, remehkan, bahkan hinakan. Maka sudahilah, cukuplah semua itu!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar