Integrasikan Keadilan di Papua
Usman Hamid, AKTIVIS KONTRAS
Sumber : KOMPAS, 23 November 2011
Tanggal
20 September Presiden SBY membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua
Barat sebagai respons terhadap gejolak Papua. Berhasilkah lembaga ini menjawab
permasalahan Papua?
Peraturan
Presiden RI Nomor 65 Tahun 2011 tanggal 20 September 2011 menguraikan bahwa
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) perlu membuat program
yang cepat diwujudkan, konkret, dan dapat segera dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat Papua dan Papua Barat.
Program
UP4B mencakup ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, pengembangan ekonomi
rakyat, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, serta pengembangan
infrastruktur dasar dan langkah-langkah afirmatif. Penjabaran ketahanan pangan
adalah peternakan babi di Pegunungan Tengah dan peternakan sapi di Bomberai dan
Kebar.
Penanggulangan
kemiskinan dilakukan melalui permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan industri
rakyat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri),
kredit usaha rakyat (KUR), dan Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek).
Pengembangan
ekonomi rakyat dengan meningkatkan industri pengolahan sagu rakyat. Peningkatan
kesehatan gratis dan pendidikan dengan pendidikan gratis sampai SMA.
Pengembangan infrastruktur dasar dengan penyediaan sumber energi alternatif
terbarukan dan pendirian pabrik semen di Timika dan Manokwari.
Kebijakan
afirmatif untuk putra-putri asli Papua melalui kuota bagi siswa berprestasi
untuk menempuh perguruan tinggi, sekolah akademi militer dan kepolisian,
kebidanan/keperawatan, kepamongprajaan dan pendidikan keguruan, hingga menjadi
anggota TNI/Polri.
Pendekatan
Kawasan
Program
dijalankan dengan pendekatan kawasan strategis yang memiliki daya ungkit
pertumbuhan ekonomi sesuai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
Program
MP3EI adalah pembangunan fisik untuk pelaksanaan investasi dan program
regulasi/kebijakan. Pembangunan-pembangunan itu antara lain pengembangan
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, pemberian
insentif berinvestasi, pengembangan kawasan minyak bumi di Sorong, gas bumi di
Teluk Bintuni, minyak dan gas bumi di Sarmi, pengembangan Pusat Industri dan
Tambang Mimika, serta penetapan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Papua dan Papua
Barat.
Uraian
di atas menunjukkan, upaya percepatan pembangunan melalui UP4B sebenarnya
ambivalen. Meskipun menyediakan program ekonomi menengah ke bawah seperti
peternakan atau pendidikan, pembangunan ekonomi didominasi pengelolaan sumber
daya alam untuk kepentingan investasi pebisnis besar.
UP4B
akan kesulitan mengatasi keadaan Papua karena mandatnya lebih mengandaikan
ketercerabutan material orang Papua, bukan mengatasi kapasitas dan kebebasan
orang Papua yang tercederai pembangunan yang tak melibatkan mereka dalam
menentukan keputusan.
Guna
mengantisipasi kesulitan ini, konsep pembangunan UP4B perlu diarahkan pada
kerangka keadilan transisi. Arahnya adalah respons terhadap warisan
ketaksetaraan sosio-ekonomi-sosio- politik pada masa lalu.
Pembangunan
pada masa transisi dari rezim otoriter atau dari situasi konflik bersenjata
menuju demokrasi atau menuju perdamaian memang tak mudah. Ia berhadapan dengan
warisan korupsi di sektor-sektor kunci pembangunan. Warisan yang gagal
menyejahterakan rakyat ini antara lain akibat pengeluaran tak produktif,
penyerapan pajak tak disiplin, atau destabilisasi ekonomi makro. Belum lagi
pengelolaan sumber daya alam yang sia-sia dan hanya menguntungkan segelintir
elite dengan konsesi ekonomi dari industri ekstraktif. Tidak mengherankan
apabila tingkat pembangunan Papua rendah.
UP4B
perlu memikirkan bagaimana membuat program pembangunan ekonomi yang lebih baik.
Pembangunan berbasis keadilan transisi akan memudahkan UP4B untuk mengangkat
keterbelakangan, ketidaksetaraan, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia
sebagai faktor-faktor yang berperan kunci dalam keberhasilan negara menjawab
tuntutan rakyat Papua.
Justru
pada titik inilah terletak tantangan terberatnya. Selain berhadapan dengan
mandat yang terbatas, UP4B juga ditantang memperjuangkan keadilan transisi
dalam sebuah konteks kelembagaan sosial dan ekonomi yang rapuh. Akan selalu
muncul pertanyaan, dari manakah biaya yang diperlukan untuk inisiatif-inisiatif
keadilan itu? Dana pembangunan bisa memfasilitasi penyediaan sumber-sumber daya
dan kapasitas yang tersedia untuk ditanamkan dalam upaya-upaya keadilan. Di
sini pembangunan punya peran penting dalam menghidupkan kembali
institusi-institusi yang mampu menghadirkan keadilan secara serius dan
terus-menerus.
Akhirnya,
dengan perspektif itu, UP4B perlu memperbaiki dialog-dialog seputar pembangunan
dan mengintegrasikannya dengan langkah-langkah keadilan transisi. UP4B perlu
memaksimalkan cara-cara yang dapat membangun sinergi dua bidang ini tanpa
mengikis sekat-sekat yang ada di antaranya. Ada banyak ruang untuk perbaikan di
Papua, di semua tingkat, asalkan segala kehendak bersama yang baik dapat
dipertemukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar