Negara Pascakolonial
Abdul Ghopur, INTELEKTUAL
MUDA NU
Sumber
: SINAR HARAPAN, 24 November 2011
Entah
apalagi yang harus kita perbuat untuk menyelamatkan Indonesia dari kemelut dan
krisis yang berkepanjangan ini. Begitu banyak peristiwa berskala lokal,
nasional, maupun global yang timbul dan tenggelam di negeri ini. Kita pun tidak
tahu persis jalan penyelesaiannya.
Segala
cara telah ditempuh dan dilaksanakan. Segala upaya sudah diperbuat dan semua
jalan telah dilalui. Namun, krisis bangsa masih saja setia hinggap di dada
republik tercinta ini.
Akhir-akhir
ini bergejolak di kalangan muda sebuah pertanyaan kritis; masih berfungsikah
imaji kolektif kita sebagai Indonesia? Pertanyaan ini mengemuka karena
bertubi-tubi prestasi buruk kita dapatkan di dunia; pemenang lomba korupsi,
bangsa penghasil teroris, lamban dalam penanganan bencana alam, dan negara
tidak aman untuk investasi.
Dengan
sederet prestasi terburuk tersebut, layakkah kita berbangga menjadi bangsa
Indonesia? Tentu saja jawabannya sangat tergantung dari “posisi apa” yang
sedang kita jalani. Jika posisi kita adalah TKI atau pengangguran, jelas
Indonesia tidak berarti apa-apa. Sebaliknya, jika posisi kita adalah koruptor,
teroris, dan pejabat pemerintah, jelas Indonesia adalah negeri surga.
Lantas
pertanyaannya, apa sesungguhnya yang menjadi problem mendasar negara (bangsa)
pascakolonial dewasa ini seperti Indonesia? Setelah Pemilu 2009, kita memang
kehadiran drama realis politikus bersih yang terulang tanpa bisa dielakkan;
kalah mengenaskan.
Dari
rezim ke rezim, dari pemilu ke pemilu, drama dan pertarungan atas nama
kebangkitan kebudayaan dan moral bersih berputar tanpa skenario baru, sehingga
tidak menghasilkan kejayaan yang elegan. Sebaliknya muncul dengan wajah buram,
menguasai banyak medan pertempuran, tapi kalah telak di akhir perang; banyak di
mana-mana, tetapi selalu tak mendapat apa-apa.
Dari
waktu ke waktu, drama dengan modal moral bersih kalah oleh lupa karena miskin
kader dan agenda (strategi kebudayaan), meninggalkan ingatan untuk menjejer
luka-luka baru yang luka lamanya tak tersembuhkan.
Namun,
masyarakat kita setelah gegar reformasi justru terpuruk pada ekonomi yang
sangat rendah. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi
ekonomi yang ditempuh pemerintahan hasil pemilu (yang katanya) demokratis belum
menghasilkan masyarakat sejahtera.
Kegagalan
ini karena kita masih berpusing-pusing menikmati dan memperpanjang transisi
serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat,
politikus, dan saudagar politik yang menjauhi rakyat.
Para
teknokrat ini menjalankan negara dengan ideologi neoliberal yang terlalu
mengandalkan utang luar negeri, menggantungkan diri pada lembaga ekonomi asing,
dan beriman pada ekonomi pasar.
Para
teknokrat ini melupakan ekonomi domestik, menjual BUMN dengan murah, mengobral
SDA secara sembrono dan membenci produk dalam negeri. Padahal, mengutip
Juan J Linz dan Alfred Stepan (2001), ada tiga alasan suatu negara yang sedang
transisi untuk menjauhi neoliberal.
Pertama, sehebat apa pun ideologi neoliberal,
mereka masih memerlukan negara untuk berperan mengesahkan seluruh transaksi
ekonominya. Kedua, bahkan pasar yang paling hebat sekalipun pasti
mengalami kegagalan-kegagalan pasar yang selalu harus dikoreksi agar berfungsi
secara baik dalam rangka penyejahteraan masyarakatnya. Ketiga, demokrasi
menuntut persaingan bebas yang berpijak pada prioritas masyarakat, bukan pada
sekelompok kecil elite kaya.
Artinya,
walaupun pemerintahan dipilih secara demokratis, bila ia menabrak konstitusi,
melanggar hak individu dan minoritas, tidak mematuhi hukum serta tidak
memberikan peningkatan pemenuhan hak dasar masyarakat, maka pemerintahan itu
tidak layak disebut pemerintahan demokratis.
Sebaliknya,
hanya layak mendapat julukan sebagai pemerintahan seakan-akan demokratis (pseudo-demokratis),
bahkan Olle Tornquist menyebut “demokrasi kaum penjahat” rakyat (1999).
Problem
negara pascakolonial seperti Indonesia ini, kita kehadiran para pemimpin negeri
yang berwatak dan bermental kolonial yang suka menjajah bangsanya sendiri.
Problem lanjutan dari bangsa pascakolonial adalah dijangkitinya para pemimpin
bangsa ini oleh dua virus ganas sekaligus, virus mitos state dan materialism
state.
Struktur
serta tatanan kenegaraan dibuat sedemikian rupa sehingga menciptakan tatanan
kekuasan yang absolut dan menindas apa saja yang mengganggu kelanggengan
kekuasaan yang lalim tanpa kecuali.
Setelah
proses pemilu (katanya) terdemokratis kita lewati, para politikus, saudagar,
dan belitan utanglah problem selanjutnya yang kita terima. Politikus saudagar
mempertajam model politik perdagangan yang mengukur kemenangan berdasarkan
hukum untung-rugi semata, tanpa peduli pada nasib rakyatnya. Politikus saudagar
menguatkan “negara kapling” yang diwarisi rezim Orde Baru (orde Soeharto).
Inilah
politikus yang gagal memahami pesan dasar pendiri republik ini dan gagal
menyejahterakan rakyat banyak, karena gagal memahami politik utang. Padahal,
politik utang di luar politik yang lain adalah sumber malapetaka negara-negara
pascakolonial.
Memahami
politik utang, sebagai cara bagi pemecahan problem negara pascakolonial,
menjadi tugas maha penting. Noreena Hertz (2001) mengatakan, akibat globalisasi
ekonomi, akan terjadi the death of democracy.
Demokrasi
sebagai konsep sederhana yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, akan berubah haluan menjadi dari rakyat, oleh elite, untuk “para
investor kapitalis.” Apa buktinya? Para pemimpin negara bangsa pascakolonial
saat ini, demikian kata Hertz, memang dipilih rakyat, tetapi mereka ternyata
lebih sibuk “melayani” pelaku kapitalis global yang tidak memilihnya.
Ini
karena para pemimpin bangsa pascakolonial, walau masih memperhitungkan para
pemilih dalam negeri, justru demi mengelabui para konstituen inilah akan
melakukan apa saja, asal para kapitalis yang telah mengglobal itu mau datang di
negaranya.
Dengan
segala cara, para pemimpin negara mengundang, merayu, dan mendatangkan investor
kapitalis agar menanam uangnya di negara yang ia pimpin. Tentu saja para
pemimpin negara bersaing dengan keras karena para investor kapitalis hanya akan
memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling
menguntungkan bagi bisnis mereka.
Kemudian,
dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (economics borderless),
pemerintahan nasional tidak lebih dari sekadar thetransmission belts
bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di
antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta terimpit di antara
mekanisme pengaturan global.
Negara
menjadi “daerah omong kosong,” pemimpin negara menjadi “budak kapitalisme,”
pemerintahan nasional menjadi “mitra manis,” dan rakyat menjadi tumbal para
pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis yang mendunia, serta cukong yang
menguasai jagat raya.
Pasar
bebas telah menang! Demikianlah klaim teoritisi ekonomi mutakhir. Apa buktinya?
Pasar bebas telah menyentuh seluruh tata kelola masyarakat. Dalam kehidupan
ekonomi, pasar bebas telah membentuk budaya sehingga kita dapat menjual produk
ke setiap negara.
Persoalannya,
di tengah persaingan yang demikian ketat, bagaimana kita dapat memenangkan dan
berjalan beriringan dengan bangsa lain dalam usaha yang sehat dan tidak
timpang? Apalagi kebijakan negara kita masih mengikuti pasar bebas yang diatur
kapitalisme global.
Kebijakan
yang membuat Indonesia terjebak dalam utang berkepanjangan. Tentu saja sebagai
negara agraris yang lama dijajah kita memerlukan strategi yang jitu sekaligus
fokus. Ini karena tingkat kompetensi kita belum merata. Kita baru mempunyai
keunggulan komparatif, belum kompetitif.
Secara
sederhana, basis keunggulan komparatif ini harus diproteksi agar mampu menjadi
keunggulan kompetitif. Terutama sekali kita harus melindungi sumber-sumber
ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Karena
itu penjualan sumber-sumber ekonomi Indonesia ke luar negeri semestinya
diperhitungkan secara matang dan saham-saham industri strategis tidak dijual
murah.
Derasnya
arus empat neo (jahat)/Neo Four, kolonialisme, imperialisme,
kapitalisme, dan liberalisme, telah merusak dan merasuk ke seluruh dimensi dan
lini kehidupan kebangsaan kita. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tata
dunia (baru), Indonesia pun turut (di)gerus gelombang besar globalisasi. Empat
neo inilah yang menjadi ancaman serius terhadap sistem ekonomi, politik, tata
kelola energi nasional, bahkan kebudayaan nasional kita.
Dalam
tatanan ekonomi, politik, energi, dan strategi kebudayaan nasional yang lemah,
ancaman Neo Four secara leluasa merasuk dan mempengaruhi negara-negara
(berkembang) melalui kebijakan utang luar negeri, investasi modal asing,
ataupun tawaran hibah.
Lembaga-lembaga
keuangan multinasional, seperti International Financial Institution’s (IFI’s),
IMF, World Bank, ADB maupun WTO, bergerak dan bermanuver bak gurita-gurita
raksasa yang terus mencengkeram dan membius negara-negara (berkembang) dengan
tawaran-tawaran prestisius, menggiurkan namun mematikan!
Di
tengah kegalauan (limbo) tata ekonomi global yang membayangi negara-negara
imperialis ekonomi-politik, sejatinya muncul dan berkembang ide besar,
insiatif, serta kebijakan-kebijakan progresif, revolusioner, dan visioner dari
negara-negara pascakolonial, termasuk Indonesia, yang terkesan “tinduk-diam dan
terjajah” di hadapan hegemoni negara Barat.
Harus
diakui, terlalu lama negara-negara pascakolonial, khususnya Indonesia,
dieksploitasi kekuatan asing berwatak Neo Four. Indonesia, dengan segala
kekurangan dan kelebihannya, dengan kebesaran penduduk, adat istiadat,
kebudayaan, keragaman etnis/suku/ras, dan kekuatan kekayaan sumber daya alam
yang luar biasa, semestinya mampu menaikkan nilai maupun posisi tawarnya di
tengah krisis global dan di hadapan negara-negara kapitalis Barat dan Timur
(Tengah).
Atas
beberapa alasan itulah pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus ekonomi,
politik, tata kelola energi, dan strategi kebudayaan nasional dalam bingkai
keindonesiaan.
Kita
harus melihat dengan sangat kritis negara-negara kapitalis-imperialis yang
dalam pergulatannya dengan negara pascakolonial Indonesia cenderung hegemonis
dan menindas. Pergulatan di antara keduanya berlangsung secara tidak seimbang
dan subordinatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar