Resepsi Siapa, Uang Siapa
Reza Indragiri Amriel, PSIKOLOG
Sumber
: KORAN TEMPO, 26 November 2011
“Yang menikah siapa, yang repot
siapa.” Begitulah suara hati saya yang tak habis pikir melihat anak pejabat
yang masih belia, tapi “sudah mampu”membikin acara perkawinan
dengan biaya bermiliar-miliar rupiah.
Pengusaha, bukan. Penerima warisan, juga bukan; la wong orang tua si pengantin
masih hidup segar bugar. Jadi pikir punya pikir, keyakinan saya hampir bulat,
ujung-ujungnya orang tua juga yang jorjoran keluar uang. Yang menikah anaknya,
sedangkan yang isi kantongnya ludes orang tuanya.
Namanya saja orang tua, cintanya tentu
melimpah-ruah. Juga tak mengharapkan balas jasa, karena ayah-bunda tidak pernah
memperlakukan anak mereka laksana investasi berjangka. Jangankan pecah
celengan, bertukar nyawa pun orang tua ayo saja, demi kebahagiaan si buah hati.
Demikian juga menjelang si buyung mengakhiri masa lajangnya. Dia akan mulai
menjalani peran sebagai kepala keluarga, tapi ironisnya seremoni untuk itu
justru diselenggarakan dengan menguras dompet orang tuanya.
Orang tua besar kemungkinan tidak akan
berkeberatan. Tinggal lagi si anak yang semestinya tahu diri. Apa yang
sesungguhnya bisa dibanggakan, kalau acara gemerlap itu nyaris tidak sesen pun
rupiah yang berasal dari keringatnya sendiri. Juga bisa dipertanyakan,
orang-orang tenar yang datang sesungguhnya tamu mempelai ataukah tamu orang tua
mempelai.
Tanpa kesediaan orang tua menanggung
biaya, kenduri tidak akan terselenggara. Tanpa kenduri, sudah tentu tetamu tak
akan menampakkan batang hidung mereka. Persoalannya, benarkah si anak yang akan
dilantik sebagai suami itu memang masih hidup di bawah ketiak orang tuanya?
Tampaknya begitu. Buktinya, media dalam jaringan mewartakan, salah satu pejabat
teras sebuah lembaga yang menjadi tempat berhimpunnya para pelaku dagang dan
industri Indonesia suatu ketika sempat mempertanyakan bagaimana mungkin seorang
anak muda bisa masuk ke organisasi itu, padahal dia sama sekali bukan
pengusaha. Bahkan anak muda itu punya jabatan struktural, walaupun—sekali
lagi—dia bukan usahawan.
Bukan masalah politiknya yang menjadi kehirauan
saya. Tapi, ya, itu tadi, kok bisa-bisanya anak muda yang bukan pengusaha menyelenggarakan
acara mantenan dengan anggaran yang gila-gilaan. Bahkan andaikan anak muda itu
punya usaha, rasanya kecil kemungkinan dia punya tabungan dengan jumlah luar
biasa dalam tempo beberapa tahun saja.
Sorotan semacam ini barangkali hanya
cerminan watak usil, bahkan rasa iri dengki saya. Bisa saja begitu, kendati
sesungguhnya saya sebatas masygul; pernikahan yang sejatinya adalah bentuk ketaatan
kepada Ilahi, dan walimah sebagai ekspresi rasa syukur seperti diperintahkan
Nabi, sekarang mewujud dalam pesta nan prestisius. Pernikahan bukan semata selebrasi
kedua “lepas”-nya anak dari orang tua—selebrasi pertama adalah kala putusnya
tali pusar anak. Pernikahan merupakan pernyataan simbolis kepada dunia tentang
kedudukan keluarga besar mempelai.
Kembali ke tataran paling pribadi, “yang
menikah siapa, yang repot siapa” adalah pertanyaan yang menyindir calon pengantin
yang usia biologisnya sudah dewasa, sedangkan dari sisi usia psikologis (baca:
kecukupan finansial) tetap saja menggelayut di susu ibunda.
Kejanggalan itu yang mendorong saya bicara
dari hati ke hati dengan istri saya. Semua orang tua, termasuk saya, pasti ingin
berbuat yang terbaik bagi anak-anak. Namun kelak, tekad saya, saat anak-anak
kami mengungkapkan rencana pernikahan mereka, saya bakal berkata,“Papa hanya
akan membayarimu kartu undangan. Selebihnya, karena ini pernikahanmu sendiri,
pintar-pintarlah mencari uang yang halal.”
Semoga anak-anak kami—Menza,Vinza, dan
Aza—sanggup memenuhi kebutuhan
resepsi perkawinan mereka masing-masing.
Lebih krusial lagi, semoga lidah saya tak kelu, semoga saya punya kekuatan hati
untuk mengucapkan kalimat itu kepada mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar