Rabu, 30 November 2011

Demokrasi Mesir


Demokrasi Mesir

Rois Rahma Fathoni, MAHASISWA PASCASARJANA UNIVERSITAS AL-AZHAR MESIR
Sumber : REPUBLIKA, 30 November 2011


Umur kepemimpinan Husni Mubarak memang hanya tiga dekade. Tapi, runtuhnya rezim presiden tanpa wakil ini sejatinya mengakhiri enam dekade pemerintahan diktator. Setidaknya itulah yang diungkapkan mantan menteri luar negeri Amerika Condoleezza Rice di tengah-tengah badai demonstrasi rakyat Mesir. "Amerika harus mengevaluasi kebijakan-kebijakannya selama 60 tahun ini yang mendukung pemerintahan otoritarian Timur Tengah dan mengabaikan hak asasi manusia." Terhitung tiga kali Negeri Paman Sam mengubah keputusan untuk mendukung atau menolak tuntutan rakyat Mesir.

Mesir adalah dilema bagi Obama. Tentu saja, selain mengandung embrio gerakan Islam Ikhwanul Muslimin yang memungkinkan negara Timur Tengah lainnya menggeliat, geografis Mesir yang bersebelahan dengan Israel patut dipertimbangkan secara matang, perjanjian damai Camp David berpotensi robek.

Setelah Mubarak mundur, estafet kepemimpinan diserahkan kepada Kepala Majelis Militer Husain Thanthawi. Rakyat menyambut gembira. Sebab dari awal revolusi, aparatur keamanan yang bersahabat dengan demonstran hanyalah militer. Suara rakyat dan militer bersatu padu. Thanthawi turun ke Tahrir menyalami para pejuang. Revolusi yang indah karena mengonsolidasikan semua kekuatan rakyat Mesir.

Sayang itu tidak lama. Tanda-tanda awal perpecahan mulai tampak saat Pemerintah Mesir menggelar referendum amendemen UU. Media tidak berhenti mengembuskan isu, mengotak-ngotakkan kekuatan konstituen. Pemilih 'Ya' adalah pendukung Islam. Sedangkan pemilih 'Tidak' adalah blok Kristen dan Liberal. Hasil referendum membawa dampak besar bagi masa depan Mesir. Jika mayoritas rakyat Mesir menghendaki amendemen, pemilu legislatif lebih awal dari pemilu presiden. Begitu juga sebaliknya.

Sebelum referendum digelar, kelompok liberal dan beberapa calon presiden semisal Baradie dan Amr Musa berkampanye agar rakyat memilih tidak mengamendemen UU. Berbagai logika dikedepankan. Yang paling menonjol, saat ini Mesir bagai tubuh tanpa kepala, kebutuhan Mesir akan presiden sangat mendesak namun politik adalah permainan. Ada hitung-hitungan angka yang tidak dipublikasikan.

Pertama, tentang pamor Baradie dan Amr Musa tengah naik daun. Sebagai kandidat calon presiden tanpa motor partai, keduanya membutuhkan atmosfer ini. Kedua, kaum liberal juga memahami keterbatasan kekuatannya. Dengan mendahulukan pemilu presiden kemudian disusul pemilu legislatif, akan ada banyak waktu bagi mereka untuk bermanuver dan mengambil lebih banyak hati rakyat Mesir.

Ketiga, jika rakyat Mesir memilih untuk mengamendemen UU, yang artinya mendahulukan pemilu legislatif, maka ini petaka bagi calon presiden dan kelompok liberal. Bagi calon presiden, pemilu legislatif mengokohkan kekuatan partai. Jika partai mengusung calon presiden, mereka yang tidak memiliki mesin politik semakin tertinggal. Begitu juga rentang waktu yang panjang membuat popularitas menurun. Adapun bagi kelompok liberal, petaka ini berwujud kekalahan pemilu di depan mata.

Sejak itulah kekuatan Mesir terbagi. Dan media massa memberi andil memecah antara Islam dan anti-Islam. Berbondong-bondong rakyat Mesir antusias menuju kotak suara. Dan hasilnya, 77,2 persen lebih rakyat Mesir memilih untuk mengamendemen UU.

Saat ini, dengan tidak adanya presiden dan parlemen, posisi kepala negara serta penjaga undang-undang dipegang oleh Majelis Militer. Untuk mengakhiri masa transisi, Mesir harus menempuh jalan panjang: diawali referendum, pemilu legislatif, parlemen membentuk kepanitiaan amendemen undang-undang, referendum undang-undang, dan diakhiri pemilu presiden. Namun setiap kali mendekati tujuan, Mesir harus melewati tikungan tajam.

Adalah Ali Silmi yang mengobarkan api di salah satu tikungannya. Wakil perdana menteri bidang politik dan demokrasi ini melukis wajah baru sistem pemerintahan Mesir dengan memberikan tempat khusus bagi militer di atas negara, tidak bisa disentuh eksekutif dan legislatif; membentuk panitia perumusan UU yang semestinya dibentuk oleh parlemen.

Bukan itu saja, dengan beralasan menjadikan Mesir seperti Turki di zaman Attaturk, Ali Silmi memberi mandat kepada militer sebagai penjaga UU-Ini tugas parlemen. Sejarah tentu tertawa: model pemerintahan ala Attaturk dipandang sesuai setelah Turki tertatih-tatih keluar dari Perang Dunia I. Ali Silmi mencuri revolusi. Ide-idenya menggagalkan transisi. Hasil pemilu legislatif dan presiden tidak akan ada artinya sebab semua kewenangan sudah berada dalam kuasa militer. Ini berbahaya, diktator baru potensial terlahir. Ada negara di dalam negara.

Hebatnya, keputusan ini dilempar saat pemilu di depan mata. Yang mengejutkan, Silmi mendapat dukungan dari kaum liberal. Mereka memandang keputusan Wakil Perdana Menteri ini membawa dampak positif bagi mereka.

Pertama, jika semua elemen masyarakat Mesir turut mendukung Ali Silmi, siapa pun pemenang pemilu nanti yang diprediksi dari kalangan Islam, nothing to lose bagi mereka. Sebab, fungsi parlemen dipegang militer.

Kedua, jika rakyat Mesir menolak tentu harus melalui perundingan-perundingan panjang yang memakan waktu. Dengan begini ada kemungkinan pemilu diundur. Ketiga, kemungkinan ekstrem, penolakan tidak dilakukan secara damai, akan ada kerusuhan-kerusuhan yang juga berpotensi mengulur digelarnya pemilu.

Inilah untuk yang kedua kalinya secara besar-besaran media massa memecah kekuatan bangsa Mesir menjadi dua blok: Islam dan anti-Islam. Yang terjadi ternyata rakyat tidak diam. Ikhwanul Muslimin mengonsolidasikan berbagai kekuatan elemen Mesir. Bersama 50 partai politik, beberapa calon presiden juga organisasi pemuda revolusi mengecam tindakan Ali Silmi. Memberikan batas waktu kepada Majelis Militer sebagai pengelola sementara negara untuk mencabut keputusan Ali Silmi hingga Rabu, 16 November. Jika tidak, demonstrasi besar-besaran akan digelar di Lapangan Tahrir. Hingga batas waktu yang ditentukan, tidak sekalipun Husain Thanthawi muncul di layar televisi.

Segera pertanyaan-pertanyaan besar bermunculan dengan diamnya militer. Apakah Ali Silmi suruhan Majelis Militer? Apakah Husain Thanthawi berambisi untuk menduduki tampuk kepresidenan, apalagi antek-antek Mubarak di lembaga strategis pemerintahan belum diganti? Bukankah militer yang sebelumnya tidak pernah menolak perintah Mubarak sebetulnya juga kroni? Belum lagi penyelesaian kasus Husni Mubarak yang berjalan lamban. Terlebih keputusan militer dengan membawa Husni Mubarak ke Pengadilan Sipil tapi menyeret pejuang revolusi dengan tuduhan membuat kekacauan negara ke Mahkamah Militer.

Masa Depan Transisi
Majelis Militer yang saat ini menjadi pengelola negara sekaligus penjaga UU harus membagi kekuasaannya pada presiden dan parlemen. Keraguan rakyat Mesir akan keseriusan Majelis Militer mewujudkan cita-cita revolusi 25 Januari harus diakhiri demi stabilitas negara. Untuk itu, penting bagi Majelis Militer memberikan kepastian secara transparan kepada publik kapan agenda pemindahan kekuasaan dilaksanakan.

Sesuai hasil referendum, peta selanjutnya yang akan dilewati Mesir adalah pemilu legislatif. Pemilu merupakan jalan keluar terbaik bagi Mesir saat ini. Kekacauan dan gesekan antarpartai politik biar diselesaikan oleh rakyat Mesir sendiri, memilih siapa yang paling berkenan di hati mereka.

Kekuatan parlemen diharapkan menghasilkan UU prorevolusi, yang membuka kebebasan berpolitik, supremasi hukum, kesejahteraan penghidupan, dan kesetaraan hak yang telah ditindas 60 tahun oleh diktator.

Memang jalannya tidak mudah. Terlebih setelah Majelis Militer memberikan hak kepada kroni-kroni Mubarak untuk terjun kembali ke gelanggang politik, mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dan presiden.

Kita akan bersama saksikan apakah revolusi akan sampai pada cita-cita tertingginya? Ataukah perjuangan 25 Januari hanya mengamputasi kepala otoritarian saja, sedangkan anggota tubuh yang lain tidak mampu tersentuh? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar