Menunggu Kematian KPK?
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
Sumber
: KOMPAS, 30 November 2011
Ibarat
pergelaran panggung teater, dalam proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and
proper test) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi minggu lalu, Komisi III DPR
memulai babak pertama dengan adegan menegangkan.
Tak
tanggung-tanggung, pilihan adegan itu: Komisi III menunda melanjutkan proses
karena mereka menilai ada cacat yang dilakukan Panitia Seleksi Pimpinan KPK.
Berdasarkan temuan sejumlah anggota Komisi III, Panitia Seleksi secara tak
cermat telah menggunakan surat kuasa laporan harta kekayaan calon pimpinan KPK
dengan formulir yang salah. Merujuk penjelasan Ketua Komisi III Benny K Harman,
pokok masalah, surat kuasa untuk mengecek dan mengklarifikasi kebenaran data keuangan
masih memakai formulir yang memberikan kuasa Ketua KPK periode 2003-2007.
Di
tengah keterbatasan waktu melakukan uji kelayakan dan kepatutan, panggung
Komisi III terasa kian menegangkan. Setidaknya, ketegangan dapat dirasakan saat
sejumlah (mantan) anggota Panitia Seleksi bersama Menteri Hukum dan HAM Amir
Syamsuddin hadir di Komisi III. Seperti hendak melakukan delegitimasi terhadap
kerja Panitia Seleksi, komisi hukum DPR ini hanya berkenan membahas lebih
lanjut apabila mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga Ketua Panitia Seleksi
Patrialis Akbar hadir di Komisi III.
Dalam
pertemuan yang melibatkan Patrialis Akbar, Amir Syamsuddin, dan sejumlah
anggota Panitia Seleksi, diputuskan untuk melanjutkan kembali uji kelayakan dan
kepatutan calon pimpinan KPK. Ketegangan babak pertama berakhir begitu Panitia
Seleksi melakukan klarifikasi dan mengakui telah memberikan formulir yang
kedaluwarsa dalam proses seleksi. Kejadian itu membuktikan, sebetulnya yang
dinantikan Komisi III adalah pengakuan bersalah dari Panitia Seleksi.
Sebuah Kesengajaan
Sebagai
salah seorang anggota Panitia Seleksi, sejak nama-nama hasil seleksi
disampaikan kepada presiden, saya sering mengemukakan, sangat mungkin terdapat
kelemahan hasil kerja yang dilakukan Panitia Seleksi. Karena itu, sesuai
kewenangan yang dimiliki, Komisi III harus mampu menutup kemungkinan kelemahan
hasil kerja Panitia Seleksi. Untuk tujuan itu, UU No 30/2002 memberikan waktu
tiga bulan bagi DPR memilih pimpinan KPK.
Apabila
dikaitkan dengan temuan tentang formulir kedaluwarsa surat kuasa laporan harta
kekayaan calon pimpinan KPK tersebut, pertanyaan mendasar yang patut
dialamatkan kepada Komisi III: mengapa persoalan ini baru dikemukakan saat
proses uji kelayakan dan kepatutan berlangsung? Apa saja yang dilakukan Komisi
III sejak hasil Panitia Seleksi disampaikan Presiden kepada DPR 18 Agustus?
Dengan batas waktu paling lama tiga bulan untuk memilih dan menetapkan calon
pimpinan KPK, pertanyaan ini menjadi bukti kelalaian DPR dalam menjalankan
perintah UU No 30/2002.
Seharusnya,
jika serius mendapatkan pimpinan KPK yang mampu mendayung agenda pemberantasan
korupsi, semua kemungkinan kekurangan Panitia Seleksi telah dikemukakan sejak
awal. Selain tidak mengganggu proses uji publik di Komisi III, langkah
mengungkapkan lebih awal akan memberi ruang bagi publik memberikan data lain
yang mungkin baru diperoleh setelah proses di Panitia Seleksi berakhir. Dengan
pengungkapan kekurangan yang dilakukan di tahap akhir, temuan baru publik jadi
sulit memengaruhi uji kelayakan dan kepatutan.
Oleh
karena itu, drama menegangkan yang muncul pada babak pertama uji kelayakan dan
kepatutan dapat saja dimaknai sebagai sebuah kesengajaan (by design) agar
publik tak memiliki waktu cukup untuk berpartisipasi mengungkap rekam jejak
semua calon pimpinan KPK. Kesengajaan ini kian terasa karena sejak nama-nama
diterima DPR nyaris tak ada langkah masif dan sistematis untuk menghimpun
pendapat publik. Bagaimanapun, upaya melakukan pelacakan lebih jauh jadi
keniscayaan untuk menutup segala kemungkinan kekurangan informasi yang berhasil
dihimpun Panitia Seleksi.
Apabila
diletakkan dalam upaya menelusuri rekam jejak calon pimpinan KPK, adanya
formulir kedaluwarsa surat kuasa laporan harta kekayaan sulit untuk disebut
sebuah temuan besar dan penting. Apalagi, jika diletakkan dalam konteks
kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara sebagaimana
diatur UU No 28/1999. Pasal 17 Ayat (3) UU No 28/1999 menyatakan, kewajiban
melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara dilakukan sebelum, selama, dan
setelah menjabat.
Menunggu Kematian
Merujuk
argumentasi tersebut, soal formulir tidak menjadi masalah krusial. Yang jauh
lebih mendasar: apakah jumlah harta kekayaan yang ditulis dalam formulir benar
atau tidak. Dalam pengertian itu, laporan harta kekayaan yang disampaikan lebih
banyak dimaksudkan untuk menilai kejujuran dalam menyampaikan jumlah harta
kekayaan. Apalagi, syarat untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK dalam Pasal
29 Angka 11 UU No 30/2002 hanya menyatakan, ”mengumumkan kekayaannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Melihat
perkembangan setelah nama-nama hasil Panitia Seleksi disampaikan Presiden ke
DPR, banyak pihak yakin seleksi kali ini tak akan jauh beda dengan
proses-proses sebelumnya. Yang dirasakan publik, sebagian anggota Komisi III
tetap mengutamakan pertimbangan kepentingan jangka pendek dalam memilih
pimpinan KPK. Salah satu pertimbangan yang potensial mengancam masa depan KPK
adalah ketakutan memilih figur bersih yang memiliki keberanian menghadapi
tekanan politik. Bahkan, bisa jadi anggota Komisi III yang berasal dari advokat
memiliki ”perhitungan sendiri” pula dalam menentukan pilihan.
Di
tengah lautan kepentingan yang mengitari anggota Komisi III, cara pikir
pragmatis berpotensi ”membunuh” figur bersih dan berani. Padahal, kesalahan
memilih calon pimpinan akan membuat KPK menjadi mandul dan sulit menjamah
beberapa megaskandal yang upaya penyelesaiannya masih menggantung di KPK.
Karena itu, di tengah tarik-menarik lautan kepentingan yang ada, anggota Komisi
III yang masih menginginkan KPK menjadi lembaga extraordinary dalam desain
pemberantasan korupsi harus melakukan perlawanan terbuka.
Salah
satu cara paling mungkin diupayakan, dengan melakukan debat terbuka di dalam
Komisi III sebelum menentukan pilihan. Debat itu diperlukan untuk mengetahui
pandangan mereka atas semua calon. Setidaknya, dengan debat terbuka itu, dapat
dilacak kecenderungan anggota Komisi III. Apabila itu dilakukan, pilihan
subyektif demi kepentingan jangka pendek kemungkinan dapat diminimalisasi.
Yakinlah, sekiranya tak ada terobosan cerdas untuk memangkas kepentingan
politik yang ada, kita sebetulnya sedang menunggu kematian KPK. Kini, di
hadapan kita, proses uji kelayakan dan kepatutan sedang menyediakan keranda
mayat untuk KPK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar