Selasa, 29 November 2011

Perhatikan DPR, Menteri Langgar Undang-undang

Perhatikan DPR, Menteri Langgar Undang-undang

S. Sinansari Ecip, ANGGOTA KOMISI PENYIARAN INDONESIA PUSAT 2003-2010
Sumber : KORAN TEMPO, 29 November 2011



Ada keputusan menteri yang seperti tiba-tiba lahir dan tidak mendapat perhatian media massa. Itulah Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 377/KEP/ M.KOMINFO/08/2011 tertanggal 23 Agustus 2011 tentang Perpanjangan Masa Kerja Dewan Direksi Lembaga Penyiaran Publik TVRI. Masyarakat umum menganggapnya
tiba-tiba karena dari luar tidak tampak ada gejala-gejalanya.Tapi masyarakat penyiaran sudah mencium gelagatnya. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, yang mengangkat direksi TVRI adalah Dewan Pengawas TVRI. Dewan Pengawas dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian Dewan Pengawas memilih dan mengangkat direksi.

Keputusan Menteri Komunikasi itu jelas melanggar UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pada pasal 14 ayat 7: dewan direksi diangkat dan ditetapkan oleh Dewan Pengawas. Adapun menurut pasal 19 ayat 3: dewan direksi diangkat dan diberhentikan
oleh Dewan Pengawas. Menurut pasal 7 huruf d: Dewan Pengawas mempunyai tugas mengangkat dan memberhentikan dewan direksi. Pada pasal 23 ayat 2: calon dewan direksi terpilih diangkat melalui surat keputusan Dewan Pengawas. Masa tugas Dewan Pengawas TVRI habis pada 21 Juni 2011.

Masa kerja direksi TVRI berakhir pada 24 Agustus 2011. Pengangkatannya dilakukan oleh Dewan Pengawas TVRI dalam keputusan bertanggal 24 Agustus 2006. Sebelumnya, untuk itu, Dewan Pengawas menyelenggarakan fit and proper test terhadap para calon.

Bukan Produk Hukum

Dalam konsiderans “menimbang” pada Keputusan Menteri Komunikasi itu, dirujuk hasil rapat kerja Komisi I DPR dengan Menteri Komunikasi pada 16 Agustus 2011. Hasil rapat butir 2 menyatakan bahwa Komisi I DPR dan pemerintah bersepakat bahwa
pemerintah memperpanjang masa kerja dewan direksi TVRI sampai terbentuknya Dewan Pengawas TVRI periode 2011-2016, yang akan mengangkat direksi baru.

Di sini Komisi I DPR dan pemerintah agak lalai dan kemudian melanggar undang-undang. Catatan hasil rapat kerja bukanlah produk hukum, sementara yang dilanggar pemerintah jelas produk hukum, yaitu Undang-Undang Penyiaran. Mestinya pemerintah
mencontoh langkah yang diberlakukan pada perpanjangan masa tugas anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat periode 2003-2007. Karena yang mengangkat anggota KPI
Pusat adalah presiden, yang memperpanjang masa tugasnya juga presiden. Proses administrasinya melalui Sekretariat Negara.

Pada kasus TVRI ini, Dewan Pengawas TVRI dilewati begitu saja. Jalur yang benar, menurut pemahaman akal, adalah presiden memperpanjang masa tugas anggota Dewan Pengawas, kemudian Dewan Pengawas memperpanjang masa tugas direksi.
Bersamaan dengan itu, segera diproses persiapan pemilihan anggota Dewan Pengawas yang baru. Menurut ketentuan, pada pasal 27 ayat 3, selain Dewan Pengawas dan direksi, pihak lain mana pun dilarang turut campur dalam kebijakan operasional siaran TVRI. Memperpanjang masa kerja direksi sama dengan mengangkat
direksi. Direksi adalah lembaga operasional yang menangani langsung pengelolaan TVRI.

Akibat tindakan pemerintah tersebut, pengelolaan TVRI menjadi kurang rapi. Proyek-proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011, yang nilainya kurang-lebih Rp
40 miliar, batal dan anggarannya hangus. Bukan tidak mungkin kekhawatiran bisa berkembang lebih luas menyangkut isi siaran. Namun itu terlalu jauh untuk dipikirkan. Jika campur tangan kembali terjadi pada isi siaran, barangkali hal tersebut sebagai tanda bahwa kita kembali ke zaman kekuasaan politik yang terpusatkan.


Sekilas Kronologi

Beberapa anggota Komisi I DPR periode yang lalu pernah memaksa Dewan Pengawas untuk mengganti semua direksi, tapi ditolak. Setelah itu mereka meminta agar direktur
utamanya saja yang diganti dengan seseorang yang sudah mereka siapkan. Permintaan itu juga ditolak. Dewan Pengawas diancam, antara lain, soal anggaran TVRI di APBN tidak akan dinaikkan.

Direktur utama waktu itu, Mayjen (Purnawirawan) I G.N. Arsane, kemudian diganti setelah dipertahankan dua tahun. Dewan Pengawas tidak memilih seseorang yang namanya disodorkan beberapa anggota DPR, melainkan memilih Hariono, Kepala
Stasiun TVRI Jawa Barat. Belum setahun menjadi direktur utama, Hariono diminta beberapa anggota DPR agar diganti oleh seseorang yang selalu mereka jagokan. Dewan Pengawas kemudian mengganti Hariono, tapi tidak memilih seseorang tersebut, melainkan Dra Immas Sunarya, yang waktu itu menjabat direktur umum.

Terjadilah ketegangan yang berkepanjangan antara Dewan Pengawas TVRI dan Komisi I DPR, tapi Dewan Pengawas tetap dengan pendiriannya, tidak tunduk kepada tekanan dan tetap menaati UU Nomor 32, PP Nomor 11, dan PP Nomor 13. Sebenarnya hanya beberapa anggota Komisi I yang berlaku seperti itu, tapi kemudian
menggeneralisasi diri. Seolah-olah yang terjadi adalah ketegangan antara Dewan Pengawas TVRI dan anggota Komisi I DPR secara keseluruhan.

Kemudian suatu waktu Dewan Pengawas diundang oleh pemimpin DPR untuk mengikuti rapat membahas masalah kekaryawanan. Ternyata rapat yang dihadiri Ketua DPR Marzuki Alie itu justru menekan Dewan Pengawas dengan mengatakan akan
menyampaikan surat pemberitahuan pemberhentian Dewan Pengawas TVRI. Ini tidak lazim, mengapa sampai Ketua DPR yang justru menekan Dewan Pengawas? Karena itu, Dewan Pengawas sepakat untuk mundur secara kolektif. Dewan Pengawas, dalam
suatu rapat dengar pendapat berikutnya dengan Komisi I, menyatakan rencana mundur tersebut dan memberi kesempatan agar segera dipilih anggota Dewan Pengawas yang
baru.

Presiden, yang mendengar rencana tersebut, memanggil Menteri Komunikasi dan mengirim pesan kepada Ketua Dewan Pengawas bahwa Dewan Pengawas TVRI agar melanjutkan tugas sampai selesai. Secara langsung Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono kepada Ketua Dewan Pengawas meminta Dewan Pengawas TVRI melanjutkan tugasnya sampai selesai sesuai dengan peraturan perundangan. Semua anggota Dewan Pengawas menyanggupi, dengan dasar bahwa yang mengangkat dan
memberhentikan Dewan Pengawas adalah presiden (UU Nomor 32, PP Nomor 11, dan PP Nomor 13), bukan DPR.

Berkaitan dengan itu, Presiden perlu melakukan koreksi. Sebelum telanjur berlarut-larut, kiranya Presiden mengembalikan kasus ini pada jalur yang benar. Contoh sudah dilakukan Presiden, yakni pada perpanjangan masa kerja anggota KPI Pusat periode
I dan penyelesaian masa tugas Dewan Pengawas (lihat alinea sebelum alinea ini). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar