Diponegoro dan Orang Sekarang
Agus Dermawan T.,
KRITIKUS, ESAIS, PENULIS BUKU-BUKU SENI
Sumber : KORAN TEMPO, 24 November 2011
Kepahlawanan Pangeran Diponegoro (1785-1855) kembali aktual pada tiga
bulan terakhir, dan memuncak pada November 2011. Pasalnya,11 November adalah
hari
lahir putra Sultan Hamengku Buwono III itu. Dan untuk memperingati
keberanian serta kebesarannya, penari Sardono W.Kusumo mementaskan
tari-drama-nyanyi Java War! 1825-0000. Pentas unik ini digelar di Teater
Jakarta dengan bintang Sardono sendiri, penyanyi Iwan Fals, serta pemain film
dan teater Happy Salma.
Diponegoro tentulah orang yang luar biasa. Selama lebih dari satu
setengah abad, orang Jawa mengingatnya sebagai lelaki yang rendah hati dan jauh
dari hasrat ingin bertakhta. Diponegoro juga dikenang sebagai manusia yang jauh
dari niat mengambil yang bukan miliknya, bahkan termasuk soal kelimpahan
fasilitas yang diberikan dengan sepenuh hati oleh ayahnya. Sehingga ia
sesungguhnya adalah contoh paling relevan untuk memperbaiki perilaku bangsa
Indonesia kontemporer, yang tak bisa lari dari nafsu untuk memperkaya diri dan
berkuasa.
Ketika Sultan Hamengku Buwono III ingin mengangkatnya menjadi
sultan untuk menggantikannya,Diponegoro menolak. Di tengah tawaran yang menjanjikan
ketinggian citra dan keramaian seremonial itu, ia bertutur: “Dengan perasaan
terima kasih tiada terhingga anakanda menghargai dan menjunjung tinggi
keinginan paduka Ayahanda. Namun kehormatan setinggi itu saya serahkan dengan
keikhlasan hati kepada adik anakanda. Sebagai kakak, saya akan membantunya
dengan segala daya dan nasihat.” (Babad Cakranegara). Pada akhirnya sejarah
menyaksikan, yang duduk di singgasana adalah Sultan Jarot, sebagai Hamengku
Buwono IV.
Positivitas Diponegoro didapat dari guru spiritualnya, Kanjeng
Ratu Ageng, yang sekaligus neneknya. Dengan bekal mental itu Diponegoro lantas
selalu siap dengan
sikap madheb, karep, manteb (jelas posisinya, jelas
tujuannya, dan tegas pelaksanaannya). Bandingkan dengan hasrat sejumlah “pemilik
peluang”di negeri ini, yang tak henti bergairah memakan segala hal yang bukan
haknya. Dari polisi, hakim,
jaksa, kepala daerah, anggota parlemen, sampai menteri, sehingga
muncul budaya
korupsi. Dan bandingkan pula dengan sejumlah politikus atau
pseudo-politikus di
Indonesia yang dengan sebisanya merebut kursi tertinggi pejabat
negara, dari bupati
sampai kepala negara, dengan menggunakan kesempatan nepotis
ayahnya, adiknya,
suaminya, iparnya, pakdenya, keponakannya.
Perang Dimulai
Tanpa kekuasaan dan jabatan kesultanan, Diponegoro tulus
mengabdikan diri kepada
masyarakat luas. Mripat-nya senantiasa dibuka untuk melihat
kenyataan. Hati nuraninya selalu digetarkan untuk mengukur kebenaran dan
kebatilan. Kepintarannya
dipakai untuk menyusun kebijaksanaan. Ketangkasannya digunakan untuk
melindungi rakyatnya.
Karena itu, ia gusar ketika Belanda memungut bermacam-macam jenis
pajak kepada rakyat yang sudah sulit dalam menjalani hidup. Ia berang ketika
Belanda mengintervensi urusan perwalian keraton, ketika Sultan Hamengku Buwono
IV (adiknya) mangkat pada 1822. Ia benci kepada Belanda yang terus menghasut
kerabat
keraton agar mencurigai dirinya sebagai musuh dalam selimut.
Kegusaran, keberangan, dan kebencian itu meledak jadi kemarahan
hebat ketika ia tahu Belanda membuat patok-patok tanah yang menggilas tanah
pekuburan keluarga
(nenek moyang) Diponegoro. Pematokan tanah untuk jalan raya itu
dilakukan oleh anak buah Patih Danurejo IV, antek-antek Belanda. Diponegoro
mencabuti patok-patok itu, namun Belanda selalu memasangnya kembali.Ketegangan
muncul, Diponegoro melawan. Sampai akhirnya Diponegoro diserang secara mendadak
di kediamannya, Tegalrejo. Diponegoro, yang terkejut, segara menyingkir ke Goa Selarong
untuk menyiapkan kekuatan. Perang pun dimulai.
Berkaitan dengan patok-patok ini kita bisa membandingkan dengan
keributan masalah perbatasan darat dan laut Indonesia-Malaysia, yang
ujung-ujungnya sering bermuara pada diplomasi pelunakan, dan memposisikan
Indonesia sebagai pecundang. Perang Diponegoro memang meletus di Yogyakarta.
Namun heroisme Diponegoro menyulut pemberontakan terhadap Belanda di segala
penjuru Jawa. Di Bagelen, Kedu, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Blora,
Bojonegoro, Madiun, Kertosono, dan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Belanda
yang kelabakan mencatat, 15 dari 29 pangeran Yogyakarta, serta 41 dari 88
bupati di Jawa, mendukung Diponegoro untuk melakukan pemberontakan. Bagi
Belanda, inilah perang paling merepotkan dan memakan korban selama 200 tahun
penjajahannya.Tak kurang dari 15 ribu tentara Belanda mati. Namun, dipihak
Diponegoro, sekitar 20 ribu yang tewas. Sementara itu, Belanda yang panik seenaknya
membantai 180 ribu penduduk di sepanjang Pulau Jawa.
Keberanian Diponegoro telah solid di hati masyarakat Indonesia.
Karena itu, jangan
sekali-kali mengusik kebesarannya. Sebuah amsal, pada medio
September 2011 sejarawan Belanda menulis bahwa Diponegoro memberontak karena
tuntutannya
atas jabatan kesultanan tidak dikabulkan Belanda. Atas sejarah tak
berdasar itu para pakar Indonesia gusar. Sehingga diadakanlah seminar di
Universitas Diponegoro dan di Arsip Nasional RI Semarang, dengan menampilkan
sebarisan pembicara, dari Prof Dr Fasli Jalal, Ph.D, Prof Dr Wardiman
Djojonegoro, Dr Sugeng Priyadi, Prof Dr Masrukhi, Prof Dr Dadang Supardan, Dr
Murni Ramli, sampai Dr Peter Carey.
Ditangkap atau Takluk?
Perang Jawa alias Perang Diponegoro berakhir ketika Jenderal H.M.
De Kock menangkap panglima hebat ini dalam sebuah “perundingan damai”di hari
kedua Idul Fitri. Perundingan yang dilangsungkan di Magelang pada 28 Maret 1930
itu ternyata memiliki agenda licik dan tersembunyi: menangkap Diponegoro.
Dengan ditangisi
rakyatnya, Diponegoro diasingkan ke Manado, untuk kemudian
dipindahkan ke Makassar, tempat meninggalnya pada 8 Januari 1855.
Kisah penangkapan Pangeran Diponegoro ini dilukiskan dengan apik
oleh Raden Saleh (1807-1880). Lukisan berukuran 112 x 178 cm ciptaan 1857 itu
kini terpajang di Istana Negara. Raden Saleh memang pendukung Perang
Diponegoro, meski setengah hatinya mengabdi kepada kolonialisme Belanda. Ketika
pemihakan kepada Diponegoro ini diketahui, Belanda mengancam akan memangkas
biaya hidup Raden Saleh semasa hidup di Den Haag (Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie, 1873). Kasus ini membuktikan betapa Belanda sangat
takut kepada Diponegoro.
Ada satu lagi lukisan yang mengisahkan penangkapan itu. Lukisan
tersebut diciptakan
Nicolaas Pieneman (1809-1860). Harus diakui, lukisan Nicolaas
lebih sempurna dibanding karya Raden Saleh. Namun, dasar Belanda, lukisan
koleksi Rijksmuseum
Amsterdam ini diberi judul “Takluknya Diponegoro”, yang
dikonotasikan sebagai Diponegoro menyerahkan diri.
Pelukis lain yang kerap merekam Diponegoro adalah Basoeki Abdullah
(1915-1993). Syahdan, Basoeki adalah “penemu” wajah Diponegoro yang sesungguhnya,
lantaran Diponegoro semasa hidupnya selalu menghindar bila direkam. Menurut
hikayat, Basoeki pernah bertemu dengan Diponegoro di Pantai Parangtritis, lewat
mediator
Nyi Loro Kidul. Percaya atau tidak, sampai sekarang wajah
Diponegoro ala Basoeki itulah yang diikuti oleh khalayak ramai sebagai panduan
mengenali Sang Pangeran Pahlawan. Lukisan itu berjudul “Pangeran Diponegoro
Memimpin Perang”, ciptaan 1949, koleksi Presiden Sukarno. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar