Menggemakan Pemikiran Gus Dur
Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 28 November 2011
Dengan
basis tradisi keilmuan Islam yang cukup, Gus Dur melakukan dinamisasi pemikiran
Islam. Ia pun melakukan kritik sangat tajam terhadap kemandegan pemikiran
Islam. Ushul fikih yang dalam sejarahnya merupakan proses kreatif untuk
mendinamisasi fikih Islam, dalam perkembangannya, menurut Gus Dur, telah
menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan memandulkan kreativitas.
Akibatnya, umat Islam berwawasan sempit dan sangat ekslusif. Umat Islam menjadi
beban bagi kebangunan peradaban Islam. Aktivitas istinbath tak bisa
dilangsungkan, karena para ulamanya telah terperangkap dalam gubahan fikih
lama. Berbagai upaya untuk mengaransemen fikih Islam selalu ditolak.
Dua
minggu lalu, para pengikut Gus Dur yang menyebut dirinya sebagai Gus-Durian
berkumpul di Jakarta. Tak kurang dari lima puluhan orang datang, dari berbagai
daerah dan dari lintas generasi. Mereka menyelenggarakan simposium selama tiga
hari (16-18 Nopember 2011) untuk mengkristalisasikan pemikiran-pemikiran Gus
Dur dalam konteks keindonesiaan, keislaman, dan ke-NU-an. Beberapa sahabat dan
kolega Gus Dur diminta bicara dalam forum itu. Saya yang lebih tepat disebut
sebagai santri atau murid Gus Dur pun diminta bicara.
Pengetahuan
saya tentang Gus Dur mungkin tak sempurna. Terlampau banyak orang yang lebih
tahu tentang Gus Dur karena meriset secara khusus pemikiran-pemikiran Gus Dur.
Puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengulas rinci noktah-noktah pemikiran
Gus Dur telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih hidup maupun ketika sudah
meninggal dunia. Gus Dur telah diteliti dalam berbagai perspektif dan dari
berbagai disiplin keilmuan. Dalam forum itu, laksana menggarami lautan, saya
hanya menyatakan kembali poin penting pemikiran Gus Dur, yaitu penolakannya
yang konsisten terhadap “ortodoksi” dan “purifikasi” Islam.
Di
lingkungan umat Islam terlebih kaum Nahdhiyyin, Gus Dur berfungsi sebagai pendobrak
kebekuan berfikir. Ia tak menutup pintu bagi filsafat dalam Islam. Itu
sebabnya, ia mengintroduksi diskursus filsafat ke dalam publik Islam Indonesia.
Ia tak hanya membaca al-Ghazali yang menampik filsafat, tapi juga melahap Ibn
Rushd yang menerima filsafat. Bahkan, Gus Dur antusias untuk bertamu ke kedai
orang-orang seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah dan Ibn Thufail, hingga para
filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh
membacai karya-karya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan
Bonaventura.
Dengan
basis tradisi keilmuan Islam yang cukup, Gus Dur melakukan dinamisasi pemikiran
Islam. Ia pun melakukan kritik sangat tajam terhadap kemandegan pemikiran
Islam. Ushul fikih yang dalam sejarahnya merupakan proses kreatif untuk
mendinamisasi fikih Islam, dalam perkembangannya, menurut Gus Dur, telah
menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan memandulkan kreativitas.
Akibatnya, umat Islam berwawasan sempit dan sangat ekslusif. Umat Islam menjadi
beban bagi kebangunan peradaban Islam. Aktivitas istinbath tak bisa
dilangsungkan, karena para ulamanya telah terperangkap dalam gubahan fikih
lama. Berbagai upaya untuk mengaransemen fikih Islam selalu ditolak.
Walau
tak dikenal sebagai pakar fikih, Gus Dur turun tangan membenahi fikih Islam
yang “mogok” di tengah jalan itu. Ia meminta agar teks keagamaan yang diduga
kuat akan membentur HAM, pluralisme dan nilai-nilai demokrasi untuk ditafsir
ulang, mulai dari soal terminologi murtad hingga soal kafir. Gus Dur berdebat
sengit dengan sekelompok umat Islam yang menggolongkan orang-orang non-Muslim
Indonesia sebagai kafir dzimmi yang rendah bahkan harbi yang boleh diperangi.
Gus Dur pun menafsir ulang pengertian al-maqashid al-syar’iyah atau
al-dlaruriyat al-khms (lima prinsip dasar Islam). Di antaranya, hifdz al-din
diartikan Gus Dur dengan kebebasan beragama, hifdz al-aql dengan kebebasan
berfikir.
Sebab
mengerti relativisme dan subyektivisme fikih, Gus Dur menolak menjadikan fikih
sebagai hukum positif negara. Formalisasi fikih Islam ke dalam produk
perundang-undangan, demikian Gus Dur, bukan solusi bagi masyarakat Indonesia
yang plural. Telah lama Gus Dur membunyikan lonceng peringatan sekiranya umat
Islam memaksa agar fikih Islam yang partikular dan beragam itu diformalisasikan.
Memformalisasikan satu jenis fikih berarti membuang puluhan jenis fikih yang
lain. Itu sebabnya, Gus Dur lebih suka merelakan fikih berada di tangan
pemangku agama dan bukan di haribaan penguasa negara. Biarkan fikih menjadi
medan eksplorasi intelektual para ulama dan bukan bahan hegemoni para zuama.
Lebih
dari itu, menurut Gus Dur, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
seluruh warga negara tak terkecuali umat Islam harus terus didorong untuk
merujuk pada Pancasila dan konstitusi bukan pada teks kitab suci. Kitab suci
boleh menjadi inspirasi, tapi tak boleh menjadi aspirasi. Tuntutan formalisasi
syariat Islam, demikian Gus Dur, berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas
kesetaraan bagi warga negara. Di negara Indonesia, kedudukan utama seseorang
adalah warga negara bukan warga agama. Semua kita pada mulanya adalah penghuni
negara Indonesia baru kemudian penghuni agama (Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu, Sikh, Baha’i, dan lain-lain).
Menurut
saya, gagasan-gagasan Gus Dur yang bersifat timeless ini harus diusahakan untuk
terus digemakan dan disirkulasikan. Bukan karena kita fanatik terhadap Gus Dur,
tapi karena gagasan-gagasan universal Gus Dur itu berguna bagi bangsa Indonesia
yang majemuk ini. Tak bisa dibayangkan, Indonesia akan terus eksis sekiranya
gagasan-gagasan HAM, demokrasi, dan pluralisme yang di-endorse Gus Dur dicabut
dari panggung Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar