Menjaga Pasar Tradisional
Achmad M. Akung,
DOSEN FAKULTAS PSIKOLOGI UNDIP
Sumber : SINDO, 24 November 2011
Sungguh memprihatinkan ketika kita
membaca pasar tradisional di Ibu Kota yang semakin kalah bersaing dengan
keberadaan pasar modern. Dari 153 pasar tradisional,mayoritas kondisinya
memprihatinkan (SINDO, 15/11).
Realitasnya, pasar tradisional di
negeri ini memang kian terjepit. Satu persatu, pasar tradisional limbung, lalu
tumbang. Sangat sedikit yang bisa berkembang. Seandainya tidak mati,ia menjadi
stagnan. Seakan hidup enggan mati tak hendak. Banyak pihak menganalisis
terdesaknya pasar tradisional ini karena masifnya ekspansi pasar-pasar modern
yang menggurita.
Namun,faktor ini sejatinya tidak akan berdampak sedemikian besar apabila pasar tradisional memiliki modus bertahan yang kokoh.Faktor internal, dengan demikian, memiliki pengaruh yang semestinya tidak boleh dinafikan. Sayangnya,dalam perspektif penulis,modus bertahan pasar tradisional yang cenderung konvensional dan kurang responsif terhadap tuntutan perkembangan zaman membuat pasar tradisional menjadi limbung. Tanpa perubahan paradigma, migrasi konsumen menuju pasar modern segera menjadi keniscayaan.
Ruang Kultural
Dalam pandangan Clifford Geertz dalam buku Penjaja dan Raja (1977),pasar adalah suatu pranata ekonomi sekaligus cara hidup, suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencakup banyak aspek. Pasar tradisional adalah entitas yang tidak sekadar mendinamisasi ekonomi dan menopang tegak ekonomi kerakyatan dengan mempertemukan penjual dan pembeli. Pasar tradisional memiliki tanggung jawab dan fungsi yang jauh lebih kompleks.
Sebagai sebuah sistem kebudayaan, ia adalah ruang yang menjaga dan menyangga dinamika sosio-kultural masyarakat. Pasar tradisional menjadi “melting pot” serta lokus pertemuan berbagai warna budaya. Ragam corak mata pencaharian, pertanian, perdagangan,religi, sistem sosial kemasyarakatan seakan melebur dalam kesatuan ide,aktivitas,dan artifak bernama pasar tradisional.
Salah satu keunggulan pasar tradisional dibandingkan pasarmodern adalah kehangatan dalam interaksi di dalamnya. Konsumen mendapatkan pelayanan langsung yang hangat, akrab, dan humanis dari pedagang plus tawar-menawar yang seru. Di lapak-lapak pasar tradisional, fragmen itu begitu indah tersaji dalam segenap ketulusan jiwa dan nuansa persaudaraan yang kental.
Boleh jadi, semua itu akan menjadi kenangan yang ’ngangeni’ (membuat kangen). Bandingkan dengan pasar modern yang lebih banyak mengandalkan mesin sehingga interaksi di dalamnya terasa dangkal dan hambar. Meskipun di sana juga ada karyawan, SPG,dan penjaga, pola interaksinya tampak kurang setulus di pasar tradisional yangdibangun secara kultural.
Ke(tidak)arifan Pasar
Terpuruknya pasar tradisional mengingatkan kita akan futurologi Jayabaya, sebuah kearifan lokal dari tanah Jawa. ”Yen pasar wis ilang kumandhange” (kalau pasar sudah kehilangan keramaiannya) adalah salah satu isyarat bahwa zaman kalabendu mulai menyambangi kita. Runtuhnya pasar tradisional adalah sebuah semiotika yang mengabarkan pada kita tentang pudarnya sebuah warna budaya yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Sebagai penggantinya, muncul peradaban baru,pasar modern yang pragmatis-kapitalis yang nyaris kering dari sentuhan kemanusiaan. Sebagian pelaku di pasar tradisional justru mengembangkan pola adaptasi kurang adikuat berupa perilaku yang tidak arif. Ketidak arifan inilah yang turut berandil besar untuk membuat konsumen pasar tradisional bermigrasi memilih pasar modern.
Kita juga bisa mendapati mulai terjadinya pergeseran orientasi pedagang dalam menjalankan usahanya. Dulu, sesepuh kita memberi wejangan ‘Tuna sathak bathi sanak’ (rugi materi, namun untung mendapat saudara).Petuah ini mengabarkan bahwa berdagang bukanlah sekadar profesi yang menghamba uang dan keuntungan semata. Demikian pula ‘Sesantisugih esem lan dhowo ususe’ (kaya senyum dan sabar), yang mengajarkan bahwa pembeli adalah raja.
Perdagangan memiliki ruh bernama persaudaraan, perlakuan itu begitu tulus laiknya pada saudara. Demikian pula harga barang, bisa sangat damai dan bersahabat.Sekadar bisa memutar roda usaha dan ’numpang’sedikit profit. Sayangnya, ruh itu perlahan terkikis ditelan keruhnya zaman yang kapitalis. Keuntungan kadangdikejardenganmenghalalkan segala cara.Kecurangan dan pelanggaran etika seperti mengurangi timbangan, menipu pembeli, mengoplos, menyembunyikan barang rusak, memalsu merek, juga masih marak dilakukan.
Mungkin di antara kita pernah mengalami pengalaman traumatis yang dalam bahasa Jawa disebut ’keblondrok’. ‘Keblondrok’adalah ketika kita membeli barang dengan harga yang jauh di atas harga umum. Mungkin juga kita pernah mengalami dimarahi atau diejek, diomeli atau mendapati perilaku yang tidak bersahabat dari pedagang ketika berbelanja.Trauma psikologis ini akan menyebabkan konsumen enggan kembali ke pasar tradisional.
Realitas ini diperparah dengan kondisi fisik pasar tradisional memang benar buruk, benar tidak menarik, dan tidak nyaman. Akibatnya pasar menjadi lokus yang dihindari orang karena jorok,sumpek,bau, becek, bocor kala hujan,pengap,tidak teratur,dan acakadut,sehingga tidak nyaman untuk aktivitas berbelanja. Stigma pasar adalah sebuah tempat yang semrawut, tidak aman karena banyak copet dan jambret beraksi, biang keladi kemacetan lalu lintas, sudah kadung tertancap dalam benak konsumen.
Dalam kondisi serbaterjepit seperti sekarang ini, pasar tradisional memerlukan modus baru untuk bertahan yang melibatkan segenap pemangku kebijakan,mulai dari pedagang hingga pemerintah. Para pembeli juga mesti ditarik kembali agar berkenan menyambangi pasar tradisional yang sejatinya menopang tegaknya ekonomi kerakyatan. Pemerintah semestinya bertanggung jawab atas aspek fisik berupa infrastruktur.
Kebijakan yang berpihak pada kepentingan pasar tradisional dengan memperbanyak anggaran untuk merawat dan merev i t a l i s a s i fisik pasar, merekrut tenaga keamanan, serta mempersiapkan sarana transportasi yang manusiawi sangat dinanti. Demikian pula penyediaan kredit dan pembinaan positif bagi pedagang. Sayangnya, pemerintah pusat maupun daerah tampak masih ’adem-ayem’ dan abai dengan realitas ini.
Revitalisasi fisik pasar justru dijadikan sebagai modus ’bancakan’ proyek untuk menggusur para pedagang tradisional. Harga los baru yang dipatok melangit jelas tidak terjangkau para pedagang kecil yang bermodal cekak. Yang kita butuhkan sekarang adalah kesungguhan hati segenap pihak untuk menjaga eksistensi pasar tradisional.
Saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang tegas berpihak pada pasar tradisional agar pasar tradisional tidak termakan gurita kapitalisme. Saatnya pula, pedagang dan konsumen berinteraksi lebih sinergis,karena sesungguhnya mereka saling membutuhkan. Apabila tidak dirawat dengan bijaksana, pasar tradisional sungguh akan berada di ambang senjakala. Menjadi sebuah kenangan peradaban, berupa seonggok artifak ruang kultural yang tergilas pusaran zaman. ●
Namun,faktor ini sejatinya tidak akan berdampak sedemikian besar apabila pasar tradisional memiliki modus bertahan yang kokoh.Faktor internal, dengan demikian, memiliki pengaruh yang semestinya tidak boleh dinafikan. Sayangnya,dalam perspektif penulis,modus bertahan pasar tradisional yang cenderung konvensional dan kurang responsif terhadap tuntutan perkembangan zaman membuat pasar tradisional menjadi limbung. Tanpa perubahan paradigma, migrasi konsumen menuju pasar modern segera menjadi keniscayaan.
Ruang Kultural
Dalam pandangan Clifford Geertz dalam buku Penjaja dan Raja (1977),pasar adalah suatu pranata ekonomi sekaligus cara hidup, suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencakup banyak aspek. Pasar tradisional adalah entitas yang tidak sekadar mendinamisasi ekonomi dan menopang tegak ekonomi kerakyatan dengan mempertemukan penjual dan pembeli. Pasar tradisional memiliki tanggung jawab dan fungsi yang jauh lebih kompleks.
Sebagai sebuah sistem kebudayaan, ia adalah ruang yang menjaga dan menyangga dinamika sosio-kultural masyarakat. Pasar tradisional menjadi “melting pot” serta lokus pertemuan berbagai warna budaya. Ragam corak mata pencaharian, pertanian, perdagangan,religi, sistem sosial kemasyarakatan seakan melebur dalam kesatuan ide,aktivitas,dan artifak bernama pasar tradisional.
Salah satu keunggulan pasar tradisional dibandingkan pasarmodern adalah kehangatan dalam interaksi di dalamnya. Konsumen mendapatkan pelayanan langsung yang hangat, akrab, dan humanis dari pedagang plus tawar-menawar yang seru. Di lapak-lapak pasar tradisional, fragmen itu begitu indah tersaji dalam segenap ketulusan jiwa dan nuansa persaudaraan yang kental.
Boleh jadi, semua itu akan menjadi kenangan yang ’ngangeni’ (membuat kangen). Bandingkan dengan pasar modern yang lebih banyak mengandalkan mesin sehingga interaksi di dalamnya terasa dangkal dan hambar. Meskipun di sana juga ada karyawan, SPG,dan penjaga, pola interaksinya tampak kurang setulus di pasar tradisional yangdibangun secara kultural.
Ke(tidak)arifan Pasar
Terpuruknya pasar tradisional mengingatkan kita akan futurologi Jayabaya, sebuah kearifan lokal dari tanah Jawa. ”Yen pasar wis ilang kumandhange” (kalau pasar sudah kehilangan keramaiannya) adalah salah satu isyarat bahwa zaman kalabendu mulai menyambangi kita. Runtuhnya pasar tradisional adalah sebuah semiotika yang mengabarkan pada kita tentang pudarnya sebuah warna budaya yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Sebagai penggantinya, muncul peradaban baru,pasar modern yang pragmatis-kapitalis yang nyaris kering dari sentuhan kemanusiaan. Sebagian pelaku di pasar tradisional justru mengembangkan pola adaptasi kurang adikuat berupa perilaku yang tidak arif. Ketidak arifan inilah yang turut berandil besar untuk membuat konsumen pasar tradisional bermigrasi memilih pasar modern.
Kita juga bisa mendapati mulai terjadinya pergeseran orientasi pedagang dalam menjalankan usahanya. Dulu, sesepuh kita memberi wejangan ‘Tuna sathak bathi sanak’ (rugi materi, namun untung mendapat saudara).Petuah ini mengabarkan bahwa berdagang bukanlah sekadar profesi yang menghamba uang dan keuntungan semata. Demikian pula ‘Sesantisugih esem lan dhowo ususe’ (kaya senyum dan sabar), yang mengajarkan bahwa pembeli adalah raja.
Perdagangan memiliki ruh bernama persaudaraan, perlakuan itu begitu tulus laiknya pada saudara. Demikian pula harga barang, bisa sangat damai dan bersahabat.Sekadar bisa memutar roda usaha dan ’numpang’sedikit profit. Sayangnya, ruh itu perlahan terkikis ditelan keruhnya zaman yang kapitalis. Keuntungan kadangdikejardenganmenghalalkan segala cara.Kecurangan dan pelanggaran etika seperti mengurangi timbangan, menipu pembeli, mengoplos, menyembunyikan barang rusak, memalsu merek, juga masih marak dilakukan.
Mungkin di antara kita pernah mengalami pengalaman traumatis yang dalam bahasa Jawa disebut ’keblondrok’. ‘Keblondrok’adalah ketika kita membeli barang dengan harga yang jauh di atas harga umum. Mungkin juga kita pernah mengalami dimarahi atau diejek, diomeli atau mendapati perilaku yang tidak bersahabat dari pedagang ketika berbelanja.Trauma psikologis ini akan menyebabkan konsumen enggan kembali ke pasar tradisional.
Realitas ini diperparah dengan kondisi fisik pasar tradisional memang benar buruk, benar tidak menarik, dan tidak nyaman. Akibatnya pasar menjadi lokus yang dihindari orang karena jorok,sumpek,bau, becek, bocor kala hujan,pengap,tidak teratur,dan acakadut,sehingga tidak nyaman untuk aktivitas berbelanja. Stigma pasar adalah sebuah tempat yang semrawut, tidak aman karena banyak copet dan jambret beraksi, biang keladi kemacetan lalu lintas, sudah kadung tertancap dalam benak konsumen.
Dalam kondisi serbaterjepit seperti sekarang ini, pasar tradisional memerlukan modus baru untuk bertahan yang melibatkan segenap pemangku kebijakan,mulai dari pedagang hingga pemerintah. Para pembeli juga mesti ditarik kembali agar berkenan menyambangi pasar tradisional yang sejatinya menopang tegaknya ekonomi kerakyatan. Pemerintah semestinya bertanggung jawab atas aspek fisik berupa infrastruktur.
Kebijakan yang berpihak pada kepentingan pasar tradisional dengan memperbanyak anggaran untuk merawat dan merev i t a l i s a s i fisik pasar, merekrut tenaga keamanan, serta mempersiapkan sarana transportasi yang manusiawi sangat dinanti. Demikian pula penyediaan kredit dan pembinaan positif bagi pedagang. Sayangnya, pemerintah pusat maupun daerah tampak masih ’adem-ayem’ dan abai dengan realitas ini.
Revitalisasi fisik pasar justru dijadikan sebagai modus ’bancakan’ proyek untuk menggusur para pedagang tradisional. Harga los baru yang dipatok melangit jelas tidak terjangkau para pedagang kecil yang bermodal cekak. Yang kita butuhkan sekarang adalah kesungguhan hati segenap pihak untuk menjaga eksistensi pasar tradisional.
Saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang tegas berpihak pada pasar tradisional agar pasar tradisional tidak termakan gurita kapitalisme. Saatnya pula, pedagang dan konsumen berinteraksi lebih sinergis,karena sesungguhnya mereka saling membutuhkan. Apabila tidak dirawat dengan bijaksana, pasar tradisional sungguh akan berada di ambang senjakala. Menjadi sebuah kenangan peradaban, berupa seonggok artifak ruang kultural yang tergilas pusaran zaman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar