Jumat, 11 November 2011

Kontroversi Pengadilan Tipikor Daerah


Kontroversi Pengadilan Tipikor Daerah
W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PROG. PASCASARJANA UNIVERSITAS ATMAJAYA, YOGYAKARTA
Sumber : KOMPAS, 11 November 2011


Wacana yang mempersoalkan eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi di daerah kini semakin menguat. Bahkan, cukup banyak pendapat yang menghendaki pembubaran pengadilan tipikor di daerah.

Pembentukan pengadilan tipikor didasarkan atas Pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Pasal 54 Ayat (1) UU KPK tersebut mengatur bahwa pengadilan tipikor berada di lingkungan peradilan umum. Selanjutnya, Ayat (2) dari Pasal 54 UU tersebut menentukan bahwa untuk pertama kali pengadilan tipikor, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Dualisme pengaturan mengenai lokus kewenangan pengadilan tipikor mulai tampak dari pengaturan pada Pasal 54 Ayat (2) UU KPK yang semakin terlihat rancu dengan adanya pengaturan Pasal 54 Ayat (3) UU KPK yang mengatur bahwa pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi, selain sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), dilakukan secara bertahap dengan keputusan presiden. Dengan adanya pengaturan tersebut, terkesan adanya politik hukum untuk mengatur secara khusus eksistensi pengadilan tipikor sebagai spesialisasi di lingkungan peradilan umum di seluruh wilayah di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 pernah menguji secara materi beberapa ketentuan dari UU KPK tersebut. Dari 10 petitum yang diajukan uji materi, hanya satu yang dikabulkan MK, yaitu yang berkaitan dengan Pasal 53, yang substansinya menyangkut pengadilan tipikor.

Substansi permohonan yang terkait Pasal 53 ini menyatakan bahwa terdapat dualisme pengadilan yang mengadili perkara korupsi, yakni peradilan umum (pengadilan negeri) dan peradilan khusus (pengadilan tipikor yang secara struktural juga di bawah lingkungan peradilan umum). Keadaan demikian oleh MK dinyatakan ada diskriminasi di depan hukum, yang tidak sejalan/inkonstitusional dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.

Akhirnya, dalam uji materi tersebut, MK memutuskan bahwa Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan standar ganda peradilan korupsi antara peradilan umum yang dilakukan pengadilan negeri dan pengadilan tipikor. Akan tetapi, MK tidak menyatakan eksistensi pengadilan tipikor bertentangan dengan UUD 1945. MK hanya memutuskan agar dasar hukum pengadilan tipikor diperkuat dengan membuat UU baru. MK juga menentukan waktu paling lama tiga tahun setelah putusan MK ini harus sudah ada UU pengadilan tipikor yang baru.

UU Khusus

Kontroversi menyangkut eksistensi pengadilan tipikor di daerah, yang sekarang berkembang luas, sebenarnya dipicu oleh eksistensinya yang tak diatur secara khusus melalui undang-undang yang seharusnya bisa secara lebih komprehensif mengatur eksistensi pengadilan tipikor tersebut. Pengaturan mengenai pembentukan pengadilan tipikor seharusnya mengikuti putusan MK tersebut, yang menghendaki adanya sebuah UU khusus.

Melalui sebuah UU khusus seharusnya bisa dilegislasi secara lebih komprehensif konsiderasi, asas/prinsip pembentukan, mekanisme pengisian/pengangkatan hakim tipikor beserta persyaratannya secara lebih ketat terkait kompetensi para hakim tipikor dan berbagai pengaturan yang mampu memperkuat kapasitas institusi pengadilan tipikor sebagai sebuah pengadilan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary). Ini sejalan dengan sifat tindak pidana korupsi yang juga dinisbatkan sebagai suatu kejahatan luar biasa.

Maka, pilihan untuk mempertahankan eksistensi pengadilan tipikor tetap merupakan sebuah kebijakan luar biasa yang secara normatif tetap dimungkinkan.

Namun, sambil menanti lahirnya UU pengadilan tipikor yang baru, sebagaimana diamanatkan oleh MK, tafsir atas Pasal 54 Ayat (3) UU KPK harus dilihat sebagai sebuah klausul diskresi bagi pemerintah yang untuk saat ini berwenang untuk meninjaunya kembali. Artinya, pengadilan tipikor dikembalikan hanya ada di Jakarta untuk mencegah banalitas pemberantasan korupsi di daerah yang kini kian marak terjadi melalui pembebasan para pelaku korupsi melalui sejumlah putusan yang kontroversial.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar