Kontradiksi dalam Kesejahteraan Umum
LAPORAN HASIL DISKUSI KOMPAS
MEMPERINGATI SUMPAH PEMUDA
Sumber
: KOMPAS, 29 November 2011
Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, Desk Opini Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada 28 November 2011 menyelenggarakan diskusi panel seri III bertema "Reimajinasi Keindonesiaan Kita: Kebhinekaan dan Ketahanan Nasional”. Diskusi menampilkan pembicara utama F Budi Hardiman dengan pembahas Francisia SSE Seda dan Ahmad Erani Yustika, dipandu oleh Donny Gahral Adian. Hasil diskusi dirangkum oleh wartawan ”Kompas” Irwan Julianto serta Donny Gahral Adian dan Chris Panggabean dari LMI, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.
***
Saat
sejumlah tokoh muda Indonesia berkumpul dan merumuskan Sumpah Pemuda, mereka
tentu punya imajinasi akan diri dan bangsanya di masa akan datang. Sebuah
cita-cita tentang Indonesia.
Ada
nilai kebebasan dan keadilan dalam ikhtiar itu. Ketika semua jadi satu, tak ada
lagi logika mayoritas-minoritas: yang ada hanya nilai kesetaraan. Salah satu
ikrar pada 28 Oktober 1928 adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Bahasa
adalah representasi mental. Jika apa yang dipikirkan sejalan dengan yang
diucapkan, dan apa yang diucapkan sejalan dengan apa yang dilakukan, maka di
sana ada koherensi. Koherensi ini penting karena segala sesuatu jadi mudah
dipahami, terarah, dan selaras. Jika yang terjadi sebaliknya, muncul
ambiguitas, lalu kehilangan arah, dan lama kelamaan inkonsistensi akan
menghancurkan dirinya sendiri.
Dalam
mewujudkan cita-cita bangsa, nilai-nilai prinsipiil yang ditetapkan sebagai
konsensus bersama, dan tertuang dalam konstitusi dasar negara, seharusnya jadi
roh yang menggerakkan kebijakan pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum.
Kebijakan yang Paradoks
Adalah
tugas dan tanggung jawab negara menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah menentukan kebijakan paling tepat untuk mencapai tujuannya.
Sayangnya, dalam praktik memodernisasi ekonomi Indonesia, sejumlah kebijakan
memiliki kontradiksi dengan tujuan yang diharapkan.
Pertama,
negara terus-menerus dituntut menyediakan pelayanan publik yang baik dan
meningkatkan kualitas kehidupan sosial masyarakat. Paradoksnya, negara diminta
melepaskan penguasaan sumber daya ekonomi kepada sektor privat.
Negara
tak akan mampu mengadakan jalan, pelabuhan, angkutan umum, layanan kesehatan,
pendidikan, lapangan pekerjaan, irigasi, akses kredit, perumahan, dan lain-lain
jika ia tak memiliki kekuatan ekonomi. Itu sebabnya, dengan cerdas konstitusi
mengatur bahwa sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, sumber daya
alam, dan sektor lain yang bersifat strategis dikuasai oleh negara.
Akan
tetapi, kesalahan memetakan persoalan membuat pemerintah memilih privatisasi
sebagai upaya menyehatkan dan mengefisiensikan badan-badan usaha milik negara.
Tidak heran jika negara tertatih-tatih menyediakan jaminan sosial dan
menyantuni pelayanan publik karena ia kian dijauhkan dari penguasaan sumber
daya ekonomi.
Kedua,
kunci sistem kapitalisme adalah pada hak kepemilikan. Penguasaan aset sama
dengan pemusatan ekonomi. Siapa yang memiliki aset dialah yang mendapatkan
manfaat terbesar dari sistem tersebut. Paradoks dari kebijakan pemerataan
pembangunan Orde Baru adalah menciptakan konglomerasi dan praktik
monopolistis/kartel. Akumulasi ekonomi yang dikerjakan pelaku ekonomi yang
dipelihara negara tersebut diharapkan akan menetes ke bawah.
Walhasil,
ada sebuah era ketika aset 300 orang terkaya di Indonesia setara 60 persen
APBN. Tidak heran jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dirasakan
masyarakat luas.
Belum
tuntas dengan ketimpangan tersebut, pemerintah memilih kebijakan liberalisasi
keuangan dan perdagangan tanpa terlebih dahulu menyiapkan suatu pasar yang
adil. Sekarang diperkirakan aset 40 orang terkaya di Indonesia setara kekayaan
60 juta penduduk paling miskin, dan penguasaan asing terhadap sumber daya alam
hampir mencapai 80 persen.
Pada
2010, rasio gini di Indonesia 0,38, nilai kesenjangan tertinggi bahkan
dibandingkan pada masa Orde Baru. Sebuah paradoks ketika liberalisasi yang
diharapkan menjadi instrumen penyetara kemakmuran justru jadi jembatan
ketimpangan.
Ketiga,
negara diminta melepaskan penguasaan atas sumber daya ekonomi kepada sektor
privat lewat deregulasi. Konsep di balik itu adalah agar mekanisme pasar
bekerja optimal.
Absurdnya,
ketika sejumlah korporasi bangkrut, pemerintah dimintai pertolongannya karena
pasar tak punya mekanisme untuk menyelamatkan mereka yang kolaps. Negara
diminta menalangi kerugian yang sangat mungkin diakibatkan oleh salah kelola pihak
korporasi. Ini secara tidak langsung masyarakat turut membantu karena sumber
pendanaan negara berasal dari pajak.
Keempat,
secara bertahap, modernisasi ekonomi Indonesia diharapkan bertransformasi dari
ekonomi pertanian ke tahap industri dan jasa. Namun, seperti halnya proses
liberalisasi, transformasi ekonomi melangkah di atas kesalahan yang kasatmata:
pendidikan dan keterampilan tenaga kerja keropos, dan praktik mafia ekonomi
terus berjalan.
Akibatnya,
ketika sektor ekonomi telah bergeser, tidak demikian dengan tenaga kerjanya.
Jumlah tenaga kerja yang tidak terserap ke sektor formal menjadi tinggi karena
kurangnya keterampilan untuk masuk ke sektor jasa dan industri.
Menyelesaikan Kontradiksi
Jika
dulu jargonnya politik adalah panglima, maka sekarang logika ekonomi yang
merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Transaksi pasar kini bekerja dalam
ranah politik. Dalam politik transaksional, pembayar tertinggi berhak
mendapatkan barang/jasa yang ditawarkan.
Pragmatisme
pun semakin menguat dalam masyarakat. Partisipasi politik yang dulu bersifat
orisinal dan murni dorongan idealisme sekarang berganti bermotif ekonomi.
Ketika elite memegang peranan dalam demokrasi, rakyat dikecoh oleh tuturan
tentang demokrasi karena sebetulnya praktiknya tidak demokratis. Secara
perlahan, modal sosial terkikis. Tidak ada kepercayaan kepada elite dan
individualitas yang meningkat di level horizontal.
Akhirnya,
dari keseluruhan proses di atas, yang tersisa hanya kaum pemodal yang terus
berjaya mengakumulasi kekayaan melalui pasar bebas dan demokrasi yang telah
diijon dengan uang. Pemerintah, masyarakat, dan bisnis seharusnya berada dalam
posisi setara dalam suatu sistem ekonomi dan demokrasi politik. Bukan terpusat
pada salah satunya saja.
Demokrasi
menyangkut sistem dan etos. Sistem demokrasi sudah ada di Indonesia, tapi
etosnya masih feodal paternalistis. Semua permasalahan di atas bermula dari
keputusan para elite. Bibir para elite mengatakan demokrasi, tapi kebijakan
mereka menjauh dari ikhtiar memajukan kesejahteraan umum. Alhasil, yang perlu
diterapi di Indonesia kini adalah kepemimpinan.
Reimajinasi
Indonesia merupakan upaya mendamaikan demokrasi politik dan keadilan ekonomi.
Pengelolaan negara perlu diganti dengan konsesi-konsesi yang tidak saling
menegasikan. Realitasnya kekuatan modal mendominasi politik tidak terjadi di
Indonesia saja, juga di negara- negara yang demokrasinya sudah mapan.
Jadi,
rantai permasalahan di atas hanya dapat diurai jika ada kepemimpinan yang
berintegritas, yang mampu berjarak dengan kekuatan modal. Adakah? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar