Keaktifan Guru dalam Berkarya
Dwiyanto, GURU
SMP NEGERI 3 NGAWEN BLORA
Sumber
: SUARA MERDEKA, 25 November 2011
”Pelatihan tentang penulisan bagi guru
mungkin bisa diubah dengan lebih menitikberatkan pada keaktifan dalam berkarya”
Kemandekan
guru dalam kenaikan jabatan/pangkat dari golongan IV a ke atas adalah cerita
usang yang selalu diputar ulang. Hadirnya PP Nomor 74 Tahun 2008 serta
Permenpan dan Reformasi Birokrasi (RB) Nomor 16 Tahun 2009 diharapkan
mengalirkan angin perubahan. Disinggung dalam peraturan baru yang mengatur
tentang jabatan fungsional guru dan angka kredit itu, bahwa kegiatan
pengembangan keprofesian guru terdiri atas publikasi ilmiah atas hasil
penelitian atau gagasan inovatif; karya inovatif; presentasi pada forum ilmiah;
publikasi buku teks pelajaran yang lolos penilaian oleh BSNP; publikasi buku
pengayaan; publikasi buku pedoman guru; dan publikasi pengalaman pada
pendidikan khusus dan/ pendidikan layanan khusus.
Regulasi
lama (Permenpan Nomor 84 Tahun 1995), mewajibkan guru golongan IV A ke
atas untuk menulis dan membuat karya inovatif. Adapun golongan di bawahnya,
guru lebih banyak adem ayem tanpa ada sentuhan berkarya. Hal ini tentu saja
sebuah tuntutan yang tiba-tiba. Ibarat atlet, belum warming up langsung disuruh
bertanding oleh pelatihnya.
Sebenarnya
tidak sedikit pelatihan, lokakarya, atau seminar tentang penulisan karya ilmiah
serta penelitian tindakan kelas (PTK) diselenggarakan. Meski dengn mengeluarkan
biaya sendiri, ratusan guru dengan penuh antusias dan semangat mengikuti
kegiatan tersebut. Namun seiring dengan perjalanan waktu, begitu seminar
selesai, selesai pula niat untuk menulis karya ilmiah atau PTK.
Beberapa
guru bahkan cukup puas bisa mendapatkan selembar sertifikat dengan jumlah jam
sekian jam. Dengan demikian benar apa yang pernah disindir oleh budayawan Emha
Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam tulisan oples (opini pelesetan) bahwa negara kita
kita memang negara kertas. Segalanya diukur dari banyaknya kertas
sertifikat yang dimiliki bukan kompetensi yang melekat. Tak
mengherankan apabila mutu pendidikan kita terus merosot dibandingkan dengan
negara lain.
Pelatihan
tentang penulisan mungkin bisa diubah dengan lebih menitikberatkan pada
keaktifan guru dalam berkarya. Ketika guru hadir dalam pelatihan sudah
membawa proposal atau tulisan yang dibuat di rumah. Ada karya yang akan
dibahas. Dengan demikian ruang pelatihan lebih berfungsi sebagai ajang diskusi
yang lebih bermanfaat, bukan sekadar membahas teori penulisan yang jarang
dipraktikkan seperti terjadi selama ini.
Penulisan Publikasi
Kesulitan
dalam menulis bisa dipecahkan bersama. Mereka yang mandek dalam menulis pun
bisa diperbicangkan untuk dicari solusinya. Kesulitan yang lebih nyata karena
guru sudah merasakan jatuh bangun dalam menulis. Kemanfaatannya lebih terasakan
karena akhir dari pelatihan tersebut guru sudah memiliki karya yang jadi. Bukan
selama puluhan tahun menjadikan dirinya sebagai Mr Future, yang selalu saja
akan menulis tapi tak sebuah karya pun ditulisnya.
Perubahan
paradigma yang menggeser pengembangn keprofesian lebih awal barangkali menemui
titik pembenaran. Berangkat dari asumsi bahwa menulis adalah keterampilan
yang akan berkembang lebih optimal dan bisa melejitkan diri seseorang
bila dilakukan sejak dini, terus-menerus, konsisten, dan berkesinambungan. Kalau
dari golongan III b guru sudah terlatih menulis, terbiasa dengan atmosfer
menulis dan berkarya, tentunya sampai golongan IV a akan tercipta
kemahiran yang makin berkembang pesat.
Kalau
berangkat dari rasa pesimistis barangkali PP serta Permenpan dan RB yang baru
itu hanyalah memperpanjang daftar kelam bahwa guru gagap dalam menulis.
Aktivitas penulisan publikasi dan karya inovatif yang diajukan ke
golongan III b hingga IV e, tak lebih dari pemindahan kebuntuan alias
kemacetan kenaikan pangat yang lebih dini.
Dalam
arti kalau dahulu kemacetan berlangsung dari golongan IV a ke atas
sekarang dimulai lebih awal, dari golongan III b. Tantangan dari pemerintah
yang tidak terjawab, hanya makin memperkuat dan mempertegas asumsi bahwa guru
memang tidak bisa menulis atau berkarya. Ke depan, guru yang tidak terbiasa
dengan iklim menulis akan terpinggirkan sendiri nasibnya. Jadi, publish or
perish, terbitkan karya atau tenggelam oleh peraturan baru itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar