Hilangnya Kultur Kerakyatan dalam Kereta Api
Darmaningtyas,
DIREKTUR INSTRAN
(INSTITUT STUDI TRANSPORTASI)
Sumber : KORAN TEMPO, 22 November 2011
PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) di bawah kepemimpinan Ign. Jonan
sekarang sedang menata beberapa stasiun utama, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta,
agar menjadi lebih rapi, bersih, dan nyaman bagi penumpang. Bentuk penataannya bermacam-macam:
mengganti kios-kios yang ada dengan bangunan model baru, memasang pagar di
setiap peron agar orang tidak lalu-lalang yang dapat mengganggu perjalanan KA
dan membahayakan keselamatannya, maupun meninggikan peron itu sendiri agar enak
untuk naik-turun penumpang. Konteks tulisan ini hanya untuk stasiun jarak jauh.
Manajemen PT KAI sejak 1 November 2011 juga melarang
pengantar/penjemput masuk ke lingkungan dalam stasiun dengan cara tidak lagi
melayani penjualan tiket peron. Pengantar/penjemput cukup berhenti di depan
loket pemberangkatan. Padahal, sejak kereta api dioperasikan pertama kali
sampai akhir Oktober 2011, para pengantar/ penjemput penumpang dapat turut
serta masuk ke lingkungan dalam stasiun dengan membeli tiket peron.
Ide dasar seluruh kebijakan itu bagus, karena dimaksudkan untuk
memberi kenyamanan bagi penumpang dan menjaga ketertiban maupun kerapian
stasiun. Itu
yang terjadi di negara-negara maju: stasiun khusus untuk mobilitas
KA dan penumpang. Tapi, mengingat adanya perbedaan karakter sosial maupun
budaya antara
negara-negara maju dan Indonesia, apa yang bagus di negara-negara
maju belum tentu cocok 100 persen diterapkan di Indonesia.
Masyarakat Eropa, Amerika, dan Jepang adalah masyarakat
individualis, di mana manusia sebagai individu sangat otonom dan dominan.
Bahkan dalam hal pernikahan, misalnya, mereka tidak perlu meminta persetujuan
orang tua, sanak-famili, atau keluarga besar; cukup mereka putuskan sendiri.
Hal itu berbeda dengan masyarakat Indonesia, di mana individu tidak bisa otonom
sepenuhnya, tapi amat bergantung pada lingkungan sosialnya. Maka, keputusan
memilih pasangan hidup pun tidak dapat dibuat sendiri, tapi perlu persetujuan
orang tua atau keluarga besar. Perbedaan karakter sosial dan budaya seperti
itulah yang membuat aturan yang bagus di negara-negara maju belum tentu pas
ketika diterapkan secara utuh di Indonesia.
Peran Pengantar
Tradisi mengantar sanak-famili bepergian, termasuk ke stasiun
kereta api, adalah bagian dari kultur masyarakat Indonesia sebagai makhluk
sosial.Kodratnya sebagai
makhluk sosial itulah yang mendorong orang Indonesia ingin selalu
mengantar keluarga, saudara, teman, atau kenalan ke stasiun, bandara, pelabuhan,
atau terminal.
Meskipun yang akan diantarkan/dijemput itu sudah dewasa dan bisa
sampai ke tujuan tanpa diantar, ada perasaan berdosa atau tidak menghargai
kalau keluarga, saudara, teman, atau kenalan tidak diantar/dijemput sampai
ke/di stasiun, bandara, pelabuhan,
atau terminal. Sama merasa berdosanya ketika seseorang mengantar
tapi tidak sampai akhir dan tidak tahu persis saat keberangkatan yang diantar. Dengan
kata lain, mengantar seseorang pergi ke stasiun, bandara, pelabuhan, atau
terminal itu bukan sekadar mengedrop seseorang untuk sampai ke tujuan
perjalanan, tapi ada prosesi sosial-budaya yang sedang dibangun oleh
masyarakat. Prosesi sosialnya adalah menjalin suasana keakraban antar sesama,
sedangkan prosesi budayanya itu berupa penghormatan kepada orang lain sampai
batas akhir.
Peran pengantar sebagai bagian dari proses reproduksi sosial dan
budaya itu tidak bisa digantikan oleh orang lain atau mesin-mesin robot.
Sebagai contoh, ketika yang akan pergi ke stasiun kereta api itu adalah
ayah/ibu kita, maka, meskipun di rumah ada beberapa tenaga tukang kebun/sopir/penjaga
rumah yang dapat dimintai tolong untuk mengantar ayah/ibu kita ke stasiun, kita
tidak akan melakukannya. Sebab, kalau hal itu dilakukan, kita pasti akan mendapat
kecaman dari orang tua atau masyarakat sekitar sebagai anak yang kurang ajar,
tidak sopan, tidak menghargai orang tua. Itu menunjukkan bahwa mengantar
seseorang ke stasiun KA bukanlah sekadar bermakna fungsional, tapi lebih
bermakna sosial-kultural. Aspek sosial-kultural yang berbeda dengan negara-negara
lain itulah yang justru merupakan kekayaan yang kita miliki dan perlu dipertahankan.
Makna sosial dan kultural bagi pengantar ke stasiun kereta api itu
menjadi amat terasa ketika peluit kereta api dibunyikan tanda bahwa KA akan
diberangkatkan. Baik penumpang maupun pengantar sama-sama saling melambaikan
tangan sembari mengucapkan ”dha.. dha...”. Pada saat melambaikan tangan
tersebut, ada yang meneteskan air mata perpisahan. Sebab, boleh jadi bahwa yang
diantar itu akan bepergian jauh, atau mungkin berpisah dalam waktu lama, dan bahkan
mungkin tidak
bisa membayangkan kapan akan bertemu lagi. Jadi, lambaian tangan ”dha..dha...”pada
saat kereta api akan diberangkatkan itu mempunyai banyak isyarat. Itulah ciri khas
angkutan kereta api dibanding moda transportasi lainnya. Sekarang tiba-tiba
makna sosial dan kultural itu dihilangkan begitu saja demi pertimbangan pragmatis:
ketertiban.
Bahwa stasiun KA harus steril dari nonpenumpang. Secara
manajerial, betul.Tapi, dalam jangka panjang, hal itu menghancurkan kultur kekeluargaan
masyarakat Indonesia.
Pelarangan pengantar/penjemput masuk ke dalam stasiun tanpa
disertai perbaikan
pelayanan juga terbukti menyulitkan penumpang yang membawa barang
cukup banyak, atau penumpang lanjut usia, anak balita, dan ibu hamil. Sebab,
saat mau naik/turun KA, mereka repot sendiri tanpa ada yang membantu. Petugas
kuli angkut yang berseragam jelas hanya melayani mereka yang membayar.
Seharusnya infrastruktur dan sumber daya manusia yang melayani disiapkan
terlebih dulu, baru kemudian melarang. Bukan melarang dulu tanpa memberi
alternatif jalan keluarnya bagi penumpang.
Tidak Merakyat Lagi
Penataan fisik stasiun-stasiun utama menjadi lebih bagus, dan
sterilisasi stasiun dari nonpenumpang, juga berdampak sosial-ekonomi pada
masyarakat sekitar. Terjadi pergeseran kelas penghuni kios-kios di beberapa
stasiun utama. Semula, kios-kios
tersebut disewakan kepada masyarakat sekitar sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan mereka: ada yang menyewa 2 x 3 meter saja, ada pula
yang menyewa 3 x 4
meter atau bahkan lebih. Tapi, setelah dibenah dengan ukuran yang
hampir seragam
dan kondisi bangunannya lebih baik, otomatis harga sewa naik dan
tidak terjangkau
lagi oleh pemilik kios lama. Maka, pemilik kios lama pun
tersingkir dan digantikan oleh mereka yang memiliki modal besar, seperti
Indomaret, Alfamart, KFC, dan sejenisnya. Akhirnya, banyak orang kecil yang semula
buka usaha di stasiun KA kemudian tutup dan jadi penganggur. Konon, di Solo,
ada seorang pedagang di Stasiun Balapan yang tergusur itu mengalami stres dan
kemudian meninggal.
Pembenahan stasiun bukan hanya mengganti pedagang kecil dengan
yang besar, tapi juga melarang pedagang asongan masuk ke dalam stasiun. Selama
berpuluh tahun mereka berjualan di stasiun dan sebetulnya tidak mengganggu,
karena kehadirannya
juga dibutuhkan oleh penumpang. Tapi sekarang mereka tidak boleh berjualan
lagi.
Tergusurnya pedagang kecil dari kios, dan pedagang asongan dari
dalam stasiun KA, menunjukkan bahwa moda angkutan KA tidak merakyat lagi. Kereta
api mengalami reduksi peran hanya sebagai alat angkut, bukan sebagai moda transportasi
dan sekaligus transformasi ekonomi,
sosial, dan budaya. Dari konteks transformasi ekonomi, sosial, dan budaya itulah,
pembenahan stasiun-stasiun menjadi sangat fungsional-kapitalistik perlu
dikoreksi. Sebab, bila yang terjadi hanya ketertiban doang, dengan
menyingkirkan napas kerakyatan kereta api, itu merupakan kemunduran bagi moda
PT KAI sebagai korporasi negara dalam berkontribusi membangun bangsa.
Justru kelebihan kereta api selama ini adalah perannya sebagai jasa
transportasi serta transformasi ekonomi, sosial, dan budaya. Pembangunan KA
dapat dinilai maju bila masih tetap mampu menjaga fungsi transportasi dan transformasi
tersebut. Bila tereduksi hanya berfungsi sebagai jasa transportasi, hal itu sama
saja dengan angkutan berbasis jalan. Bedanya hanya jumlah penumpangnya yang
dapat diangkut lebih banyak.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar