Mengapa Rokok Harus Dilarang
Peter Singer, ANGGOTA GURU BESAR BIOETIKA PADA PRINCETON UNIVERSITY
Sumber
: KORAN TEMPO, 29 November 2011
Dokter pribadi Presiden Barack Obama
membenarkan kabar bulan lalu bahwa Presiden Amerika Serikat itu tidak lagi
merokok. Atas desakan istrinya, Michelle Obama, presiden itu pertama kali
berikrar akan berhenti merokok pada 2006, dan menggunakan terapi pengganti
nikotin untuk membantunya. Sementara seorang Obama, yang memiliki kemauan yang
keras dan berhasil menduduki kursi kepresidenan Amerika, memerlukan lima tahun untuk
mencampakkan kebiasaan merokok, tidak mengherankan jika ratusan juta perokok lainnya
mengalami keputusasaan dan ketidakmampuan berhenti merokok.
Walaupun jumlah perokok telah
berkurang dengan tajam di Amerika, dari sekitar 40 persen rakyat Amerika pada
1970 menjadi cuma 20 persen sekarang ini, proporsi perokok tidak menurun lagi
pada 2004. Masih ada 46 juta perokok dewasa di Amerika, dan setiap tahun
sekitar 443 ribu orang Amerika mati karena merokok. Di seluruh dunia, jumlah
rokok yang terjual 6 triliun batang setiap tahun, jumlah yang cukup banyak
untuk direntangkan sampai ke matahari dan kembali ke bumi—suatu rekor sepanjang
masa. Enam juta orang mati setiap tahun karena merokok—lebih banyak ketimbang
mati karena AIDS, malaria, dan kecelakaan lalu lintas digabung menjadi satu.
Dari 1,3 miliar rakyat Cina, lebih dari satu dari sepuluh orang di antara mereka
bakal mati karena merokok.
Awal bulan ini, Badan Pengawas Obat dan
Makanan Amerika (FDA) mengumumkan
akan membelanjakan US$ 600 juta selama
lima tahun ke depan untuk menyadarkan
masyarakat akan bahaya merokok. Tapi
Robert Proctor, sejarawan sains pada Stanford University dan pengarang buku blockbuster
yang akan diterbitkannya dengan judul Golden Holocaust: Origins of the
Cigarette Catastrophe and the Case for Abolition, mengatakan bahwa menyadarkan masyarakat
akan bahaya merokok sebagai satu-satunya senjata melawan rokok yang sangat adiktif
amat tidak mencukupi.
“Kebijakan mengendalikan rokok, ”demikian
menurut Proctor, “terlalu sering berfokus pada upaya menyadarkan publik ketika
kebijakan seharusnya berfokus pada dilarangnya rokok itu sendiri. ”Menurut Proctor,
kita bukan cuma menyadarkan para orang tua untuk, misalnya, menjauhkan mainan
yang dipoles dengan cat berlapis timbel yang berbahaya dari mulut anak-anak
mereka, tapi kita harus melarang penggunaan cat berbasis timbel itu sendiri.
Begitu pula ketika thalidomide diketahui sebagai penyebab utama cacat pada kelahiran
seorang bayi, maka kita tidak cuma menyadarkan para wanita agar tidak mengkonsumsi
thalidomide ketika hamil.
Proctor menyeru FDA untuk menggunakan wewenang
baru yang dimilikinya buat meregulasi kandungan asap rokok pada dua hal.
Pertama, karena rokok dirancang
untuk menciptakan dan melanggengkan ketagihan,
FDA harus membatasi kadar
nikotin yang terkandung dalam rokok sampai
pada level rokok itu tidak lagi menyebabkan ketagihan. Dengan demikian, perokok
yang ingin berhenti merokok bakal
lebih mudah menghentikan kebiasaan merokoknya.
Kedua,
FDA harus ingat sejarah. Perokok-perokok pertama dulu tidak menghirup asap
rokok; hal itu baru terjadi pada abad ke-19 ketika ditemukan cara baru mengawetkan
tembakau, sehingga zat alkali dalam asap rokok menjadi berkurang. Penemuan yang
tragis ini sudah menyebabkan matinya sekitar 150 juta orang, dan berlipat kali dari
jumlah itu bakal mengalami
hal serupa, kecuali dilakukan sesuatu
yang drastis. Maka FDA harus mewajibkan
agar asap rokok tersebut lebih banyak mengandung zat alkali sehingga tidak mudah
terhirup dan dengan demikian asap rokok lebih sulit masuk ke paru-paru.
Sebagian besar isi buku Proctor, yang akan
diterbitkan Januari nanti ini, ditulis berdasarkan dokumen-dokumen industri rokok
yang dirilis dalam sidang pengadilan.
Lebih dari 70 juta halaman dokumen ini
sekarang bisa diperoleh secara online. Dokumen-dokumen ini menunjukkan, sudah sejak
1940-an industri rokok punya
bukti bahwa merokok menyebabkan
kanker. Namun pada 1953, dalam suatu pertemuan para eksekutif
perusahaan-perusahaan rokok utama Amerika, dikeluarkan
keputusan bersama yang membantah anggapan
bahwa merokok itu berbahaya. Lagi
pula, begitu bukti ilmiah bahwa
merokok menyebabkan kanker diketahui publik, industri
rokok berusaha menciptakan kesan bahwa
penemuan ilmiah itu tidak konklusif. Sama seperti mereka yang membantah bahwa
aktivitas manusialah yang menyebabkan terjadinya perubahan cuaca, yaitu dengan
sengaja memutarbalikkan penemuan ilmiah itu.
Seperti dikatakan Proctor, rokok,
bukan bom dan meriam, merupakan produk yang paling mematikan dalam sejarah
peradaban. Jika kita ingin menyelamatkan nyawa
manusia dan meningkatkan kesehatan,
tidak ada cara yang paling mudah dicapai
dan paling efektif selain mengenakan
larangan internasional terhadap penjualan rokok (Mengentaskan angka kemiskinan
di seluruh dunia mungkin merupakan satu-satunya
strategi yang bisa menyelamatkan lebih
banyak nyawa manusia, tapi strategi ini jauh lebih sulit dicapai).
Bagi mereka yang mengakui hak negara untuk
melarang obat-obat terlarang, seperti
mariyuana dan ekstasi, maka larangan merokok
pasti mudah diterima. Rokok membunuh lebih banyak manusia ketimbang obat-obat
terlarang itu. Ada yang
berargumentasi bahwa, selama rokok dan
obat-obat terlarang lainnya itu hanya membahayakan mereka yang memilih menggunakannya,
negara harus membiarkan
individu-individu tersebut mengambil keputusan
mereka sendiri dan membatasi perannya hanya pada peran menjamin bahwa para
pengguna itu diberi tahu mengenai
risiko yang mereka hadapi. Tapi rokok bukan
semacam obat-obat terlarang lainnya itu, mengingat akan bahaya asap rokok, terutama
ketika orang dewasa merokok di rumah yang dihuni bersama anak-anak mereka.
Bahkan, dengan mengesampingkan bahaya yang
dibawa perokok terhadap mereka
yang tidak merokok, argumentasi bebas memilih
itu tidak meyakinkan dalam hal rokok yang sangat adiktif tersebut. Dan bahkan
lebih meragukan bila diingat bahwa sebagian besar perokok memulai kebiasaan buruk
itu sejak remaja dan kemudian ingin berhenti. Mengurangi kadar nikotin dalam
asap rokok ke level yang tidak adiktif mungkin memenuhi persyaratan penolakan
itu.
Argumentasi lainnya yang membela
status quo adalah bahwa larangan merokok mungkin akan berujung pada kegagalan serupa,
seperti yang terjadi pada era Prohibition di Amerika. Seperti halnya upaya melarang
minuman keras, melarang penjualan rokok katanya akan berujung pada mengalirnya
miliaran dolar ke kantong kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi (organized
crime) dan mendorong korupsi
di kalangan penegak hukum, sementara
larangan itu sendiri tidak berbuat banyak
mengurangi bahaya merokok.
Tapi perbandingan semacam ini
merupakan perbandingan yang keliru. Bukankah banyak perokok yang sebenarnya ingin
agar rokok dilarang karena, seperti Obama, mereka juga ingin berhenti merokok. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar