Prospek Partai Baru
Burhanuddin Muhtadi,
PENGAJAR FISIP UIN JAKARTA, PENELITI LEMBAGA SURVEI INDONESIA
Sumber : SINDO, 23 November 2011
Kementerian Hukum dan HAM menetapkan
bahwa dari 14 partai baru yang mendaftar,baru Partai Nasional Demokrat (Nas-
Dem) yang memenuhi persyaratan berbadan hukum.
Sebanyak 10 partai baru tidak lolos,
sedangkan tiga partai sisanya, yakni Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara
(PKBN),Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), dan Partai Karya Republik (PKR)
diberi waktu untuk segera melengkapi administrasi. Partai-partai baru yang
lolos verifikasi administrasi belum bisa bernafas lega karena masih ada tahapan
berikutnya, yakni verifikasi aktual oleh KPU.
Jika mereka lolos dari lubang jarum ini, mereka bisa bersaing dalam Pemilu 2014. Bagaimana peluang elektoral partai-partai baru dalam Pemilu 2014? Apakah gejala deparpolisasi atau penurunan kepercayaan publik terhadap partai bisa dimanfaatkan oleh partai baru?
Deparpolisasi
Beberapa tahun terakhir, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendeteksi gejala emoh partai atau deparpolisasi. Menurut Biorcio dan Mannheimer (1995), deparpolisasi bisa dijelaskan melalui dua dimensi, yakni dimensi afeksi atau party-ID dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional).
Survei nasional LSI pada Mei 2011 menunjukkan hanya 20% pemilih yang memiliki party-ID.Pemilih loyal di setiap partai tak lebih dari 5%. Akibatnya, volatilitas dukungan partai rentan berubah.Mayoritas responden menyatakan kurang atau sama sekali tidak siap memilih (54,9%).Mereka mengambang, mungkin menunggu waktu,menunggu partai atau calon yang lebih meyakinkan, atau mungkin tidak akan memilih.
Jumlah ini potensial mengubah peta kekuatan partai secara drastis.Ini pula yang menjelaskan mengapa pemenang pemilu selalu berubah-ubah. Deparpolisasi juga diukur sejauh mana partai menjalankan fungsi agregasi kepentingan publik dan pendidikan politik.
Survei menemukan bahwa mayoritas responden menilai fungsi intermediasi partai sangat buruk. Publik disuguhi korupsi yang melibatkan eliteelite partai, moralitas pribadi tokoh partai, melempemnya fungsi legislasi DPR, dan lainlain membuat gejala emoh partai mencapai titik puncak.
Prospek Elektoral
Stabilitas dukungan partai politik dapat terjadi bila pemilih mengidentikkan diri dengan partai, tapi bila hanya sedikit yang memiliki party ID, kontinuitas dukungan pada partai akan lemah (Campbell dkk, 1960). Besarnya pemilih mengambang sebagaimana temuan survei di atas dapat memengaruhi peta kekuatan partai politik pada 2014. Floating-mass ini bisa menjadi insentif bagi partai baru.
Namun,jika partai-partai baru gagal memberikan diferensiasi dan positioningyang jelas, nasib mereka juga akan dijauhi pemilih. Sebaliknya, jika partaipartai baru mampu menampilkan program dan citra yang baik, tentu publik akan melirik. Jika partai-partai baru cerdas, mereka seharusnya mampu memanfaatkan gejala penurunan kepercayaan terhadap partai-partai lawas tersebut untuk meningkatkan akseptabilitas di mata publik. Untuk itu, partai-partai baru harus memperbaiki supplyside- nya.
Partai-partai baru harus memberikan tawaran atau alternatif politik yang lebih baik melalui kinerja dan program partai yang lebih baik dan menawarkan calon anggota DPR dan calon pejabat publik yang lebih baik. Mereka harus hadir bukan hanya pada waktu pemilu. Citra partai yang bersih dari korupsi juga harus ditingkatkan. Jika tidak,partai baru tak usah bermimpi ampu bersaing dengan partai lama.
Partai-partai baru juga bisa terkena getah deparpolisasi. Partai-partai baru dianggap setali tiga uang dengan partaipartai lama yang sedang mengalami krisis kepercayaan.Apalagi jika tokoh-tokoh partai baru ternyata berasal dari migrasi elite dari partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Masih minimnya pemilih yang melirik partai-partai baru disebabkan,terutama oleh masih kurang populernya partai baru.
Jangankan di kalangan masyarakat luas, di kalangan kelas menengah yang memiliki telepon di 12 kota besar saja ditemukan hanya NasDem yang memiliki tingkat kedikenalan 67,7%, lalu disusul Partai SRI 24,3%, PKBN 16,3%, dan PKR 13%.Rumus perilaku pemilih yang paling mendasar: “bagaimana publik memilih jika kenal saja tidak?” Di antara partai-partai baru yang tingkat popularitasnya memadai memang hanya Partai NasDem.
Selain ditunjang sumber daya finansial mencukupi, NasDem juga didukung kekuatan media sehingga sedikit banyak sudah bisa bersaing dengan beberapa partai menengah yang lolos parliamentary threshold dalam pemilu yang lalu.Namun,basis sosial atau ceruk pemilih Partai NasDem belum kelihatan karena memang partai ini masih sangat baru. Partai ini juga masih kekurangan tokohtokoh yang memiliki magnet elektoral kuat terutama di kalangan pemilih yang tinggal di Jawa.
Perlu diingat, sejarah elektoral kita tak pernah dipisahkan dari kekuatan tokoh di balik sebuah partai. Adapun kekuatan Partai SRI terletak di figur Sri Mulyani yang diharapkan menjadi vote-getter partai berlambang sapu lidi ini. Sayangnya, sumber daya finansial dan jaringan Partai SRI masih lemah sehingga popularitasnya masih terbatas. Problem popularitas juga menghinggapi PKBN dan PKR.
Popularitas partai baru tersebut bersifat necessary condition (syarat mutlak) agar elektabilitas partai baru meningkat, tapi tidak memadai (not sufficient). Tingkat kedikenalan partai baru harus diikuti pada kualitas popularitas yang positif. Program-program partai baru bukan hanya retorika, melainkan harus diikuti dengan aksi nyata agar kredibilitas partai baru lebih baik dibanding partai-partai lama.
Jika kualitas partai baru sama buruk atau bahkan lebih buruk dibanding partai lama, publik menghadapi dilema konsumen politik.Pemilih hanya dihadapkan pada dua pilihan, tetap memilih dari pilihan yang buruk atau menambah deretan panjang golput. ●
Jika mereka lolos dari lubang jarum ini, mereka bisa bersaing dalam Pemilu 2014. Bagaimana peluang elektoral partai-partai baru dalam Pemilu 2014? Apakah gejala deparpolisasi atau penurunan kepercayaan publik terhadap partai bisa dimanfaatkan oleh partai baru?
Deparpolisasi
Beberapa tahun terakhir, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendeteksi gejala emoh partai atau deparpolisasi. Menurut Biorcio dan Mannheimer (1995), deparpolisasi bisa dijelaskan melalui dua dimensi, yakni dimensi afeksi atau party-ID dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional).
Survei nasional LSI pada Mei 2011 menunjukkan hanya 20% pemilih yang memiliki party-ID.Pemilih loyal di setiap partai tak lebih dari 5%. Akibatnya, volatilitas dukungan partai rentan berubah.Mayoritas responden menyatakan kurang atau sama sekali tidak siap memilih (54,9%).Mereka mengambang, mungkin menunggu waktu,menunggu partai atau calon yang lebih meyakinkan, atau mungkin tidak akan memilih.
Jumlah ini potensial mengubah peta kekuatan partai secara drastis.Ini pula yang menjelaskan mengapa pemenang pemilu selalu berubah-ubah. Deparpolisasi juga diukur sejauh mana partai menjalankan fungsi agregasi kepentingan publik dan pendidikan politik.
Survei menemukan bahwa mayoritas responden menilai fungsi intermediasi partai sangat buruk. Publik disuguhi korupsi yang melibatkan eliteelite partai, moralitas pribadi tokoh partai, melempemnya fungsi legislasi DPR, dan lainlain membuat gejala emoh partai mencapai titik puncak.
Prospek Elektoral
Stabilitas dukungan partai politik dapat terjadi bila pemilih mengidentikkan diri dengan partai, tapi bila hanya sedikit yang memiliki party ID, kontinuitas dukungan pada partai akan lemah (Campbell dkk, 1960). Besarnya pemilih mengambang sebagaimana temuan survei di atas dapat memengaruhi peta kekuatan partai politik pada 2014. Floating-mass ini bisa menjadi insentif bagi partai baru.
Namun,jika partai-partai baru gagal memberikan diferensiasi dan positioningyang jelas, nasib mereka juga akan dijauhi pemilih. Sebaliknya, jika partaipartai baru mampu menampilkan program dan citra yang baik, tentu publik akan melirik. Jika partai-partai baru cerdas, mereka seharusnya mampu memanfaatkan gejala penurunan kepercayaan terhadap partai-partai lawas tersebut untuk meningkatkan akseptabilitas di mata publik. Untuk itu, partai-partai baru harus memperbaiki supplyside- nya.
Partai-partai baru harus memberikan tawaran atau alternatif politik yang lebih baik melalui kinerja dan program partai yang lebih baik dan menawarkan calon anggota DPR dan calon pejabat publik yang lebih baik. Mereka harus hadir bukan hanya pada waktu pemilu. Citra partai yang bersih dari korupsi juga harus ditingkatkan. Jika tidak,partai baru tak usah bermimpi ampu bersaing dengan partai lama.
Partai-partai baru juga bisa terkena getah deparpolisasi. Partai-partai baru dianggap setali tiga uang dengan partaipartai lama yang sedang mengalami krisis kepercayaan.Apalagi jika tokoh-tokoh partai baru ternyata berasal dari migrasi elite dari partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Masih minimnya pemilih yang melirik partai-partai baru disebabkan,terutama oleh masih kurang populernya partai baru.
Jangankan di kalangan masyarakat luas, di kalangan kelas menengah yang memiliki telepon di 12 kota besar saja ditemukan hanya NasDem yang memiliki tingkat kedikenalan 67,7%, lalu disusul Partai SRI 24,3%, PKBN 16,3%, dan PKR 13%.Rumus perilaku pemilih yang paling mendasar: “bagaimana publik memilih jika kenal saja tidak?” Di antara partai-partai baru yang tingkat popularitasnya memadai memang hanya Partai NasDem.
Selain ditunjang sumber daya finansial mencukupi, NasDem juga didukung kekuatan media sehingga sedikit banyak sudah bisa bersaing dengan beberapa partai menengah yang lolos parliamentary threshold dalam pemilu yang lalu.Namun,basis sosial atau ceruk pemilih Partai NasDem belum kelihatan karena memang partai ini masih sangat baru. Partai ini juga masih kekurangan tokohtokoh yang memiliki magnet elektoral kuat terutama di kalangan pemilih yang tinggal di Jawa.
Perlu diingat, sejarah elektoral kita tak pernah dipisahkan dari kekuatan tokoh di balik sebuah partai. Adapun kekuatan Partai SRI terletak di figur Sri Mulyani yang diharapkan menjadi vote-getter partai berlambang sapu lidi ini. Sayangnya, sumber daya finansial dan jaringan Partai SRI masih lemah sehingga popularitasnya masih terbatas. Problem popularitas juga menghinggapi PKBN dan PKR.
Popularitas partai baru tersebut bersifat necessary condition (syarat mutlak) agar elektabilitas partai baru meningkat, tapi tidak memadai (not sufficient). Tingkat kedikenalan partai baru harus diikuti pada kualitas popularitas yang positif. Program-program partai baru bukan hanya retorika, melainkan harus diikuti dengan aksi nyata agar kredibilitas partai baru lebih baik dibanding partai-partai lama.
Jika kualitas partai baru sama buruk atau bahkan lebih buruk dibanding partai lama, publik menghadapi dilema konsumen politik.Pemilih hanya dihadapkan pada dua pilihan, tetap memilih dari pilihan yang buruk atau menambah deretan panjang golput. ●
v
BalasHapus