Pendapat Hukum Mahkamah Agung yang Menyesatkan
Johannes Gunawan, GURU BESAR FAKULTAS HUKUM UNPAR
Sumber
: KORAN TEMPO, 28 November 2011
Rupanya, masalah di Universitas Indonesia
tentang tata kelola terus berlanjut. Publik lebih memperhatikan UI karena
reaksi atas penganugerahan doktor honoris causa (HC) kepada Raja Arab Saudi.
Padahal masalah lebih penting adalah tentang tata kelola yang diterapkan Rektor
UI, yang dipandang tidak sesuai dengan peraturan. Perdebatan mengerucut pada langkah
Rektor UI yang dianggap prematur membentuk Senat Universitas (SU) dan
mengabaikan keberadaan Majelis Wali Amanat (MWA).
Mengapa langkah Rektor UI membentuk SU
dianggap prematur? SU seharusnya dibentuk setelah ada peraturan presiden dan
peraturan Menteri Pendidikan. Dalam PP No. 66/2010 Pasal 220A ayat (4) dan (5)
disebutkan, penetapan lebih lanjut masing-masing perguruan tinggi (UI, UGM,
ITB, IPB, USU, UPI, dan Unair) sebagai PTN ditetapkan dengan peraturan presiden.
Bahkan, menurut Pasal 58F ayat (4) PP No. 66/2010,“pengelolaan UI dan otonomi
UI”diatur dalam Statuta UI yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Karena ketentuan di atas tidak diindahkan, muncul beragam pertanyaan. Mengapa rektor
berkeras membentuk SU walaupun pembentukannya tidak sesuai dengan peraturan?
Mengapa tidak dipatuhi saja peraturan yang menentukan agar UI menyiapkan
penyesuaian tata kelola sebagai
perguruan tinggi negeri dalam masa transisi
dengan tetap menggunakan organ dalam PP No. 152/2000? Di tengah beragam pertanyaan
ini, Rektor UI memohon pendapat hukum MA. Sayangnya, pendapat hukum MA itu
justru menambah runyam karena argumentasi hukum yang inkonsisten dan melanggar
hukum.
Tak seperti biasanya, MA cukup sigap. Dalam
waktu seminggu MA menerbitkan
Pendapat Hukum No. 70/Td.TUN/X/2011, 27/10/2011
sebagai jawaban permohonan
Rektor UI No. 672/H2.R/2011 tentang
penafsiran pasal-pasal yang terkandung dalam
PP No. 66/2010. Sayang, kesigapan MA
tidak diikuti ketepatan substansi. Sebagai anggota Tim Perancang UU Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP) dan Koordinator
Tim Perancang PP No. 66/ 2010, saya
merasa perlu menyampaikan maksud pembuat peraturan agar pendapat hukum MA tidak
menyesatkan dan menimbulkan masalah di berbagai perguruan tinggi lain.
Pertama, menurut MA, Amar Kelima Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa UU BHP tidak mengikat secara hukum, mutatis
mutandis mengubah status UI dari perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT
BHMN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Pendapat ini keliru karena penyebab UI
menjadi PTN bukan Amar Kelima Putusan
MK, melainkan Amar Keempat, yaitu
Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU No.20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa “badan hukum pendidikan dimaksudkan
sebagai landasan hukum bagi
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain
berbentuk BHMN”tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Ini penting karena MA keliru memilih peraturan yang
tepat.
Kedua, MA mengakui walaupun menurut PP
No. 66/2010 UI ditetapkan sebagai PTN, tetapi PP No.152/2000 tentang tata kelola
UI sebagai PT BHMN masih tetap berlaku sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggaraan
pendidikan tinggi yang tidak bertentangan dengan PP No. 66/2010 dan peraturan
perundang-undangan setelah
masa transisi. Jadi, tetap berlakunya hanya
terbatas dalam masa transisi dan berfungsi agar penyelenggaraan UI tetap terjaga.
Anehnya, walaupun MA mengakui tata kelola UI berdasarkan PP No. 152/2000 tetap
berlaku dalam masa transisi, MA berpendapat organ yang dikenal di dalam PP No.
152/2000 (artinya tidak hanya MWA dan SAU tetapi juga rektor dan Dewan Audit)
dengan adanya Putusan MK tidak lagi memiliki kewenangan dalam pengelolaan UI,
sehingga menurutnya sudah tidak mempunyai landasan hukum melakukan tindakan dan
perbuatan hukum baru. Kalau demikian, siapa atau organ mana lagi yang harus
menjalankan tata kelola UI agar penyelenggaraan UI tetap terjaga.
Ketiga, MA berpendapat Rektor UI
adalah organ yang mempunyai tugas dan kewajiban
serta fungsi pengelolaan UI. Pendapat ini
didasarkan pada Pasal 58 D ayat (1) PP No.66/2010 sehingga Rektor UI-lah yang
menjalankan pengelolaan UI. Perlu dikemukakan, Pasal 58 D ayat (1) PP No.
66/2010 merupakan peraturan yang berlaku setelah UI ditetapkan sebagai PTN. Sekali
lagi perlu dikemukakan menurut Pasal 220A ayat (4) PP No. 66/2010, UI dan PT
BHMN lainnya memang ditetapkan sebagai PTN, tetapi pasal tersebut tidak boleh
dilepaskan dari Pasal 220 A ayat (5) yang menyebutkan penetapan masing-masing PT
BHMN (termasuk UI) sebagai PTN harus dilakukan dengan peraturan presiden. Dalam
Hukum Tata Usaha Negara, ketetapan
ini disebut beschikking.
MA kembali mengabaikan Pasal 220A ayat
(5) karena sampai saat ini belum terbit peraturan presiden yang menetapkan UI
sebagai PTN. Sekali lagi, jika UI belum berstatus PTN, maka Pendapat MA bahwa, berdasarkan
Pasal 58 D ayat (1) PP No.
66/2010 Rektor UI berwenang
menjalankan pengelolaan PTN UI, adalah pendapat
hukum yang prematur dan melanggar
Pasal 220 A ayat (5) PP No. 66/2010.
Keempat, kalau memang MA berpendapat Rektor
UI sudah berstatus rektor PTN, maka MA mengabaikan Pasal 58 E ayat (1) PP No.
66/2010 yang menentukan rektor PTN sebagaimana dimaksud Pasal 58D ayat (1)
diangkat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bukankah Rektor UI pada saat
ini belum diangkat dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai rektor
PTN UI. Rektor UI pada saat ini diangkat MWA UI. Pengabaian ini merupakan perbuatan
melanggar hukum.
Apabila Rektor UI sampai saat ini
belum diangkat dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai rektor PTN
UI, mana mungkin MA berpendapat Rektor UI yang diangkat MWA UI berwenang membentuk
SU (organ PTN) untuk menggantikan SAU (organ PT BHMN).
Kelima, MA berpendapat tindakan Rektor
UI membentuk SU (organ PTN) adalah untuk mengisi kekosongan hukum dan
dibenarkan sebagai kewenangan diskresi Rektor UI. Pendapat ini inkonsisten
dengan pengakuan MA bahwa walaupun PT BHMN telah ditetapkan sebagai PTN, tetapi
PP No.152/2000 yang mengatur tata kelola UI sebagai PT BHMN masih tetap berlaku
sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggaraan UI. Pengakuan tersebut menunjukkan
bahwa tidak terjadi kekosongan hukum dan tidak diperlukan kewenangan diskresi
Rektor UI.
Tim Perancang PP No. 66/2010 telah mengantisipasi
agar dalam masa transisi tidak terjadi kekosongan hukum, yaitu dengan memasukkan
Pasal 220 A ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1) Pengelolaan pendidikan yang
dilakukan oleh UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI, dan Unair masih tetap berlangsung
sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan PP ini, (2) Penyesuaian
pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama tiga tahun
sebagai masa transisi sejak
PP ini diundangkan.
Keenam, pada saat ini UI belum
berstatus PTN karena peraturan presiden yang menetapkannya sebagai PTN belum
terbit. Pada saat yang sama, UI masih diizinkan
menggunakan tata kelola dalam PP No. 152/2000
sampai penyesuaian pengelolaannya
selesai paling lambat 28 September 2013.
Untuk mempersiapkan penyesuaian tersebut, menurut Penjelasan Pasal 220 A ayat
(2) PP No. 66/2010, UI harus menyusun
terlebih dulu perencanaan penyesuaian tata
kelolanya sehingga penyesuaian dapat diselesaikan dalam waktu paling lama tiga
tahun. Ketentuan ini diabaikan oleh MA dalam pendapatnya bahwa dengan Putusan
MK tentang UU BHP tidak mengikat secara hukum, mutatis mutandis mengubah status
UI menjadi PTN. Pengabaian ini merupakan perbuatan melanggar hukum.
Ketujuh, MA berpendapat dengan
berlakunya PP No. 66/2010 UI adalah PTN, sehingga eksistensi SAU dan MWA sudah tidak
mempunyai landasan hukum lagi. Karena itu, setiap upaya memperpanjang keberadaan
SAU dan MWA tidak sesuai dengan peraturan hukum. Lagi-lagi, kekeliruan Pendapat
MA justru terjadi karena MA mengabaikan peraturan bahwa PP No.66/2010 tidak
otomatis mengubah UI sebagai PTN, tetapi harus diterbitkan terlebih dulu
peraturan presiden yang menetapkan UI sebagai PTN.
Selama penyesuaian belum selesai,
pengelolaannya masih menggunakan tata kelola
PP No.152/2000. Jika selama masa
penyesuaian ada organ seperti MWA atau SAU habis masa jabatannya, maka masa jabatan
organ tersebut dapat diperpanjang. Hal ini sudah dilakukan oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan yang memperpanjang masa jabatan MWA UGM dan ITB. Bila pendapat
MA yang keliru ini diikuti, bukankah akan pemicu masalah di lingkungan UGM dan
ITB?
Mengingat kekeliruan dan pengabaian peraturan
hukum yang berlaku di dalam Pendapat Hukum MA sebagaimana diuraikan di atas,
maka hendaknya Ketua MA
segera mencabut Pendapat Hukum MA No.70/Td.TUN/X/2011
tanggal 27 Oktober 2011. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar