Reformasi Sistem Pengupahan
Rekson Silaban, Ketua Majelis Penasihat
Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
Sumber
: KOMPAS, 24 November 2011
Setiap
tahun hubungan industrial Indonesia pasti bergejolak akibat kekisruhan
penetapan upah minimum.
Penetapan
besaran upah minimum provinsi (UMP) yang dilakukan di setiap provinsi pasti
diwarnai banyak aksi demo penolakan terhadap usulan besaran upah.
Keberatan
tak selalu dari buruh, tetapi juga dari pengusaha dengan menggugat penetapan
pemerintah di pengadilan. Konflik kadang diperburuk aroma politicking di daerah
yang hendak menggelar pilkada. Upah kadang dinaikkan lebih tinggi dari usulan
dewan pengupahan tripartit daerah untuk mendongkrak popularitas kepala daerah
petahana. Besaran upah sering berubah akibat aksi demo. Sistem pengupahan
akhirnya nyaris tak berfungsi di beberapa daerah.
Misalnya
kenaikan UMP DKI 2011 ditetapkan 17 persen sekalipun dewan pengupahan tripartit
DKI hanya merekomendasikan 7 persen. Pekan ini Pemprov DKI menaikkan upah 2012
hampir 20 persen (dari Rp 1.290.000 ke Rp 1.529.150). Kenaikan ini disambut
meriah buruh, tetapi ditanggapi kecewa pengusaha. Kenaikan 37 persen dalam dua
tahun sangat membebani UKM sebagai pemain utama bisnis sektor manufaktur
sekalipun baru 2012 upah buruh DKI sesuai komponen upah kebutuhan hidup layak.
Siapa
sebenarnya yang diuntungkan kenaikan ini, apakah kenaikan cukup tinggi akan
dinikmati buruh? Jawabannya, hanya menguntungkan buruh dalam jangka pendek,
tetapi tak menguntungkan siapa pun dalam jangka panjang! Sebab, sistem
pengupahan yang kita miliki sebenarnya secara ekonomi tak menciptakan usaha
berkelanjutan dan rawan secara politik.
Sistem
pengupahan UMP sudah usang, perlu diganti konsep baru. Sebab, sistem upah
sekarang membawa ekonomi ke ambang saling menghancurkan, tak mendorong
produktivitas dan manfaat kedua belah pihak. Sebab, setiap kali terjadi
kenaikan upah, selalu diikuti kenaikan harga komoditas lain sehingga nasib
buruh tak berubah dari masa ke masa.
Coba
tengok kondisi permukiman buruh kawasan industri Jabotabek akibat upah minim.
Banyak buruh hanya bisa tinggal di kamar sempit yang dijejali 4-5 buruh. Upah
hanya cukup untuk bertahan hidup (subsisten). Konflik panjang hubungan
industrial dan yang membuat buruh tak bisa hidup layak antara lain bersumber
dari kesalahan sistem pengupahan.
Masalah Rawan
Sistem
pengupahan kita mengidap beberapa masalah rawan, di antaranya: (i) sistem tak
adil karena hanya menguntungkan perusahaan besar, tetapi merugikan yang kecil.
Ini akibat upah ditetapkan secara umum, tanpa memandang skala perusahaan,
keuntungan, kemampuan usaha, dan lokasi kerja. Bahkan, akibat definisi
pekerja/buruh yang sangat longgar, pekerja rumah tangga, buruh informal, dan
pekerja warung nasi harus dibayar sesuai UMP.
Meski
kenaikan di atas 10 persen tak terlalu membebani perusahaan omzet besar,
khususnya multinasional, seperti perusahaan sepatu Adidas atau PT Freeport,
tetapi sangat membebani perusahaan kecil dengan konsumen pasar domestik, misal
perusahaan sepatu di Cibaduyut. Mengapa upah minimum hotel melati harus sama
dengan hotel intercontinental?
(ii)
Upah tak dipatuhi mayoritas perusahaan. Tingginya penawaran kerja dan
pengawasan ketenagakerjaan yang lemah membuat penyimpangan pembayaran upah
sangat tinggi. Tingkat upah kebanyakan didasarkan hukum permintaan dan
penawaran. Mayoritas buruh harus menerima kenyataan dibayar di bawah UMP asal
bisa tetap kerja. Apalagi 99 persen perusahaan di Indonesia adalah UMK yang tak
semuanya punya kesanggupan mengikuti kenaikan UMP setiap tahun. Kenaikan upah
yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan produktivitas, dalam pasar kerja yang
berlebih, pasti akan menciptakan berbagai distorsi. Tak ada perusahaan rela
membayar UMP jika produktivitas atau keuntungan lebih kecil dari kenaikan UMP.
Selama ini sistem pengupahan berjalan dalam kemunafikan, seolah kenaikan UMP
selalu dipatuhi semua perusahaan, padahal kenaikan hanya dinikmati kurang dari
10 persen buruh.
iii)
Sistem pengupahan tak mendorong terciptanya produktivitas dan rasa kepemilikan;
karena malas dan rajin tak mengurangi UMP mereka. (iv) Sistem upah saat ini
juga rawan skandal karena faktor minimnya independensi dewan pengupahan
tripartit; banyak daerah menetapkan upah tanpa berunding atau melibatkan unsur
tripartit.
(v)
Terjadi konflik antar-serikat buruh meluas; karena serikat buruh di luar dewan tripartit
pasti selalu menolak hasil perundingan tripartit, mereka ingin dilibatkan dalam
pembatasan upah sekalipun anggota kecil. (vi) Tak mendorong buruh berserikat
karena semua buruh bisa menikmati kenaikan UMP tanpa harus masuk di serikat
buruh. Buruh, khususnya yang berada di cakupan UMP menempatkan prioritas utama
kehidupannya dalam hal upah, sukarela bergabung jika ada hubungan dengan
kenaikan upah.
Sistem Pengupahan
Upah
minimum harus tetap ada karena sistem itu dibuat untuk mencegah eksploitasi jika
upah buruh didasarkan atas mekanisme pasar. Namun, Indonesia perlu mereformasi
sistem pengupahan untuk menciptakan sistem yang lebih adil, mengurangi konflik
laten hubungan industrial, sekaligus menciptakan kesinambungan ekonomi yang
menguntungkan buruh dan majikan. Sebaiknya upah ditetapkan dengan dua cara,
yaitu upah minimum dan upah hidup layak (UHL).
Upah
minimum ditujukan sebagai jaring pengaman untuk buruh di sektor usaha kecil dan
rawan, sementara UHL untuk buruh perusahaan skala besar. Upah minimum
direkomendasikan dan ditetapkan pemerintah di tingkat kabupaten/kota. Tak perlu
ada UMP karena kemajuan ekonomi setiap kabupaten/kota berbeda. UHL ditetapkan
lewat perundingan bipartit serikat buruh dan pengusaha di tingkat perusahaan
berdasar produktivitas perusahaan. Upah hidup layak ini tak boleh lebih rendah
dari upah minimum.
Dengan
mekanisme ini, tercipta hubungan pengusaha dan buruh yang lebih harmonis sebab
setiap perusahaan akan menaikkan upah sesuai kondisi nyata perusahaan. Dalam
konsep di atas, tentu saja besaran kenaikan upah berbeda antara perusahaan satu
dan lainnya. Namun, ini akan mendorong terciptanya kompetisi efisiensi,
khususnya perusahaan sejenis, akibat terjadi saling bagi pengalaman (lesson
learnt). Serikat buruh juga tak akan bodoh meminta kenaikan upah melebihi
kemampuan perusahaan dengan mengambil risiko perusahaan bangkrut.
Namun,
sistem ini hanya berhasil jika ada transparansi keuangan perusahaan dengan
keharusan memberikan data keuangan yang sesungguhnya saat perundingan upah. Bahkan,
harus ada klausul serikat buruh bisa meminta pendapat audit independen jika ada
kecurigaan laporan keuangan. Kian tinggi produktivitas, kian tinggi upah. Hal
positif lain, buruh terdorong membentuk serikat buruh karena itu diperlukan
untuk mewakili mereka merundingkan upah. Sistem baru ini nanti akan mengarahkan
hubungan industrial yang rendah konflik karena relatif lebih adil ketimbang
sistem sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar