Perhatikan DPR, Menteri Langgar Undang-undang
S. Sinansari Ecip, ANGGOTA KOMISI PENYIARAN INDONESIA PUSAT 2003-2010
Sumber
: KORAN TEMPO, 29 November 2011
Ada keputusan menteri yang seperti tiba-tiba
lahir dan tidak mendapat perhatian media massa. Itulah Keputusan Menteri
Komunikasi dan Informatika RI Nomor 377/KEP/ M.KOMINFO/08/2011 tertanggal 23
Agustus 2011 tentang Perpanjangan Masa Kerja Dewan Direksi Lembaga Penyiaran
Publik TVRI. Masyarakat umum menganggapnya
tiba-tiba karena dari luar tidak
tampak ada gejala-gejalanya.Tapi masyarakat penyiaran sudah mencium gelagatnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, yang mengangkat direksi TVRI
adalah Dewan Pengawas TVRI. Dewan Pengawas dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Kemudian Dewan Pengawas memilih dan mengangkat direksi.
Keputusan Menteri Komunikasi itu jelas
melanggar UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pada pasal 14 ayat 7: dewan
direksi diangkat dan ditetapkan oleh Dewan Pengawas. Adapun menurut pasal 19
ayat 3: dewan direksi diangkat dan diberhentikan
oleh Dewan Pengawas. Menurut pasal 7
huruf d: Dewan Pengawas mempunyai tugas mengangkat dan memberhentikan dewan
direksi. Pada pasal 23 ayat 2: calon dewan direksi terpilih diangkat melalui
surat keputusan Dewan Pengawas. Masa tugas Dewan Pengawas TVRI habis pada 21 Juni
2011.
Masa kerja direksi TVRI berakhir pada
24 Agustus 2011. Pengangkatannya dilakukan oleh Dewan Pengawas TVRI dalam
keputusan bertanggal 24 Agustus 2006. Sebelumnya, untuk itu, Dewan Pengawas
menyelenggarakan fit and proper test terhadap para calon.
Bukan
Produk Hukum
Dalam konsiderans “menimbang” pada
Keputusan Menteri Komunikasi itu, dirujuk hasil rapat kerja Komisi I DPR dengan
Menteri Komunikasi pada 16 Agustus 2011. Hasil rapat butir 2 menyatakan bahwa
Komisi I DPR dan pemerintah bersepakat bahwa
pemerintah memperpanjang masa kerja
dewan direksi TVRI sampai terbentuknya Dewan Pengawas TVRI periode 2011-2016,
yang akan mengangkat direksi baru.
Di sini Komisi I DPR dan pemerintah agak
lalai dan kemudian melanggar undang-undang. Catatan hasil rapat kerja bukanlah
produk hukum, sementara yang dilanggar pemerintah jelas produk hukum, yaitu
Undang-Undang Penyiaran. Mestinya pemerintah
mencontoh langkah yang diberlakukan pada
perpanjangan masa tugas anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat periode
2003-2007. Karena yang mengangkat anggota KPI
Pusat adalah presiden, yang
memperpanjang masa tugasnya juga presiden. Proses administrasinya melalui
Sekretariat Negara.
Pada kasus TVRI ini, Dewan Pengawas TVRI
dilewati begitu saja. Jalur yang benar, menurut pemahaman akal, adalah presiden
memperpanjang masa tugas anggota Dewan Pengawas, kemudian Dewan Pengawas memperpanjang
masa tugas direksi.
Bersamaan dengan itu, segera diproses
persiapan pemilihan anggota Dewan Pengawas yang baru. Menurut ketentuan, pada
pasal 27 ayat 3, selain Dewan Pengawas dan direksi, pihak lain mana pun
dilarang turut campur dalam kebijakan operasional siaran TVRI. Memperpanjang
masa kerja direksi sama dengan mengangkat
direksi. Direksi adalah lembaga operasional
yang menangani langsung pengelolaan TVRI.
Akibat tindakan pemerintah tersebut,
pengelolaan TVRI menjadi kurang rapi. Proyek-proyek Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara 2011, yang nilainya kurang-lebih Rp
40 miliar, batal dan anggarannya
hangus. Bukan tidak mungkin kekhawatiran bisa berkembang lebih luas menyangkut
isi siaran. Namun itu terlalu jauh untuk dipikirkan. Jika campur tangan kembali
terjadi pada isi siaran, barangkali hal tersebut sebagai tanda bahwa kita
kembali ke zaman kekuasaan politik yang terpusatkan.
Sekilas
Kronologi
Beberapa anggota Komisi I DPR periode
yang lalu pernah memaksa Dewan Pengawas untuk mengganti semua direksi, tapi
ditolak. Setelah itu mereka meminta agar direktur
utamanya saja yang diganti dengan seseorang
yang sudah mereka siapkan. Permintaan itu juga ditolak. Dewan Pengawas diancam,
antara lain, soal anggaran TVRI di APBN tidak akan dinaikkan.
Direktur utama waktu itu, Mayjen (Purnawirawan)
I G.N. Arsane, kemudian diganti setelah dipertahankan dua tahun. Dewan Pengawas
tidak memilih seseorang yang namanya disodorkan beberapa anggota DPR, melainkan
memilih Hariono, Kepala
Stasiun TVRI Jawa Barat. Belum setahun
menjadi direktur utama, Hariono diminta beberapa anggota DPR agar diganti oleh
seseorang yang selalu mereka jagokan. Dewan Pengawas kemudian mengganti
Hariono, tapi tidak memilih seseorang tersebut, melainkan Dra Immas Sunarya,
yang waktu itu menjabat direktur umum.
Terjadilah ketegangan yang
berkepanjangan antara Dewan Pengawas TVRI dan Komisi I DPR, tapi Dewan Pengawas
tetap dengan pendiriannya, tidak tunduk kepada tekanan dan tetap menaati UU
Nomor 32, PP Nomor 11, dan PP Nomor 13. Sebenarnya hanya beberapa anggota
Komisi I yang berlaku seperti itu, tapi kemudian
menggeneralisasi diri. Seolah-olah yang
terjadi adalah ketegangan antara Dewan Pengawas TVRI dan anggota Komisi I DPR
secara keseluruhan.
Kemudian suatu waktu Dewan Pengawas
diundang oleh pemimpin DPR untuk mengikuti rapat membahas masalah kekaryawanan.
Ternyata rapat yang dihadiri Ketua DPR Marzuki Alie itu justru menekan Dewan Pengawas
dengan mengatakan akan
menyampaikan surat pemberitahuan pemberhentian
Dewan Pengawas TVRI. Ini tidak lazim, mengapa sampai Ketua DPR yang justru
menekan Dewan Pengawas? Karena itu, Dewan Pengawas sepakat untuk mundur secara kolektif.
Dewan Pengawas, dalam
suatu rapat dengar pendapat berikutnya
dengan Komisi I, menyatakan rencana mundur tersebut dan memberi kesempatan agar
segera dipilih anggota Dewan Pengawas yang
baru.
Presiden, yang mendengar rencana tersebut,
memanggil Menteri Komunikasi dan mengirim pesan kepada Ketua Dewan Pengawas
bahwa Dewan Pengawas TVRI agar melanjutkan tugas sampai selesai. Secara langsung
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono kepada Ketua Dewan Pengawas
meminta Dewan Pengawas TVRI melanjutkan tugasnya sampai selesai sesuai dengan
peraturan perundangan. Semua anggota Dewan Pengawas menyanggupi, dengan dasar bahwa
yang mengangkat dan
memberhentikan Dewan Pengawas adalah
presiden (UU Nomor 32, PP Nomor 11, dan PP Nomor 13), bukan DPR.
Berkaitan dengan itu, Presiden perlu melakukan
koreksi. Sebelum telanjur berlarut-larut, kiranya Presiden mengembalikan kasus
ini pada jalur yang benar. Contoh sudah dilakukan Presiden, yakni pada
perpanjangan masa kerja anggota KPI Pusat periode
I dan penyelesaian masa tugas Dewan Pengawas
(lihat alinea sebelum alinea ini). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar