Jumat, 25 November 2011

Keaktifan Guru dalam Berkarya


Keaktifan Guru dalam Berkarya

Dwiyanto, GURU SMP NEGERI 3 NGAWEN BLORA
Sumber : SUARA MERDEKA, 25 November 2011


”Pelatihan tentang penulisan bagi guru mungkin bisa diubah dengan lebih menitikberatkan pada keaktifan dalam berkarya”

Kemandekan guru dalam kenaikan jabatan/pangkat dari golongan IV a ke atas adalah cerita usang yang selalu diputar ulang. Hadirnya PP Nomor 74 Tahun 2008 serta Permenpan dan Reformasi Birokrasi (RB) Nomor 16 Tahun 2009 diharapkan mengalirkan angin perubahan. Disinggung dalam peraturan baru yang mengatur tentang jabatan  fungsional guru dan angka kredit itu, bahwa kegiatan pengembangan keprofesian guru terdiri atas publikasi  ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif; karya inovatif; presentasi pada forum ilmiah; publikasi buku teks pelajaran yang lolos penilaian oleh BSNP; publikasi buku pengayaan; publikasi buku pedoman guru; dan publikasi pengalaman pada pendidikan khusus dan/ pendidikan layanan khusus.

Regulasi lama (Permenpan Nomor  84 Tahun 1995), mewajibkan guru golongan IV A ke atas untuk menulis dan membuat karya inovatif. Adapun golongan di bawahnya, guru lebih banyak adem ayem tanpa ada sentuhan berkarya. Hal ini tentu saja sebuah tuntutan yang tiba-tiba. Ibarat atlet, belum warming up langsung disuruh bertanding oleh pelatihnya.

Sebenarnya tidak sedikit pelatihan, lokakarya, atau seminar tentang penulisan karya ilmiah serta penelitian tindakan kelas (PTK) diselenggarakan. Meski dengn mengeluarkan biaya sendiri, ratusan guru dengan penuh antusias dan semangat mengikuti kegiatan tersebut. Namun seiring dengan perjalanan waktu, begitu seminar selesai, selesai pula niat untuk menulis karya ilmiah atau PTK.  

Beberapa guru bahkan cukup puas bisa mendapatkan selembar sertifikat dengan jumlah jam sekian jam. Dengan demikian benar apa yang pernah disindir oleh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam tulisan oples (opini pelesetan) bahwa negara kita kita  memang negara kertas. Segalanya diukur dari banyaknya kertas sertifikat  yang dimiliki bukan kompetensi yang melekat.  Tak mengherankan apabila mutu pendidikan kita terus merosot dibandingkan dengan negara lain.

Pelatihan tentang penulisan mungkin bisa diubah dengan lebih menitikberatkan pada keaktifan guru dalam berkarya.  Ketika guru hadir dalam pelatihan sudah membawa proposal atau tulisan yang dibuat di rumah. Ada karya yang akan dibahas. Dengan demikian ruang pelatihan lebih berfungsi sebagai ajang diskusi yang lebih bermanfaat, bukan sekadar membahas teori penulisan yang jarang dipraktikkan seperti terjadi selama ini.  

Penulisan Publikasi

Kesulitan dalam menulis bisa dipecahkan bersama. Mereka yang mandek dalam menulis pun bisa diperbicangkan untuk dicari solusinya. Kesulitan yang lebih nyata karena guru sudah merasakan jatuh bangun dalam menulis. Kemanfaatannya lebih terasakan karena akhir dari pelatihan tersebut guru sudah memiliki karya yang jadi. Bukan selama puluhan tahun menjadikan dirinya sebagai Mr Future, yang selalu saja akan menulis tapi tak sebuah karya pun ditulisnya.  

Perubahan paradigma yang menggeser pengembangn keprofesian lebih awal barangkali menemui titik pembenaran. Berangkat  dari asumsi bahwa menulis adalah keterampilan yang akan berkembang lebih optimal dan bisa melejitkan diri seseorang  bila dilakukan sejak dini, terus-menerus, konsisten, dan berkesinambungan. Kalau dari golongan  III b guru sudah terlatih menulis, terbiasa dengan atmosfer menulis dan berkarya, tentunya sampai golongan  IV a akan tercipta kemahiran yang makin berkembang pesat.  

Kalau berangkat dari rasa pesimistis barangkali PP serta Permenpan dan RB yang baru itu hanyalah memperpanjang daftar kelam bahwa guru gagap dalam menulis. Aktivitas penulisan publikasi dan karya inovatif yang diajukan  ke golongan III b hingga IV e, tak lebih dari pemindahan kebuntuan alias kemacetan  kenaikan pangat yang lebih dini.

Dalam arti kalau dahulu kemacetan berlangsung  dari golongan IV a ke atas sekarang dimulai lebih awal, dari golongan III b. Tantangan dari pemerintah yang tidak terjawab, hanya makin memperkuat dan mempertegas asumsi bahwa guru memang tidak bisa menulis atau berkarya. Ke depan, guru yang tidak terbiasa dengan iklim menulis akan terpinggirkan sendiri nasibnya. Jadi, publish or perish, terbitkan karya atau tenggelam oleh peraturan baru itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar