DPR Mencari (cari) Kesalahan Panitia Seleksi
Donal Fariz, PENELITI INDONESIA CORRUPTION
WATCH; DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN
Sumber
: KOMPAS, 28 November 2011
Tarik
ulur proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi kembali terjadi. Kali
ini DPR mempermasalahkan kesalahan teknis dalam surat kuasa penelitian rekening
dan pengumuman harta kekayaan calon pimpinan KPK.
Proses
seleksi pimpinan KPK yang sejatinya membedah visi dan misi calon pimpinan KPK,
Senin (21/11), terhenti di tengah jalan. Ketua Komisi III DPR Benny K Harman
menemukan adanya kesalahan surat kuasa penelitian dan pengumuman laporan harta
kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) atas nama Abraham Samad dan kandidat lain
yang masih menggunakan formulir surat kuasa lama.
Formulir
itu ternyata masih mencantumkan mantan pimpinan KPK periode pertama sebagai penerima
kuasa mengumumkan LHKPN. Setelah ditelusuri, ternyata letak kesalahan ada di
panitia seleksi (pansel) yang mengunduh formulir lama dari laman Kementerian
Keuangan.
Publik
tentu sepakat, temuan tersebut merupakan ketidaktelitian pansel yang harus dikoreksi
dan jangan sampai terulang lagi. Namun, ternyata persoalan tersebut tidak bisa
selesai begitu saja. Polemik justru muncul karena sikap DPR yang seolah arogan
dan ingin memperbesar masalah karena menunda proses seleksi tersebut.
Arogansi
tersebut terlihat begitu jelas jika dikaitkan dengan sikap DPR yang seolah
menolak klarifikasi dari beberapa anggota pansel, bahkan Menteri Hukum dan HAM
Amir Syamsuddin yang hadir pada keesokan harinya (22/10). DPR malah ngotot agar
mantan ketua pansel, Patrialis Akbar, dihadirkan dalam pertemuan tersebut.
Alhasil, untuk klarifikasi saja DPR telah menghabiskan waktu selama dua hari.
Tak Paham Esensi
Di
sisi lain, masalah ini tentu tak akan jadi besar jika DPR memahami esensi surat
kuasa tersebut. Penting untuk dipahami, kekeliruan surat kuasa tersebut
bukanlah hal yang substansial dari rangkaian panjang proses seleksi pimpinan
KPK yang sudah dilalui.
Jika
mengacu kepada beberapa ketentuan terkait, seperti UU KPK, UU Penyelenggara
Negara yang Bebas KKN, hingga Keputusan KPK No KEP07/KPK/ 02/2005 tentang Tata
Cara Pendaftaran, Pemeriksaan, dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara mengatur kewajiban pengumuman LHKPN, yakni saat pertama
kali menjabat, promosi/ mutasi, dan akhir masa jabatan.
Perlu
digarisbawahi, para kandidat pimpinan KPK ini belum berstatus penyelenggara
negara. Maka, kewajiban LHKPN belum melekat kepadanya. Kewajiban LHKPN akan
berlaku kepada empat unsur pimpinan yang terpilih karena di titik inilah syarat
pengangkatan pimpinan KPK yang diatur Pasal 29 Ayat 11, yakni ”mengumumkan
harta kekayaan”, akan berlaku bagi mereka. Artinya, dari kacamata yuridis,
kesalahan teknis dalam surat kuasa tersebut tidak berdampak signifikan.
Proses
seleksi pimpinan KPK kali ini memang penuh lika-liku. Kisruh soal administrasi
yang terjadi dalam proses uji kelayakan beberapa hari lalu hanya salah satu
letupan masalah yang muncul. Jika ditelusuri, sumber letupan tersebut sering
kali berasal dari Senayan. Berbagai polemik silih berganti muncul ke permukaan ketika
nama-nama calon pimpinan KPK sudah berada di tangan anggota DPR. Hal ini
membuktikan kuatnya tensi politik dalam proses uji kelayakan calon pimpinan
KPK.
Kalau
diingat kembali ke belakang, sebelum administrasi LHKPN dipersoalkan hari ini,
beberapa waktu lalu DPR juga mempermasalahkan sistem ranking yang dibuat pansel
karena dianggap mendikte mereka. Padahal, dalam logika sehat dan tanpa motivasi
politik, sistem ranking yang dilakukan pansel justru seharusnya dipandang
mempermudah DPR dalam melakukan uji kelayakan.
Usai
soal ranking, DPR kembali ”mencari” masalah baru, yakni terkait jumlah nama
yang diajukan pansel. Menurut DPR, pansel harus mengajukan 10 nama, bukan 8
calon. Padahal, Keputusan Mahkamah Konstitusi No 005/UUP-IX/VI/2011 memastikan
masa jabatan Busyro Muqoddas utuh selama empat tahun. Konsekuensi yuridisnya,
DPR hanya akan mencari empat orang. Artinya, tuntutan kepada pansel agar
mengajukan 10 nama tak rasional dan tak berdasar.
Keasyikan
mencari kesalahan orang lain, DPR agaknya lupa bahwa Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 dalam Pasal 30 Ayat 10 memberikan limitasi kepada mereka untuk
memilih dan menetapkan calon pimpinan KPK hanya dalam waktu tiga bulan sejak
tanggal diterimanya daftar nama yang diusulkan oleh presiden.
Langgar UU
Penting
diingat, surat Presiden Nomor R-46/Pres/08/2011 tentang Daftar Nama Calon
Pimpinan KPK sudah diterima oleh pimpinan DPR, yang pada waktu itu diwakili
oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, sejak 19 Agustus 2011.
Namun,
hingga lewat waktunya, 19 November 2011 sebagai batas akhir, proses seleksi
juga belum dilakukan. Artinya, DPR sudah melanggar ketentuan UU dan melalaikan
kewajibannya.
Oleh
karena itu, tak salah jika publik beranggapan, apa yang dilakukan DPR sekarang
ibarat pepatah ”gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan
tampak”. Politisi tersebut menemukan kesalahan kecil pansel, tetapi tak sadar
bahwa mereka sudah melakukan kesalahan besar karena melanggar UU. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar