Ironi Kehidupan di Timika
Jozep Ojong, DOKTER
YANG BERTUGAS DI PAPUA SEJAK 1983, KINI MENETAP DI TIMIKA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 26 November 2011
Ketika
seseorang berkata dia tinggal di Timika, yang pertama terlintas di benak
penulis adalah Freeport.
Memang
Kota Timika identik dengan Freeport, perusahaan Amerika Serikat yang mengelola
tambang tembaga dan emas raksasa kaliber dunia, dan Timika memang timbul karena
kehadiran perusahaan tersebut. Produk Domestik Bruto Kabupaten Mimika hampir seluruhnya
(96 persen) bergantung dari Freeport.
Kehadiran
perusahaan tersebut jelas tampak begitu mendarat di Bandara Internasional Mozes
Kilangin, Timika. Sejumlah pesawat dan helikopter berlogo Airfast milik
perusahaan itu tampak di landasan, siap menerbangkan para karyawan perusahaan
ke berbagai penjuru di Nusantara saat cuti.
Kota
tujuan itu bisa Manado, Ambon, Ujung Pandang, Denpasar, Surabaya, Solo, dan
Jakarta, maupun sejumlah tujuan di pedalaman Papua, maupun Jayapura dan Biak.
Bandara
tersebut dibangun dan dimiliki Freeport lengkap dengan prasarana dan sarana
bandara internasional. Pesawat B 737 Garuda, Merpati yang menggunakan mesin jet
maupun pesawat baling-baling milik Trigana, Susi Air, MAF, dan AMA, semua
bergantung pada pengisian avtur milik Freeport.
Kantor
Imigrasi, Kesehatan Pelabuhan, dan berbagai konter penerbangan dibangun
Freeport. Di sebelah bandara pun hadir hotel berbintang yang dibangun Freeport.
Keluar
dari kompleks bandara akan tampak banyak kendaraan bernomor lambung milik
perusahaan, baik jenis LV Toyota, bus penumpang warna oranye, maupun trailer
raksasa.
Bila
menuju ke Kota Kuala Kencana, kota yang penghuninya para karyawan, kita akan
melintasi jalan beraspal kualitas tinggi yang dibangun perusahaan. Dalam perjalanan
ke Kuala Kencana akan terlihat kantor-kantor pemerintahan, perumahan DPR,
kantor DPR, Gereja Katedral, rumah sakit modern bagi masyarakat, dan tangsi
tentara dan polisi, yang sumber dananya tidak lepas dari peran perusahaan.
Praktis
hampir seluruh hasil pembangunan di Timika ada kaitannya dengan Freeport.
Pelabuhan Pomako, tempat bersandarnya kapal-kapal Pelni dan kapal barang dari
Jawa, juga dibangun dengan bantuan dari perusahaan.
Memang
Freeport telah hadir sejak 1969 di bumi Mimika, sebab itu logis bahwa berbagai
aspek pelayanan umum sejak awal didukung perusahaan, seperti pelayanan
kesehatan melalui puskesmas, pendidikan melalui sekolah, pelayanan pemerintah
di kantor kecamatan beserta program transmigrasinya, maupun pembangunan
gerejanya.
Awal
Mula Timika
Awal
1980-an,Timika hanyalah kecamatan kecil dengan kelompok-kelompok permukiman.
Orang Papua yang bermigrasi dari pegunungan menetap di Desa Kwamki Lama,
sedangkan para pendatang menetap di pusat Kecamatan Timika, tempat mereka
membangun rumah, toko, hotel, pasar, sekolah, puskesmas, tempat ibadah, dan
sebagainya.
Saat
itu tidak ada tata kota dalam membangun Timika. Beberapa kilometer dari kota
kecamatan ada beberapa Satuan Permukiman (SP), tempat para transmigran yang
didatangkan dari Jawa sejak awal 1980-an menetap, seperti SP1, SP2, SP3, dan
SP4.
Waktu
itu tidak ada yang menyangka kota kecamatan kecil berpenduduk hanya beberapa
ratus orang di kemudian hari bisa menjadi daya tarik bagi puluhan ribu
pendatang yang mengadu nasib mencari nafkah.
Saat
itu para pendatang dalam memperoleh sepetak tanah ukuran 1.000 m2 hanya perlu
bernegosiasi dengan tokoh adat untuk pelepasan hak ulayat tanah adat dengan
membayar ala kadarnya, lalu sudah dapat mulai mematok batas tanahnya dan mulai
membangun rumahnya.
Itulah
uniknya Timika, kota yang timbul dalam kurun waktu singkat dari kota kecamatan
berpenduduk sekian ratus pada awal 1980 dan mencapai 100.000 dalam kurun waktu
20 tahun. Gelombang migrasi terjadi beberapa kali.
Gelombang
awal migrasi terjadi setelah gejolak kerusuhan di Papua tahun 1977 dengan
eksodusnya orang suku Amungme dari pegunungan, kemudian dilanjut dengan para
transmigran tahun 1980-an.
Migrasi
besar kedua terjadi setelah ditetapkan Kabupaten Administratif Mimika 1996
dengan para pendatang dari Sulawesi, Flores, dan Kepulauan Kei bersama
suku-suku Papua pegunungan lain, seperti suku Dani, suku Me, dan suku Damal.
Gelombang
migrasi terbesar terjadi pada 2000-an bersamaan terjadi konflik di Ambon,
lepasnya Timor Timur, dan pascakrisis moneter, yang sebagian besar datang
berasal dari Jawa. Mereka tiba dengan pesawat udara maupun kapal laut. Dengan
begitu, di Timika dapat ditemukan berbagai suku yang ada di Indonesia yang
membaur dengan orang-orang Papua.
Tidak
sampai lima tahun kemudian, seiring perkembangan pesatnya, kabupaten
administratif ini ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten definitf, jadi usia
kabupaten Mimika hasil pemekaran dari Kabupaten Fakfak relatif masih muda
dengan Timika sebagai kota utamanya.
Dampak
Migrasi
Akibat
pertumbuhan penduduk yang beratus-ratus persen, infrastruktur Kecamatan Timika
kewalahan. Listrik yang sebelumnya hanya untuk beberapa ratus rumah tidak lagi
memadai bagi kebutuhan kota kabupaten, demikian juga jaringan telepon,
kunjungan puskesmas membeludak, daya tampung sekolah melebihi kapasitas, dan
beban kerja di berbagai kantor pemerintah meningkat pesat.
Dampak
pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi yang sebagian besar adalah para pencari
kerja akhirnya mengakibatkan tingginya angka pengangguran, karena pada umumnya
para pencari kerja ini tidak memiliki keterampilan.
Tukang
ojek pun pekerjaan paling mudah selain prostitusi. Penyakit HIV yang sebelumnya
tidak dikenal pada tahun sebelum 2000, kini menjadi tertinggi di Papua dan
Indonesia.
Masuknya
prostitusi diikuti ekses negatif lain, seperti bebasnya peredaran minuman
keras, perjudian, dan narkoba. Pencurian makin marak terutama barang perusahaan
baik yang berupa bahan makanan, alat-alat perkantoran, mesin-mesin perusahaan,
maupun emas.
Di
Timika dapat dengan mudah membeli barang-barang yang berasal dari perusahaan
dengan harga miring. Hutan pun menjadi lahan uang baik karena tingginya
permintaan kayu untuk perumahan. Uang dengan mudah diperoleh bagi yang jeli
melihat peluang, berani menempuh segala risiko, dan dapat mengatur hukum.
Akibat
tingginya peredaran uang, baik dari makin banyaknya keluarga karyawan yang
menetap di Timika maupun dari berbagai bisnis yang timbul dengan kehadiran
perusahaan, harga barang-barang menjadi mahal.
Akibat
tidak terkejarnya kenaikan biaya hidup, semua bercita-cita menjadi karyawan
perusahaan walau hanya sebagai petugas kebersihan. Sebagai ilustrasi, gaji
petugas cleaning service di Freeport dapat mencapai Rp 10 juta sebulan.
Bisnis
Emas
Sejak
awal beroperasinya perusahaan ini, hasil tailing yang mengalir ke laut
tidak pernah terpikir untuk didulang, namun dengan datangnya orang dari Jawa,
profesi pendulang marak berkembang.
Awalnya,
hanya orang Papua yang boleh mendulang, namun seiring dengan makin tingginya
pengangguran di Timika, kini para pendatang pun mendulang di sepanjang kali
yang mengalirkan sisa pembuangan pabrik Tembagapura yang terletak 100 kilometer
ke hulu.
Hasilnya
lumayan untuk ukuran penganggur, dapat mencapai 10 gram sehari bagi yang mahir.
Pendulang kini menjadi primadona mata pencarian penganggur, dan bisa jadi
jumlah pendulang kini sama jumlahnya dengan separuh para karyawan Freeport.
Bisnis
toko-toko emas di Timika pun bertebaran untuk menampung emas-emas itu.
Perputaran emas di Timika dapat mencapai 10 kg sehari di toko-toko emas bila
jumlah pendulang sebanyak itu.
Kini
perusahaan ini bukan saja menjadi tempat pemberi kerja bagi mereka yang ahli
dan terampil, namun juga bagi mereka yang tidak terampil. Merekalah yang
menggerakkan roda kehidupkan Kota Timika dan Kabupaten Mimika.
Timika
bagaikan gula yang menjadi daya tarik bagi semut-semut dari seluruh Nusantara.
Kini, bisa jadi penduduk Timika sudah melebihi sensus resmi kependudukan yang
mencapai 200.000 jiwa.
Sisi
Ironis
Namun
gemerlapan uang yang beredar di Timika hanya bagai kilauan bagi para pegawai
negeri, transmigran, tukang ojek, dan orang Papua yang termarginalkan.
Para
petani di permukiman transmigrasi akhirnya tergoda meninggalkan mata pencarian
mereka karena hasil perolehan pekerjaan lain lebih menjanjikan. Bidang
pertanian dan perkebunan menjadi tidak menarik lagi. Terjadilah kenaikan harga
sayur-mayur.
Tingginya
biaya kehidupan menyebabkan para PNS juga terpaksa mencari pekerjaan tambahan
yang berakibat tidak optimalnya roda pemerintahan. Orang Papua menjadi
termarginalkan dan terjadilah potensi gejolak konflik sosial yang menjelaskan
mengapa di Timika sering terjadi berbagai konflik kepentingan.
Para
pendatang baru yang tidak mempunyai tabungan akan hidup dalam kemiskinan, dan
para karyawan tempat-tempat usaha kecil dan toko-toko setempat harus hidup ala
kadarnya.
Namun
dari segi Pendapatan Asli Daerah untuk Mimika dan Papua, baik dari retribusi,
royalti, maupun pajak sangat meningkat pesat. Kabupaten Mimika kini menjadi
kabupaten terkaya di Papua.
Kini
dengan adanya pemogokan karyawan yang berakibat pada terhentinya produksi
tambang praktis segala aspek kehidupan Timika mulai redup, dan ini juga
berdampak pada perekonomian di Papua. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar