ASEAN dan Rivalitas China Vs AS
Bawono Kumoro,
PENELITI THE HABIBIE
CENTER
Sumber : SUARA KARYA, 23 November 2011
Ada pernyataan menarik
yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memberikan
pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-19, di Nusa Dua Bali,
baru-baru ini. Pada kesempatan itu, Presiden SBY berharap para pemimpin
negara-negara anggota ASEAN bersikap proaktif agar tidak rentan menjadi korban
rivalitas yang terjadi di antara negara-negara besar.
Pernyataan itu sekilas
memang terdengar sebagai hal biasa. Namun, di tengah gejolak ekonomi dunia dan
dinamika politik global saat ini, statement Presiden SBY agaknya perlu
mendapatkan perhatian ekstra. Gejolak ekonomi dunia dipastikan akan membuat
negara-negara ASEAN menjadi sasaran negara-negara maju.
Paling tidak, kini ada
dua negara besar yang tengah berusaha menjadikan negara-negara ASEAN sebagai
sasaran untuk memulihkan dan memperkuat kondisi perekonomian mereka. Kedua
negara itu adalah China dan Amerika Serikat (AS).
Negeri Tirai Bambu
tengah mencari pasar baru karena gejolak ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat
telah mematikan pemasaran produksi mereka. Untuk itu, China sangat
berkepentingan untuk memperdalam cengkeraman mereka di kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, Amerika
Serikat dipastikan berusaha menguasai negara-negara ASEAN guna mengimbangi
kekuatan ekonomi China yang sedang menggeliat sekaligus meningkatkan volume
perdagangan mereka dalam rangka menyelamatkan kondisi fiskal mereka yang tengah
mengalami defisit besar.
Di samping itu, dewasa
ini ASEAN juga rentan terseret dalam rivalitas politik antara AS dan China,
terutama terkait masalah konflik di Laut China Selatan dan rencana AS
memperkuat basis militer di Asia. Sebagaimana kita ketahui bersama, Laut China
Selatan merupakan perairan yang membentang dari pesisir China dan Taiwan di
sebelah utara, Vietnam di sebelah barat, Malaysia, Brunei Darussalam,
Indonesia, dan Singapura di selatan dan barat daya, hingga ke Filipina di
sebelah timur. Perairan ini telah lama menjadi sumber konflik antara Vietnam,
Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, China, dan Taiwan, terutama terkait
batas zona ekonomi ekslusif.
Memang, Laut China
Selatan memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi jalur lalu lintas bagi
pengapalan minyak mentah dan perdagangan dunia. Selain itu, Laut China Selatan
juga menyimpan berbagai potensi lain, seperti hasil laut, sumber minyak, dan
gas alam. Dalam hal penyelesaian masalah sengketa ini, China ingin menggunakan
jalur negosiasi secara bilateral, bukan melalui forum multilateral. Sedangkan
negara-negara lain menginginkan penyelesaian melalui forum multilateral atau
regional.
Sementara itu, meskipun
tidak berkonfrontasi secara langsung, Amerika Serikat turut berkepentingan atas
Laut China Selatan. Negeri Paman Sam jelas sangat tergiur dengan berbagai
potensi yang dimiliki Laut China Selatan, seperti hasil laut, sumber minyak,
dan gas alam. Bahkan, bukan tidak mungkin Amerika Serikat juga menginginkan
penguasaan penuh terhadap Laut China Selatan mengingat nilai strategis perairan
itu sebagai salah satu jalur lalu lintas utama bagi pengapalan minyak mentah
dan perdagangan dunia.
Rencana Amerika Serikat,
baru-baru ini untuk memperkuat basis militer di Australia Utara merupakan wujud
dari ketertarikan mereka terhadap pesona Laut China Selatan. Sebelumnya, dalam
berbagai kesempatan Presiden Barack Obama mengatakan bahwa Amerika Serikat kini
telah mengalihkan fokus keamanan dari Irak dan Afghanistan. Saat ini fokus
keamanan negara adikuasa ini adalah kawasan Asia Pasifik, terutama Asia
Tenggara.
Amerika Serikat berdalih
bahwa pengalihan fokus keamanan itu dilakukan untuk menjaga stabilitas di Asia
Pasifik sekaligus dapat diberdayakan untuk operasi kemanusiaan dan bantuan
keamanan. Namun, kuat dugaan hal itu tidak lebih dari sekadar taktik Amerika
Serikat untuk menandingi kekuatan China di Laut China Selatan.
Dalam konteks itu,
pernyataan Presiden SBY menjadi terasa sangat penting untuk direnungi dan
direalisasikan oleh negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia sendiri. Rivalitas
ekonomi dan politik antara China dan Amerika Serikat, jangan sampai membuat
negara-negara ASEAN terbawa dan terjebak di tengah arus pusaran persaingan
kedua negara tersebut. Sebaliknya, negara-negara ASEAN justru harus dapat
memanfaatkan rivalitas kedua negara itu. Bukan saja untuk memperluas wilayah
sasaran ekspor, tetapi juga untuk menarik investor semaksimal mungkin.
Singkat kata, rivalitas
ekonomi dan politik yang saat ini tengah terjadi antara China dan Amerika
Serikat harus dimanfaatkan dan diarahkan untuk keuntungan negara-negara ASEAN,
bukan untuk menyerahkan diri dan dikuasai. Jika hal itu gagal dilakukan, maka
dapat dipastikan perkumpulan negara-negara Asia Tenggara ini akan segera
meregang nyawa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar