Pencurian Pulsa, Salah Siapa?
Abdul
Salam Taba, ALUMNUS SCHOOL
OF ECONOMICS, THE UNIVERSITY OF NEWCASTLE, AUSTRALIA
Sumber
: KORAN TEMPO, 30 November 2011
Kasus pencurian pulsa pelanggan oleh penyedia konten (content provider)
nakal melalui layanan pesan singkat tampaknya bakal berbuntut panjang.
Indikasinya terlihat
dari saling tuding dan lempar tanggung jawab oleh pihak-pihak
terkait. Pemerintah sebagai regulator menilai pencurian pulsa merupakan
tanggung jawab penyedia konten dan operator telekomunikasi.
Sementara itu, asosiasi penyedia konten (Mobile and Online Content
Provider/IMOCA) dan operator beranggapan munculnya pencurian pulsa dipicu
ketidaktegasan dan mandulnya fungsi regulator, dalam hal ini Kementerian Komunikasi
dan Informatika serta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Akibatnya, praktek yang meresahkan dan merugikan masyarakat itu marak terjadi
di berbagai daerah.
Menjadi pertanyaan: apa sebenarnya metode yang digunakan penyedia
konten dalam menyedot pulsa pelanggannya? Siapa seharusnya yang bertanggung jawab
atas maraknya pencurian pulsa? Benarkah praktek yang banyak dikeluhkan itu
akibat ketidaktegasan dan mandulnya fungsi regulator? Terlepas benar atau
tidak, bagaimana
mengatasi persoalan tersebut?
Secara teknis operasional, ada dua metode yang lazim digunakan
penyedia konten nakal dalam menyedot pulsa pelanggannya. Metode pertama ialah melalui
layanan sandek tidak berlangganan (SMS pull) di mana informasi dikirim
atas permintaan pengguna ponsel, seperti kuis, polling, dan information
on demand, misalnya.
Metode kedua ialah layanan sandek berlangganan dengan cara pengguna
ponsel mendaftar terlebih dulu (SMS push). Cara ini diawali pengiriman
kata “reg”ke penyedia konten, selanjutnya pengguna ponsel akan mendapat informasi
secara rutin, dan layanan baru dihentikan bila pelanggan mengirim kata “unreg”.
Namun, belakangan,
pelanggan kesulitan melakukan unreg, meski sudah mencobanya
berkali-kali.
Bila dicermati, kedua metode tersebut melibatkan interaksi aktif
antara penyedia konten dan operator telekomunikasi. Karena pada dasarnya tiap penyedia
konten berkewajiban memberikan deskripsi produk layanannya dan diharuskan
melalui tahapan user acceptance test (UAT), sebelum suatu layanan
disetujui dan diluncurkan operator.
Secara yuridis, kewajiban itu diatur dalam Pasal 3 Peraturan
Menteri Nomor 1/PER/ M.KOMINFO/01/01/2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium
dan pengiriman Jasa Pesan Singkat (short messaging service/SMS) ke
Banyak Tujuan (broadcast). Ketentuan ini mewajibkan kerja sama operator
dengan penyedia konten
didasarkan pada perjanjian tertulis yang memuat lingkup kerja
sama, hak dan kewajiban tiap pihak, jenis dan layanan yang ditawarkan, nomor akses
yang digunakan, besaran tarif dan jangka waktu perjanjian.
Dengan demikian, tudingan IMOCA yang menyatakan regulator mandul dan
tidak efektif menjalankan perannya menjadi salah kaprah. Karena sejatinya, yang
bertanggung jawab dan aktif berupaya mengatasi terjadinya penyedotan pulsa
adalah operator telekomunikasi, selaku pengusaha dan mitra langsung para
penyedia konten yang bekerja sama berdasarkan perjanjian tertulis antarmereka.
Anggapan yang menyatakan pencurian pulsa dilakukan oleh penyedia konten
nakal, yang menawarkan produk layanan yang berbeda dengan ketentuan penawaran
yang sudah disepakati bersama operator, juga bukan alasan yang dapat dibenarkan
dan tidak secara otomatis bisa menggugurkan tanggung jawab operator
telekomunikasi.
Sebab, secara teknis operasional, operator patut dianggap
mengetahui alur proses dan lalu lintas layanan konten, mulai mekanisme penawaran/penjualan,
pentarifan, hingga pengiriman kontennya. Kalaupun faktanya tidak demikian,
secara yuridis tetap merupakan kesalahan operator yang diharuskan bertanggung
jawab mengawasi perilaku tiap penyedia konten yang menjadi mitranya.
Secara eksplisit, keharusan itu diatur dalam Pasal 7, 8, 9, dan 10
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada intinya,
keempat pasal itu mewajibkan pengusaha (operator dan penyedia konten) melayani
konsumen dengan jujur dan menjamin jasa yang ditawarkannya sesuai dengan
standar, serta melarang pengusaha menawarkan jasa secara tidak benar dan
melanggar undang-undang.
Dalam konteks tersebut, argumentasi operator yang menyatakan
Kementerian Komunikasi dan Informatika serta BRTI selaku regulator turut
bertanggung jawab atas pencurian pulsa oleh penyedia konten nakal menjadi tidak
beralasan dan salah alamat. Sebab, selain regulator tidak berhubungan langsung
dengan penyedia konten, yang berhubungan justru operator seluler, juga secara
fungsional regulator seharusnya menghukum operator yang melanggar peraturan.
Namun selaku pembina dan regulator di sektor telekomunikasi, Kemenkominfo
dan BRTI seyogianya berupaya mengatasi fenomena pencurian pulsa. Caranya dengan
memasukkan para penyedia konten nakal dalam daftar orang tercela—sebagaimana
diberlakukan pada nasabah bank yang tidak mau membayar kreditnya—dan tidak
mengizinkan mereka berbisnis di sektor telekomunikasi dengan
segala jasa ikutannya.
Cara lainnya ialah menetapkan sanksi dan hukuman berat bagi
penyedia konten dan operator telekomunikasi yang terbukti bersalah, untuk
menimbulkan efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya. Tak kalah pentingnya ialah
mengharuskan operator memonitor penyedia konten mitranya secara berkala, kalau
perlu harian, khususnya yang terindikasi melakukan pencurian pulsa.
Kemampuan regulator dan pemangku kepentingan terkait dalam kerja sama
dan bahu-membahu mengatasi fenomena pencurian pulsa akan berimplikasi ganda.
Selain dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bisnis penyedia
konten, hal itu akan memicu pertumbuhan bisnis konten secara nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar