Star Wars Vs Jurassic Park
Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE
Sumber
: KOMPAS, 28 November 2011
Sebagian
besar dari kita mungkin sepakat, ekonomi Indonesia sedang bersinar. Setidaknya
itu pesan yang saya tangkap dari sejumlah pertemuan di forum internasional
beberapa tahun terakhir.
Dalam
pertemuan terbatas dengan top executive Toyota dalam Toyota World Convention
dua minggu lalu di Amerika Serikat, Chairman Toyoda secara spesifik dan
antusias meminta saya memaparkan perkembangan positif ekonomi Indonesia.
Data
memang mendukung optimisme ini. Sampai triwulan ketiga 2011, ekonomi tumbuh 6,5
persen, investasi terus meningkat, inflasi di bawah 5 persen, jumlah penganggur
menurun, serta penjualan mobil, sepeda motor, semen, dan ritel begitu kuat
karena didorong kelas konsumen baru.
Di
tengah semua optimisme itu, satu pertanyaan muncul, risiko apa yang bisa
membuat optimisme ini meredup? Ini pertanyaan yang amat penting. Saya kira ada
dua risiko yang mungkin mengganggu kita.
Risiko Sektor Keuangan.
Dampak dari krisis Eropa akan mulai terasa di Indonesia awal
tahun 2012. Di Eropa akan terjadi kompetisi terhadap modal dan deleveraging
(penurunan kinerja).
Implikasinya,
perbankan di Eropa mulai memperlambat penyaluran kreditnya ke Asia. Beberapa
negara Asia berisiko menghadapi risiko pengetatan kredit (credit crunch).
Pemicunya, penarikan whole funding dari sektor perbankan domestik atau
penurunan pasokan kredit serta pembiayaan perdagangan.
Benar,
Indonesia tak memiliki eksposur yang besar ke Eropa. Namun, jika negara Asia
terkena, Indonesia bukan kekecualian.
Kita
sudah mulai merasakan terbatasnya likuiditas dollar AS saat ini. Perbankan akan
ada dalam tekanan.
Di
sini kita harus berhati-hati. Saya khawatir maksud baik Bank Indonesia untuk
mendorong perbankan melakukan ekspansi kredit di satu sisi, sambil membatasi
net-interest margin (NIM) dan kepemilikan bank di sisi lain, akan menimbulkan
ketidakstabilan di sektor keuangan—khususnya untuk bank kecil dan menengah.
”Anjuran”
Bank Indonesia untuk mendorong kredit perbankan akan membuat rasio kecukupan
modal, capital adequacy ratio (CAR), menurun. Jika CAR menurun, pemilik bank
harus menyuntikkan modal.
Bayangkan
dalam situasi krisis, bank butuh modal, tetapi kepemilikan dibatasi dan NIM
dikurangi. Implikasinya, tak ada insentif menyuntik modal. Tanpa modal yang
kuat, posisi bank—khususnya bank kecil dan menengah—sangat rentan terhadap
krisis.
Risiko Infrastruktur
Kedua,
risiko infrastruktur. Dengan kapasitas listrik, pelabuhan, jalan, dan bandar
udara yang masih seperti ini—jauh dari memadai—sulit untuk mencapai pertumbuhan
di atas 7 persen.
Lihat
bagaimana berisikonya Bandara Soekarno-Hatta karena keterbatasan infrastruktur.
Keselamatan penumpang dipertaruhkan. Saya berkali-kali mengatakan, fokus saja
pada infrastruktur. Selesaikan undang-undang pembebasan lahan dan peraturan
pemerintahnya.
Jika
infrastruktur tak juga kunjung beres dan negara gagal menyediakan infrastruktur
publik, pelaku ekonomi terpaksa membangun sendiri infrastrukturnya.
Gejala
ini sudah mulai terjadi. Beberapa perusahaan membangun sendiri pelabuhan,
jalan, dan logistiknya. Sepintas, ini baik, tetapi sesungguhnya kita memasuki
sebuah era yang amat mengkhawatirkan. Jika barang publik terpaksa diubah
menjadi barang privat karena ketidakmampuan negara menyediakan jasa publik,
disparitas akan meningkat.
Bayangkan
jika setiap perusahaan harus membangun infrastruktur sendiri. Betapa mahalnya.
Data Statistik Industri bicara, sebagian besar pengguna generator adalah
perusahaan besar. Sebaliknya perusahaan kecil dan menengah lebih bergantung
kepada PLN. Logis, karena generator membutuhkan biaya lebih tinggi. Hanya yang
besar yang mampu. Implikasinya adalah keterbatasan pasokan listrik memukul
industri kecil dan menengah.
Dalam
kasus air bersih, studi Bank Dunia (1988) menyatakan, air bersih dijual
pedagang kepada masyarakat yang tak memiliki akses air dengan harga 4-9 kali
lebih mahal.
Dalam
transportasi, buruknya fasilitas angkutan publik memaksa orang membeli
kendaraan pribadi, yang pasti lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan
transportasi publik.
Pendeknya,
usaha kecil dan penduduk miskin yang paling dirugikan oleh keterbatasan
infrastruktur. Di sini kita melihat, kegagalan negara menyediakan infrastruktur
publik hanya akan memukul yang kecil.
Kasus
ini berbeda dengan privatisasi karena dalam kasus ini swasta terpaksa masuk
walau secara ekonomis tak efisien karena tak ada pilihan lain. Barang publik
diubah menjadi barang privat demi meminimalkan kerugian, bukan untuk
meningkatkan keuntungan atau kesejahteraan.
Ketimpangan
akan meningkat. Ini risiko yang amat serius. Bisa dibayangkan, pendapatan
semakin meningkat, kelas konsumen baru berkembang. Kelas konsumen baru yang
cerewet dengan pendapatan yang lebih baik akan menuntut kualitas pelayanan jasa
publik yang lebih baik. Sementara di sisi lain, infrastruktur publik semakin
tidak tersedia.
Pemerintah
dan politisi harus menyadari ini dan mengimplementasikan pembangunan
infrastruktur. Jika tidak, ketidakseimbangan ini akan memicu konflik politik
antara perilaku ekonomi modern ala Star Wars dengan cara pikir politisi dan
pemerintah ala Jurassic Park. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar