The “Soccer Tribe”
Budiarto Shambazy, WARTAWAN SENIOR KOMPAS
Sumber
: KOMPAS, 26 November 2011
Ikut
berduka atas tewasnya dua korban di pintu masuk Stadion Utama Gelora Bung Karno
saat final Garuda Muda versus Harimau Muda. Terakhir kali nyawa melayang di GBK
pada pertandingan Persib melawan Persebaya di putaran final kompetisi PSSI,
Agustus 1966.
Masih
segar dalam ingatan, sekitar 100.000 penonton tunggang langgang setelah aparat
keamanan menembak ke udara untuk melerai perkelahian massal antarpemain. Sebagian
berlindung di bawah bangku, sebagian lagi mencoba ke luar.
Seorang
penonton tewas terkena peluru nyasar dan ratusan lagi luka atau pingsan
terinjak massa. Presiden Soekarno turun tangan memerintahkan pertandingan yang
terhenti
dilanjutkan beberapa hari kemudian, dan semua berjalan lancar.
Bersyukur
juga tragedi kematian di stadion merupakan kejadian yang amat langka di negeri
”penggila bola” ini. Di lain pihak, jajaran penyelenggara sebaiknya semakin
mawas diri mengantisipasi.
Jika
dihitung kasar, mungkin GBK terisi padat sekitar 120.000 penonton saat final
SEA Games. Tak ada penonton meluber sampai ke trek atletik, kondisi yang
membahayakan, seperti yang terakhir kali terjadi di final kompetisi
perserikatan antara PSMS dan Persib medio 1980-an.
Jika
ditambah penonton yang ada di luar GBK, final SEA Games menjadi salah satu
penumpukan massa terbesar yang bisa jadi melibatkan sekurang-kurangnya
seperempat juta orang. Final sepak bola SEA Games 1979 antara Indonesia dan
Malaysia serta SEA Games 1997 antara Indonesia dan Thailand tak seramai final
2011. Apa lacur, timnas kita takluk di ketiga final bergengsi itu. Tahun 1979
kita kalah 0-1 dari Malaysia dan tahun 1997 ditaklukkan Thailand lewat adu
penalti.
Kemenangan
final 2011 akan bermakna bagi kita karena kita perlu kebangkitan baru, seperti
kata slogan SEA Games, ”United and Rising”. Garuda Muda impresif sejak
penyisihan grup sampai semifinal, terutama Titus Bonai-Patrich Wanggai.
Antusiasme
penonton dahsyat, gejala yang mulai tampak sejak Piala Asia 2007 dan makin
dahsyat saat Piala AFF 2009. Sepak bola tak lagi tontonan kelas bawah karena
kembali digemari berbagai lapisan masyarakat seperti era 1970-an.
Inilah
bukti sepak bola adalah industri besar yang menguntungkan jika dikelola secara
profesional. Penonton datang ke stadion ingin menyaksikan pertandingan yang
skornya tidak diatur wasit atau bandar judi dan pemainnya tidak disuap.
Pendek
kata, penonton ingin jantungnya berdebar, berteriak sekeras-kerasnya, dan
menghiasi diri dengan berbagai atribut tim nasional. Garuda di Dadaku, itu
slogan yang kini populer.
Akan
tetapi, kenapa, kok, kita gagal terus di ajang final SEA Games? Di final 1979
kita ditundukkan Malaysia, 0-1, karena prestasi mereka lebih baik.
Malaysia
yang dimotori pemain-pemain andal seperti kiper R Arumugam (kini almarhum), dua
bek tengah Soh Chin Aun-Santokh Singh, serta striker Mokhtar Dahari lolos ke
Olimpiade 1972 dan 1980 serta merebut perunggu Asian Games 1974.
Kita
dua kali kalah sial lewat adu penalti tahun 1997 serta 2011 dan, jangan lupa,
juga di final perebutan tiket ke Olimpiade 1976 melawan Korea Utara. Mau tak
mau kita terjerembab pada mitos akan selalu kalah di final apa pun di GBK.
Padahal,
harus diakui jujur, Harimau Muda relatif memang lebih baik. Namun, jangan
salah, Garuda Muda bukannya buruk.
Tak
ada rahasia: pembinaan berjenjang dan serius Harimau Muda menjadi kunci sukses.
Mesti diakui jujur itulah kekurangan kita: pembinaan berjenjang masih tetap
karut-marut.
Ini
akibat proses peralihan kepemimpinan dari pengurus lama ke pengurus baru masih
kurang transparan. Misalnya, seperti diberitakan kemarin di harian ini,
pengurus lama ternyata meninggalkan utang hampir Rp 40 miliar!
Di
lain pihak, selain diwarisi sejumlah masalah pelik oleh pengurus lama, pengurus
baru yang masih seumur jagung dihadang sejumlah masalah baru. Kepemimpinan
kurang tegas, kompetisi kembali dilanda dualisme, kepengurusan overstaffed,
Exco terpecah belah, dan lain sebagainya.
Adakah
kesadaran dari rezim lama ataupun rezim baru bahwa mereka bukanlah pemangku
utama sepak bola kita? Dua pemangku utama adalah para pemain dan kita para
penggila bola.
Kita
kembali kadung menjadi the soccer tribe. Itulah ”suku tribal” yang mencintai
timnas karena berbagai alasan ideologis, kultural, sosial, politis, maupun
personal.
Seperempat
juta orang malam itu mengelu-elukan Garuda Muda karena rindu kepada
nasionalisme walau masih berwatak flag-waving (kibaran bendera). Nyaris tak ada
lagi elemen-elemen nasionalisme yang disajikan penguasa.
Kita
datang ke GBK karena sumpek dengan kondisi bernegara yang dikelola pemerintah
yang abai. Kita putus asa makin malas memaki pejabat-pejabat yang korupsi,
lebih suka melampiaskan kekesalan dengan menonton bola.
Kita
mau menjadi pencinta Tibo atau Wanggai atau Okto Maniani karena paham kekayaan
Papua dijarah habis-habisan oleh Freeport. Biarlah kita mengultusindividukan
mereka ketimbang dipaksa-paksa cinta pemimpin feodalistis.
Dan,
kita di GBK berjumpa dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air tanpa
perlu memakai topeng. Kita saling sapa, saling teriak, saling bantu, saling
tawa, saling salam, dan saling peluk.
Tiba-tiba
malam itu kembali ada Indonesia di GBK maupun di depan jutaan layar televisi di
Nusantara. Ada harapan sekalipun kalah sial, bangsa besar yang digembalakan para
pemimpin yang, sayangnya, ternyata banyak yang berjiwa kerdil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar