Perang Upah Buruh
Surya Tjandra, DOSEN UNIVERSITAS ATMA JAYA, JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 24 November 2011
Beberapa
hari belakangan ini berbagai media massa memberitakan maraknya aksi demonstrasi
buruh di pelbagai daerah yang mewarnai perundingan penetapan upah minimum.
Ribuan buruh mendatangi rapat Dewan Pengupahan guna menetapkan nilai kebutuhan
hidup layak, yang akan menjadi dasar penetapan upah minimum kota atau
kabupaten, hingga aksi menutup jalan, bahkan ancaman pemogokan. Ini mengulangi
yang terus terjadi beberapa tahun terakhir ini. Bagaimana kita memahaminya?
Berdasarkan
aturan yang ada, upah minimum dimaksudkan ”untuk mewujudkan penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan penetapannya didasarkan
pada ”kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi” (Pasal 88 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan).
Tak Efektif
Pada
kenyataannya beberapa masalah sudah langsung bisa ditemukan. Upah minimum yang
ditetapkan hanya berlaku pada sektor formal secara efektif tidak berlaku bagi
mereka yang bekerja di sektor ekonomi informal yang meliputi sekitar 70 persen
angkatan kerja (Bird dan Suryahadi, 2002; Basri, 2008).
Sejumlah
besar pebisnis kecil biasanya membayar upah lebih rendah dari upah minimum
karena tidak peduli atau memanfaatkan peluang hukum untuk penangguhan yang
sering kali dikabulkan oleh pemerintah (Isaac dan Sitalaksmi, 2008).
Upah
minimum yang ditetapkan pun relatif masih amat rendah dan efektivitasnya pun
diragukan. Sekitar 30 persen buruh tetap dan 50 persen buruh lepas praktis
bekerja dengan upah di bawah ketentuan upah minimum (2006) dan 40 hingga 50
persen upah tersebut habis hanya untuk memenuhi kebutuhan makan (Merk 2009).
Lepas dari kenaikan nominal setiap tahunnya, upah riil buruh praktis tidak
bergeser dari kisaran Rp 200.000 per bulan jika dibandingkan dengan sebelum
1998 (tahun reformasi) yang tiap tahun rata-rata naik 5 persen (Dhanani dkk,
2009).
Alih-alih
menjadi upah dasar, upah minimum di Indonesia praktis menjadi upah efektif
untuk sebagian besar buruh di sektor formal. Mereka amat bergantung pada upah
minimum untuk menaikkan upah mereka dan praktis berperan amat kecil dalam
perundingan kolektif.
Penetapan
upah minimum adalah forum, barangkali satu-satunya forum, bagi serikat
buruh—yang baru berkembang setelah 1998—untuk bisa menunjukkan yang mereka
lakukan bagi anggotanya terkait dengan upah yang lebih baik. Khususnya ketika
upaya memperjuangkan kenaikan upah anggotanya di perusahaan sering kali
berakhir dengan pemutusan hubungan kerja pengurus serikat buruh atau bahkan
penutupan perusahaan secara sepihak.
Situasi
ini diperparah oleh masih belum efektifnya sistem jaminan sosial di negeri ini.
Karena dialog sosial hanya terwujud dalam penetapan upah minimum, tekanan yang
besar pun diberikan pada arena ini dan hal itu kerap mengarah pada tuntutan
kenaikan upah yang kadang-kadang dirasakan berlebihan. Dengan kata lain,
penetapan upah minimum telah menjadi sumber konflik perburuhan yang serius.
Peran Negara
Kalau
pada era Orde Baru yang otoriter negara menerapkan strategi upah murah untuk
menarik investasi dan menggunakan upah minimum sebagai alat untuk mengontrol
gejolak buruh, pada era reformasi, negara yang telah jauh melemah cenderung
lebih bersifat mendua.
Di
satu sisi negara ingin terus memegang kontrol terhadap penetapan upah minimum
dan, oleh karena itu, bisa terus mempertahankan kontrol terhadap buruh. Di sisi
lain negara ragu-ragu melepaskan sepenuhnya perundingan upah terhadap mekanisme
perundingan kolektif yang mensyaratkan perlindungan yang jelas dan fasilitasi
yang nyata untuk pembangunan serikat buruh yang kuat sebagai aktor penting
dalam perundingan kolektif bersama dengan organisasi pengusaha.
Banyak
kasus pelanggaran hak berserikat terjadi tanpa hukuman dan posisi serikat buruh
pun terus dibiarkan lemah di hadapan pengusaha tanpa proteksi negara. Serikat
buruh memang sudah diakui keberadaannya oleh negara melalui pengesahan UU
Serikat Pekerja/Serikat Buruh Tahun 2000 atau ratifikasi Konvensi ILO Nomor 87
dan 98 tentang Kebebasan Berorganisasi dan Berunding Bersama. Namun, serikat
buruh tampaknya masih belum juga diakui oleh pengusaha.
Desentralisasi
penetapan upah minimum di berbagai daerah (Dewan Pengupahan menjadi pusat dari
prosesnya) juga menghasilkan wajah ganda yang menciptakan tantangan lain untuk
pengembangan penetapan upah minimum sebagai satu alat kebijakan sosial dan
tolok ukur untuk perundingan kolektif.
Persaingan
antar daerah dan perbedaan terkait dinamika politik di daerah menghasilkan upah
minimum ataupun kebijakan upah yang saling tidak konsisten dan sering kali
bertolak belakang antara satu daerah dan daerah lainnya, antara satu sektor dan
sektor lainnya.
Penghapusan
upah minimum Provinsi Jawa Barat pada tahun 2010, misalnya, membuat buruh di
Kabupaten Sukabumi tak memiliki cantolan hukum untuk mendapatkan upah yang
lebih baik dari upah minimum kabupaten yang praktis masih jauh di bawah upah
minimum provinsi.
Kesenjangan
upah antardaerah yang begitu besar juga menciptakan fenomena race to the bottom
ketika perusahaan berlomba untuk relokasi ke daerah yang memiliki upah minimum
lebih rendah. Hal ini mendorong keresahan buruh yang kian meningkat di berbagai
daerah, baik yang ditinggalkan maupun yang didatangi.
Semua
ini tak bisa tidak membutuhkan peran dan campur tangan negara, khususnya
Jakarta, untuk mengatasinya. Campur tangan negara ini tak harus berlebihan
untuk memberi peluang perundingan kolektif terlaksana, khususnya di tingkat
perusahaan atau sektor industri, tetapi juga tak boleh kekurangan sebab
menciptakan ketidakpastian.
Tanpa
posisi dan sikap tegas negara dan pemerintah mendukung keberadaan serikat buruh
dan melindungi keterlibatan mereka dalam perundingan kolektif, termasuk juga
dalam soal upah, dan juga tanpa keinginan dan niat baik pengusaha mulai mau
bekerja sama secara nyata dengan serikat buruh sebagai mitra sosialnya,
penetapan upah minimum di daerah tampaknya akan terus jadi sumber konflik
daripada kesepakatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar