Tantangan Revolusi Mesir
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir;
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Sumber
: KOMPAS, 25 November 2011
Huru-hara
politik di Mesir masih jauh dari ”berakhir”. Pelengseran paksa Hosni Mubarak
pada 11 Februari lalu yang dimotori kekuatan revolusi 25 Januari seakan-akan
membuka sejumlah persoalan baru yang tak kalah berat ketimbang masalah yang
dihadapi rakyat Mesir saat Mubarak berkuasa.
Bentrokan
antara massa dan aparatur keamanan yang kembali terjadi di Alun-alun Tahrir
menunjukkan bahwa masa depan Mesir setelah revolusi 25 Januari ”masih gelap”.
Sejumlah media yang terbit di Timur Tengah melaporkan sedikitnya 35 orang
menjadi korban bentrok mutakhir yang terjadi sejak Jumat, 18 November lalu
(Aljazeera.net, 22/11).
Panggung Kekerasan
Aksi
kekerasan bukan hanya kali ini saja terjadi di Mesir setelah revolusi 25
Januari. Yang berbahaya tentulah apabila aksi kekerasan bercorak agama. Pada 9
Oktober terjadi bentrokan antara militer Mesir dan demonstran dari kaum Kristen
Koptik. Bentrok itu sedikitnya berakibat 26 jiwa melayang dan ratusan orang
luka-luka. Pada mulanya adalah demonstrasi umat Kristen Mesir: mengecam
pelbagai aksi diskriminatif yang dialami umat Kristen Koptik, khususnya di
daerah terpencil. Gereja dirusak dan dibakar di kawasan Aswan.
Jauh
sebelumnya, pecah konflik bermotif agama di Provinsi Imbabah yang tak jauh dari
Kairo antara kaum Muslim dan umat Kristen. Konflik ini mengorbankan puluhan
orang dan rumah ibadah (yang dibakar). Pelbagai konflik berlatar agama di Mesir
mutakhir terjadi hampir bersamaan dengan pemunculan kekuatan politik agamis
radikal yang menambah suram bayangan masa depan Mesir. Salah satu dari kekuatan
politik agamis itu belakangan dikenal sebagai Islam Salafi.
Kehadiran
Islam Salafi menimbulkan kecemasan baru di kalangan akademisi dan elite Mesir.
Bukan semata-mata karena mereka hendak menjadikan Mesir sebagai negara agama,
melainkan lantaran kelompok ini acap tampil lebih radikal dibandingkan dengan
Ikhwan Muslimin (IM) yang dianggap sebagai kekuatan politik agama paling keras
pada era Mubarak.
Tentu
terlalu awal, bahkan tak bertanggung jawab, mengaitkan pelbagai macam konflik
agama itu dengan kelompok agamis radikal. Terlebih lagi sampai menuduh
kekuatan-kekuatan itu berada di balik semua konflik yang terjadi.
Jelaslah
bahwa konflik berlatar agama yang hampir serempak terjadi belakangan membuat
hubungan antarumat beragama di Mesir kini kuyup dengan rasa curiga antara satu
kelompok dan kelompok lainnya. Pada tahap ini dapat ditegaskan bahwa revolusi
yang terjadi di Mesir hanya memberi panggung bagi radikalisme dan sejumlah aksi
kekerasan. Dikatakan demikian karena sesudah revolusi 25 Januari, Mesir justru
masuk ke dalam pusaran konflik yang sarat dengan ketidakpastian.
Masih
terdapat sejumlah persoalan lain yang tak kalah berat: kepentingan
kelompok-kelompok politik di sana. Salah satu di antaranya adalah persoalan
pelaksanaan pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan Mesir definitif
pasca-Mubarak. Waktu pelaksanaan pemilu masih persoalan cukup panas di kalangan
elite politik Mesir. Sebagian pihak, seperti IM, menghendaki pemilu
dilaksanakan selekas mungkin untuk mengakhiri semua ketidakpastian politik
pascarevolusi 25 Januari.
Usul
ini ditentang keras partai-partai politik baru. Mereka menganggap pelaksanaan
pemilu yang lekas hanya menguntungkan kekuatan politik lama seperti IM, yang
telah punya berbagai ”perangkat teknis” yang diperlukan guna memenangi pemilu.
Itu
sebabnya, partai-partai politik baru mengusulkan agar pemilu Mesir ditunda hingga
beberapa tahun ke depan untuk memberi waktu yang cukup kepada semua partai
politik peserta pemilu, baik yang baru maupun yang lama.
Pada
hemat saya, aksi demonstrasi yang terjadi belakangan beserta seluruh korbannya
tak bisa dilepaskan dari konteks kepentingan politik seperti yang tadi
disebutkan. Apalagi pemerintahan sementara Mesir bersikeras akan melaksanakan
pemilu akhir November. Lebih kurang inilah yang bisa menjelaskan mengapa Partai
Kebebasan dan Keadilan (Hizbul Hurriyah wal ’Adalah) yang tak lain adalah sayap
politik IM menyatakan tak ikut terlibat dalam sejumlah aksi massa yang terjadi
belakangan ini.
Benar
belaka bahwa kelompok massa di Alun-alun Tahrir saat ini menuntut Dewan Agung
Militer Mesir segera menyerahkan pemerintahan kepada masyarakat sipil. Namun,
hal ini bisa dibaca sebagai ”bingkai gerakan” untuk menarik perhatian
masyarakat Mesir. Terutama setelah aparatur keamanan Mesir memperlakukan para
demonstran secara brutal. Banyak pihak yang mengamini gerakan yang ada
sekaligus melegitimasi gerakan tersebut sebagai gerakan rakyat.
Tantangan Revolusi
Inilah
tantangan berat revolusi yang harus dihadapi oleh semua pihak di Mesir, mulai
dari kaum pemuda yang berada di balik revolusi 25 Januari, para elite politik
Mesir, hingga masyarakat luas. Ibarat orang menggenggam pasir, revolusi 25
Januari telah berhasil melepaskan genggaman kuat Mubarak terhadap rakyat Mesir.
Kini rakyat Mesir bagai pasir yang beterbangan mengikuti arah angin kepentingan
kelompok-kelompok politik di sana.
Sejauh
ini kekuatan revolusi terus berupaya menghadapi pelbagai tantangan yang ada.
Dalam konteks aksi kekerasan, kekuatan revolusi senantiasa melokalisasi
berbagai konflik yang terjadi, khususnya konflik bercorak agama. Bahkan,
kekuatan revolusi kerap mengorganisasikan demonstrasi bersama antarumat
beragama sembari membawa kitab suci masing-masing untuk menyerukan kepada
masyarakat luas agar tak terpecah-belah dan tetap
menjaga kerukunan.
Sejatinya
para elite Mesir juga melakukan hal yang tak kalah besar dari yang dilakukan
para pemuda pada revolusi 25 Januari: menempatkan kepentingan nasional Mesir
sebagai pijakan utama untuk menyelesaikan pelbagai perbedaan pandangan terkait
dengan waktu pelaksanaan pemilu, atau hal terkait dengan perpolitikan lain.
Bukan justru terjebak dengan kepentingan sempit masing-masing.
Masyarakat
Mesir umumnya mengambil peran yang tak kalah besar: tidak terbawa oleh manuver
dan provokasi pihak tertentu untuk kepentingan sempit mereka, terutama terkait
dengan kerukunan antarumat beragama.
Dalam
kurun waktu sekian lama, masyarakat Mesir senantiasa hidup rukun dalam beragam
perbedaan yang ada, termasuk perbedaan agama. Ini adalah hal yang sangat
berharga pada masyarakat Mesir yang sejatinya tidak ”ditukar” dengan hal-hal
yang jauh lebih murah, seperti kepentingan politik tertentu dan kelompok
tertentu yang jauh dari persatuan nasional.
Jika
tidak, Mesir akan semakin jauh terperosok ke dalam jurang aksi kekerasan yang
penuh
dengan ketidakpastian itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar