Revolusi Post-Islamis di Dunia Islam
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 28 November 2011
Secara
umum, gejala post-Islamisme ini adalah angin segar bagi dunia Islam, sebab ia
menandakan bahwa persepsi tentang pertentangan antara Islam dan demokrasi bisa
ditepiskan sama sekali. Demokrasi dan Islam, dalam gejala post-Islamisme ini,
bisa bergandengan tangan secara damai, layaknya dua pasangan yang sedang
pacaran. Pertanyaan yang umum kita dengar di kalangan masyarakat Barat, baik
akademis atau non-akademis, Is Islam compatible with democracy?, menjadi kurang
relevan lagi.
Dalam
artikelnya di majalah Foreign Affairs edisi April tahun ini, Asef Bayat,
seorang sarjana asal Iran yang dikenal karena analisisnya yang tajam tentang
gejala post-Islamisme di dunia Islam, mengemukakan suatu pengamatan yang
menarik tentang fenomena Musim Semi Arab saat ini. Menurutnya, revolusi yang
bergejolak di dunia Arab sekarang tiada lain adalah revolusi Post-Islamis.
Apa
yang disebut sebagai gejala post-Islamisme oleh Asef Bayat mencakup sejumlah
fenomena politik di berbagai belahan dunia Islam, mulai dari gerakan reformasi
di Iran pada akhir 1990an di bawah ikon seorang mullah-cum-intelektual Muhammad
Khatami (ia dikenal karena gagasannya yang masyhur tentang “dialog peradaban”
[hiwar al-hadarat]), hingga ke fenomena partai-partai “tengah” seperti PKS di
Indonesia, AKP di Turki, Ennahda di Tunisia, Partai Keadilan dan Pembangunan di
Maroko, dan Partai Tengah (Hizb al-Wasat) di Mesir.
Ciri
utama gerakan post-Islamisme adalah kecenderungan mereka yang pragmatis,
realistis, bersedia untuk kompromi dengan realitas politik yang tak sepenuhnya
ideal dan sesuai dengan skema ideologis murni yang mereka yakini dan bayangkan.
Post-Islamisme sama sekali tidak sekular, bahkan tetap menunjukkan sentimen
negatif kepada setiap bentuk ekspresi sekularisme, tetapi dia juga menolak
teokrasi dan penerapan platform ideologis-keagamaan, seperti hukum syariah,
secara kaku dalam kenyataan politik sehari-hari.
Beberapa
partai yang mewakili kecenderungan Pos-Islamisme seperti AKP di Turki,
misalnya, bahkan bergerak lebih jauh. Dalam kunjungannya ke Mesir pada
September tahun ini, PM Turki Recep Tayyip Erdogan yang berasal dari AKP
menghimbau warga Mesir agar mengadopsi “sekularisme” dalam konstitusi mereka.
Sekularisme, bagi dia, bukanlah sebentuk kebencian atau penolakan terhadap
agama. Bagi Erdogan, negara sekular bukanlah negara yang menolak atau membenci
agama, sebaliknya negara yang menghormati semua agama. “Jangan takut pada
sekularisme,” tegas Erdogan (Almasry Alyoum, 13/9/2011).
Sebagai
selingan, pandangan Erdogan ini menarik, sebab mencerminkan perubahan dalam
pengertian sekularisme sebagaimana menjadi bahan diskusi di kalangan sarjana
Barat saat ini. Selama ini, sekularisme mengandung beban makna yang berasal
dari tradisi Pencerahan Eropa, yang intinya adalah: paham yang anti dan
memusuhi agama, terutama lembaga klerikal (baca: gereja). Secara historis,
kecenderungan sekularisme yang memusuhi agama semacam ini, tak bisa dipungkiri,
memang ada. Di benak sebagian besar umat Islam, pengertian sekularisme yang
anti-agama semacam inilah yang paling kuat menancap.
Dalam
perkembangannya, muncul varian sekularisme baru yang jauh lebih ramah agama,
yakni sekularisme dalam pengertian negara yang netral terhadap agama, atau
bahkan memberikan sokongan secara adil kepada semua agama, tanpa pilih kasih.
Sekularisme bahkan bisa juga diterjemahkan dalam bentuk “toleransi kembar”
(twin toleration) sebagaimana pernah diusulkan oleh seorang pakar ilmu politik
dari Universitas Columbia Alfred Stepan.
Toleransi
kembar maksudnya ialah: negara menoleransi agama, bersikap netral terhadapnya,
atau bisa juga memberi dukungan yang fair dan adil kepada semua agama yang ada
di sebuah negara tertentu; sebaliknya agama tak memaksakan sebuah “ideologi
komprehensif” (istilah dari John Rawls) tertentu kepada negara. Tak ada
permusuhan antara kedua belah pihak di sini; sebaliknya terjadi kerjasama atau
kesepakatan antara keduanya untuk saling membantu. Saya ingin menyebutnya
sekularisme plus.
Bentuk
sekularisme yang netral kita lihat, misalnya, di Amerika Serikat. Sementara
sekularisme “plus” kita lihat di negeri-negeri seperti India, Indonesia, Mali,
Senegal, dll. Sisa-sisa sekularisme yang anti-agama tentu masih kita lihat di
Perancis, dan, dalam derajat tertentu, juga di Turki, meskipun yang terakhir
ini sudah mengalami perubahanyang mendasar, terutama sejak kemuculan AKP di
sana.
Kembali
ke pokok soal tadi: PM Erdogan, saat mendakwahkan sekularisme ke Timur Tengah
itu, jelas merujuk kepada pengertian sekularisme yang lebih netral tersebut,
atau malah sekularisme “plus” yang mengandaikan peran aktif negara untuk
melindungi dan menyokong semua agama. Pengertian sekularisme semacam ini belum
banyak dikenal oleh masyarakat Islam, meskipun gejala empirisnya sudah mulai
muncul di permukaan sejak dekade 90an.
Bulan
Oktober lalu, Partai Ennahda, salah satu partai yang menandai gejala
post-Islamisme, memenangkan pemilu demokratis pertama setelah tumbangnya
Presiden Zine al-Abidine Ben Ali di Tunisia, dengan suara yang sangat
meyakinkan: 41%. Usai kemenangan itu, Rached Ghannouchi, tokoh utama Partai
Ennahda, berjanji akan menghormati hak semua orang, termasuk kalangan yang tak
beragama. Ia, untuk meredam kekhawatiran publik, bahkan juga berjanji tak akan
melarang konsumsi alkohol, atau perempuan berbikini di pantai.
Ciri-ciri
umum post-Islamisme di mana-mana memang sama: kompromi dengan kenyataan
politik, pragmatisme dalam menjalankan program pemerintah, dan sikap toleran
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Di Indonesia sendiri, gejala-gejala
moderasi semacam ini juga kita lihat pada PKS, partai yang oleh Asef Bayat
disebut sebagai wakil gejala post-Islamisme di Indonesia. Dalam Munasnya di
Bali pada 2008, partai ini menyatakan diri sebagai partai terbuka, inklusif,
dan menerima ide pluralisme.
Moderasi
semacam ini terjadi karena berbagai faktor. Saya kira faktor yang sangat
dominan adalah menguatnya gejala “end-of-ideology-ism” yang pernah dikemukakan
oleh seorang sosiolog dan penulis konservatif dari Amerika Serikat Daniel Bell
pada 1960an (ia menulis buku yang masyhur dengan judul The End of Ideology).
Perhatian masyarakat lebih terarah kepada pemenuhan kebutuhan riil seperti
pendidikan, kesehatan, kemakmuran, hak-hak sipil, dsb., bukan lagi formula
ideologi besar yang bisa membangkitkan emosi massif di kalangan massa seperti
pada era 50an atau 60an. Pragmatisme masyarakat secara umum memaksa
partai-partai Islamis, jika hendak meraih dukungan yang luas, untuk
memoderatkan posisinya. Realitas sosial yang pluralistis juga memaksa
partai-partai ini untuk melakukan sedikit kompromi. Sementara itu, kekhawatiran
publik terhadap proyek Islamisme yang hendak menerapkan hukum Islam via negara
juga lama-lama menyadarkan para ideolog Islamis bahwa agenda semacam ini sama
sekali kurang menguntungkan secara politik.
Ini
semua menjadi latar munculnya gejala sosial-politik yang oleh Asef Bayat
disebut post-Islamisme. Gejala ini muncul hampir di semua negara Islam.
Munculnya gejala post-Islamisme ini sekaligus menepis kekhawatiran pada dua belah pihak. Yang pertama adalah pihak Barat yang selama ini selalu khawatir terhadap proses demokratisasi di dunia Islam, terutama di kawasan Arab, karena proses semacam ini akan membuka pintu kanal bagi maraknya fundamentalisme, radikalisme, dirigisme, dan Islamisme di negeri-negeri Muslim. Dengan kata lain, pihak Barat selalu resah bahwa demokrasi dalam pengertian elektoral akan selalu melahirkan “Iran” baru di dunia Islam. Di pihak lain, munculnya post-Islamisme ini juga menepis kekhawatiran sejumlah kalangan Islamis sendiri bahwa pelaksanaan demokrasi di dunia Islam akan membawa efek alienasi terhadap aspirasi dan nilai-nilai Islam.
Secara
umum, gejala post-Islamisme ini adalah angin segar bagi dunia Islam, sebab ia
menandakan bahwa persepsi tentang pertentangan antara Islam dan demokrasi bisa
ditepiskan sama sekali. Demokrasi dan Islam, dalam gejala post-Islamisme ini,
bisa bergandengan tangan secara damai, layaknya dua pasangan yang sedang
pacaran. Pertanyaan yang umum kita dengar di kalangan masyarakat Barat, baik
akademis atau non-akademis, Is Islam compatible with democracy?, menjadi kurang
relevan lagi.
Apakah
soalnya lalu selesai di sini, di mana kita akan berhadapan dengan kisah yang
berakhir dengan kegembiraan, sejenis happy-ending-ism ala film-film Hollywood?
Tentu tidak. Post-Islamisme barulah babak pembuka. Tantangan yang sesungguhnya
justru terjadi setelah itu. Pertanyaan yang harus dijawab: jika kalangan
post-Islamis sudah menerima demokrasi, dan bersedia ikut dalam gerbong proses
elektoral demokrasi dengan segala kerumitannya yang kerap menuntut kompromi tak
ideal itu, lalu apa? What’s next?
Tantangan
ke depan ada dua. Yang pertama, apakah komitmen kelompok post-Islamis terhadap
demokrasi ini sungguh-sungguh atau dimotivasikan oleh dorongan-dorongan
oportunistik sesaat saja, atau oleh kebutuhan politik semasa, political
exigencies? Kita tak akan tahu jawabannya selain menunggu sejarah yang akan
datang. Meskipun, tentu, saya tetap optimis, berdasarkan pengalaman-pengalaman
serupa di negeri-negeri lain, bahwa pluralisasi kehidupan modern yang membawa
kerumitan-kerumitan sosial dalam masyarakat saat ini akan membuat “narasi
besar” Islamis menjadi sulit dilaksanakan, atau bahkan nyaris mustahil, kecuali
hanya sebentuk mimpi dan utopia indah yang enak untuk dibayangkan saja.
Kenyataan-kenyataan politik maupun sosial akan memaksa kaum Islamis (atau kaum
“puritan” dalam segala bentuknya di manapun) akan melakukan kompromi, tentu
dengan derajat yang berbeda-beda.
Tantangan
kedua, dan ini adalah yang jauh lebih krusial: Bagaimana kaum Islamis yang
sudah bermetamorfosis menjadi post-Islamis itu akan menerjemahkan agenda-agenda
“relijius” dan “ketuhanan” mereka dalam ranah kehidupan kongkrit yang penuh
dengan kerumitan dan jebakan? Bagaimana mereka akan memperjuangkan agenda itu
lewat lembaga parlemen yang diisi oleh aktor-aktor politik dengan aspirasi dan
platform yang berbeda-beda?
Pada
suatu titik tertentu, kemungkinan terjadinya “clash” atau tabrakan antara kaum
post-Islamis dan kaum non-Islamis memang akan selalu terjadi, terutama dalam
memperdebatkan isu-isu tertentu. Semangat konservatisme jelas sangat kuat
mewarnai agenda-agenda kaum Islamis maupun post-Islamis di manapun. Semangat
ini akan terlihat saat isu-isu riil diperdebatkan di parlemen. Kasus yang
kongkret dalam konteks Indonesia saat ini adalah masalah perlindungan atas
hak-hak kaum minoritas, baik minoritas eksternal (seperti Kristen, Hindu dan
Buddha) atau minoritas internal (seperti sekte Ahmadiyah).
Tantangan
demokrasi ke depan persis terletak di sini: Bagaimana arah demokrasi yang telah
hadir sebagai arena terbuka bagi kaum post-Islamis itu di masa-masa mendatang.
Corak dan subtansi demokrasi di dunia Islam, dengan masuknya aktor post-Islamis
ini, mungkin akan berbeda dengan corak demokrasi yang ada di Barat saat ini.
Tetapi justru di sini soalnya: Seberap besar bedanya? Apakah perbedaan itu,
misalnya, akan membawa akibat terabaikannya hak-hak konstitusional yang
seharusnya dinikmati oleh semua warga negara atau tidak? Ini sekedar
pertanyaan-pertanyaan awal.
Fenomena
yang akan kita lihat di masa mendatang tampaknya, mungkin, akan ditandai dengan
beragamnya corak demokrasi – demokrasi sebagai bentuk jamak, democracies, bukan
lagi mufrad sebagaimana kita pahami selama ini, democracy. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar