Antara Langit dan Bumi
Terry Mart, PENGAJAR DEPARTEMEN FISIKA FMIPA UI
Sumber
: KOMPAS, 24 November 2011
Jika
dalam hal sepak bola kita kalah tipis melawan Malaysia, dalam hal penelitian
kita kalah telak!
Bahkan,
perbandingan prestasi—yang diwakili oleh jumlah publikasi ilmiah di jurnal
internasional—sudah hampir seperti antara langit dan Bumi.
Saya
sering dikritik jika menyajikan data yang saya ambil dari basis data Scopus
ini. Pertama, banyak yang mempermasalahkan seberapa pentingkah makalah ilmiah
dibandingkan teknologi tepat guna di pedesaan atau penelitian untuk
mengentaskan orang dari kemiskinan yang langsung menuju sasaran serta
dibutuhkan rakyat? Kedua, data Scopus tak memiliki filosofi sekuat data faktor
dampak (impact factor/IF) yang dikeluarkan ISI Thomson karena IF langsung
merefleksikan pentingnya sebuah jurnal akibat sering dikutip.
Untuk
kritik pertama, saya hanya bisa menyatakan keyakinan saya bahwa pola antara
langit dan Bumi ini mewakili hampir semua sektor penelitian: sains atau
teknologi, murni atau terapan, ilmiah atau tidak ilmiah, dan sebagainya.
Kebetulan hanya jumlah makalah yang mudah dikuantisasi dan dibandingkan
antarnegara. Jadi, percuma saja mengalihkan topik diskusi ke pentingnya
penelitian bidang tertentu jika persoalan dasar penelitian tidak dibenahi.
Scopus
mungkin kurang informatif dibandingkan IF. Bahkan saya melihat jurnal-jurnal
Indonesia dan Malaysia dalam Scopus memiliki IF nol, bahkan sama sekali tidak
terdaftar di ISI sehingga jarang dibaca ilmuwan mancanegara. Namun,
berlangganan Scopus jauh lebih murah.
Memakai
IF untuk menilai kinerja ilmuwan kita juga dapat dianggap sebagai
”pembantaian”, apalagi buat mereka yang akan naik pangkat, karena jumlah jurnal
internasional yang terdaftar pada ISI sangat terbatas.
Minimnya
publikasi di jurnal internasional umumnya akibat mutu makalah yang rendah.
Lebih dari satu dekade lalu William H Glaze, editor jurnal Environmental
Science and Technology, menyatakan bahwa penelitian ilmu lingkungan di negara
berkembang jauh tertinggal dibandingkan dengan di negara maju. Bukan cuma kuno
metodenya, kadang-kadang penelitian tidak dilakukan dengan baik,
pendokumentasian berkualitas rendah, dan metode eksperimen yang tidak memenuhi
standar. Kualitas penelitian yang rendah sudah pasti menghasilkan produk
penelitian yang juga rendah.
Kasus Indonesia
Untuk
kasus Indonesia, kemungkinan besar yang dikatakan Glaze benar. Namun, bagaimana
dengan Malaysia yang juga negara berkembang?
Tampaknya
ada paradigma yang salah di republik ini yang menyebabkan kualitas penelitian
selalu rendah. Ironisnya, paradigma ini tidak muncul atau paling tidak sudah
diatasi di Malaysia. Dari perbandingan jumlah publikasi terlihat bahwa
paradigma tersebut sudah eksis di republik ini sejak dua dekade lalu dan
dibiarkan berlarut sehingga memunculkan fenomena antara langit dan bumi.
Apa
yang harus diperbaiki?
Tentu
saja pertanyaan yang mendesak: apa yang harus kita kerjakan untuk meretas masalah
ini? Akhir-akhir ini para peneliti meneriakkan minimnya penghargaan pemerintah
melalui rendahnya remunerasi. Jelas ini masalah pertama yang harus segera
dibenahi. Namun, apa kenaikan gaji peneliti akan memecahkan masalah penelitian
kita?
Melihat
kondisi rendahnya kualitas penelitian tentu saja hal ini sangat meragukan. Lagi
pula, rendahnya remunerasi bukanlah satu-satunya masalah penelitian kita. Liek
Wilardjo mengatakan bahwa kunci pembangunan sains adalah sumber daya manusia
(Kompas, 30/9/2011).
Jadi,
kapasitas, ambisi, dan motivasi peneliti harus ditingkatkan. Sarana dan
prasarana penelitian hingga sistem penilaian kepangkatan juga harus segera
dibenahi. Agus Purwanto dalam tulisannya mengusulkan insentif Rp 100 juta per
satuan makalah yang terbit di jurnal internasional (Kompas, 19/11/2011).
Ide Insentif
Meski
terdengar kurang realistis, ide ”insentif” merupakan ide jitu untuk kasus ini.
Peneliti yang diminta meningkatkan kualitas penelitian melalui publikasi atau
paten internasional harus segera diganjar pemerintah dengan insentif tunai atau
kenaikan pangkat. Saat berdiskusi dengan akademisi dari Universiti Kebangsaan
Malaysia, seorang kolega dari negeri jiran ini mengatakan penelitian tak akan
berhasil jika para penelitinya tidak gila dalam tiga hal: gila berpikir, gila
bekerja, dan gila menulis. Intinya, jika ingin sukses, lembaga penelitian dan
pendidikan harus didominasi kaum idealis, bukan kaum pragmatis! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar