Apa Setelah Pengakuan UNESCO?
Ignatius Haryanto PENELITI,
DIREKTUR EKSEKUTIF LSPP
Sumber : KOMPAS, 23 November 2011
Patutlah
kita bersyukur. Akhirnya Pulau Komodo masuk sebagai bagian dari Tujuh Keajaiban
Dunia dewasa ini. Ini bukan kali pertama bangsa dan Pemerintah Indonesia lebih
senang berebut pengakuan dari luar ketimbang memperhatikan secara khusus dari
dalam atas sejumlah warisan budaya dan keunikan geografis yang ada di
Indonesia.
Di
luar ribut-ribut soal Pulau Komodo yang jatuh pada komodofikasi, komodifikasi
atas komodo, kita mengikuti pemberitaan bagaimana Pemerintah Indonesia ingin
mengajukan tiga naskah kuno ke dalam daftar Ingatan Dunia 2011 UNESCO. Ketiga
dokumen itu ialah Babad Dipanagara, Nagarakertagama, dan Naskah Drama Mak Yong
(Kompas, 15/11/2011).
Sementara
itu, situs Muaro Jambi yang terancam hancur karena penambangan juga telah lama
diajukan sebagai bagian dari warisan budaya dunia UNESCO (Kompas, 14/11/2011).
Tari Saman saat ini pun sedang menanti pengakuan dari UNESCO yang sebentar lagi
akan melaksanakan sidang komite antarpemerintah di Bali (Kompas, 31/10/2011).
Dalam
kategori ini, Indonesia telah memiliki sejumlah kekayaan yang telah diakui oleh
UNESCO sebagai warisan budaya tak benda: wayang, keris, batik, dan angklung.
Menurut pengakuan salah seorang yang ikut terlibat dalam pengurusan
administrasi ihwal pengajuan obyek budaya Indonesia ke UNESCO, masih banyak
warisan tak benda lain yang juga akan didaftarkan kepada UNESCO.
Sebelumnya
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada April 2011 mengajukan delapan obyek
pariwisata kepada UNESCO untuk mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dunia.
Delapan obyek pariwisata itu adalah Candi Trowulan (Jawa Timur), Candi Muaro
(Jambi), Situs Batujaya (Jawa Barat), Candi Muara Takus (Riau), Kawasan
Pegunungan Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan), Bangunan Tradisional Nias Selatan,
Tana Toraja (Sulawesi Selatan), dan Lanskap Budaya Bali (Kompas, 23/4/2011).
Saat ini Indonesia telah memiliki tiga warisan yang telah diakui UNESCO: Candi
Borobudur, Candi Prambanan, dan Situs Prasejarah Sangiran.
Apa
yang kemudian terjadi ketika UNESCO sudah memberi pernyataan bahwa sejumlah
kawasan di atas dan obyek budaya lain diakui sebagai warisan di tingkat
internasional?
”Budaya”
Tak Merawat Diri
Kompas
terbitan 23 April 2011 menurunkan tulisan Muhidin M Dahlan yang mengajukan
pernyataan tajam: bangsa ini ”bukan bangsa (bermental) perawat”. Disebutkan
dalam tulisan itu kisah tragis koleksi buku milik Soekarno, Hatta, Adam Malik,
kekayaan koleksi Perpustakaan Idayu yang didirikan Haji Masagung, yang lebih
beredar di pasar toko buku bekas, ditinggalkan dalam kondisi tak terawat, atau
habis berkalang tanah di sebuah gudang.
Saya
setuju sekali dengan Muhidin tentang bangsa yang tak bermental perawat itu
karena dari tulisannya kita mendapat gambaran sangat jelas. Buku yang jadi
salah satu cermin peradaban suatu bangsa dan perpustakaan yang menjadi tempat
pengumpul pengetahuan serta cerminan pengetahuan yang dihasilkan dari suatu
zaman saja diperlakukan dengan demikian tak berharga; bagaimana kita akan
menghargai dan mau merawat kebudayaan tradisional atau lanskap suatu wilayah
yang lebih banyak dihargai wisatawan luar negeri ketimbang mereka yang datang
dari dalam negeri sendiri?
Khusus
tentang buku, bisakah kita menemukan sebuah perpustakaan terbaik di negeri ini
yang memiliki koleksi informasi yang lengkap, baik koleksi tentang masa lalu
maupun pengetahuan lengkap yang berkembang pada masa sekarang? Mohon maaf,
menurut saya, tak satu pun perpustakaan di Indonesia yang bisa masuk dalam
kategori ini.
Sekarang
jika kita bicara warisan budaya dalam rupa candi, arsitektur tradisional, dan
benda-benda budaya lain, apakah kita telah memiliki modal menjadi bangsa yang
perawat tadi? Saya makin pesimistis melihatnya. Lihat saja Candi Borobudur yang
katanya telah diakui sebagai warisan budaya dunia tadi.
Dengan
segala maaf, terpaksa saya harus katakan bahwa di luar bangunan candi itu
sendiri, apa beda kawasan itu dengan kawasan pasar malam? Rasanya tak ada.
Untuk sebuah kawasan yang telah lama diakui sebagai warisan dunia, toh
pemerintah entah pusat entah lokal terkesan tak peduli pada kondisi
ketidaknyamanan para wisatawan.
Situasi
berantakan, kurangnya informasi yang menarik, ketidakprofesionalan pengelolaan
kawasan, dan lain-lain adalah kondisi riil yang kita lihat saat-saat ini. Itu
baru bicara candi yang kita anggap terbesar di Indonesia. Bagaimana dengan
kawasan candi lain yang skalanya lebih kecil? Kita mungkin makin miris melihat
kondisinya. Kita bisa masukkan unsur museum dalam deret yang sama.
Buat
saya, tak perlu dulu kita buru-buru mendaftar aneka warisan budaya sebagai
warisan dunia kepada UNESCO sebelum kita bisa membuktikan bahwa kita bisa
merawat aneka warisan budaya tersebut sebagaimana mestinya. Kita tunjukkan
kesungguhan kita merawat dahulu. Itu jauh lebih penting ketimbang memegang
status sebagai warisan budaya dunia, tetapi malah menipu para wisatawan dan
kalangan terpelajar lain datang ke tempat-tempat tersebut.
Saya
malah curiga: pengakuan yang dimintakan dari luar negeri ini apakah bukan usaha
melepaskan diri dari tanggung jawab Pemerintah Indonesia merawat aneka warisan
budaya itu kemudian melemparkan tanggung jawab kepada lembaga internasional
seperti UNESCO? Jika ini pola pikirnya, sungguh sesat perbuatan tersebut.
Sejumlah
aneka warisan budaya selalu menghadapi masalah: seberapa ia menjadi relevan
untuk kondisi sekarang, bagaimana ia membuat kebutuhan akan adanya pelihat baru
terus-menerus, bagaimana membuat warisan budaya ikut beradaptasi dalam kondisi
yang terus berubah (kita kandangkan saja semua ini dalam istilah kondisi
globalisasi, kondisi masyarakat digital), apakah ada orang-orang ahli yang
memiliki kesadaran dan kemampuan memadai untuk mengelola aneka warisan itu?
Saya
kaget ketika mendengar data bahwa pengelola museum di seluruh Indonesia kurang
dari 10 persen yang berpengetahuan memadai atas urusan museum. Yang biasa
terjadi adalah mutasi pejabat dari satu sektor ke sektor permuseuman karena
yang bersangkutan menjelang pensiun, atau orang yang betul-betul buta ihwal
museum (di sejumlah tempat permuseuman dikelola oleh mantan pejabat keuangan)
dan kemudian yang dilakukannya pun tidak maksimal (bahkan sejumlah koleksi
malah berpindah tangan secara komersial).
Di
sinilah kita harus memperbanyak orang yang memiliki keahlian pengelolaan
warisan budaya tersebut. Kehadiran ahli perpustakaan untuk mengelola aneka
informasi dan karya ekspresi bangsa juga patut disejajarkan dalam semangat ini.
Apa
motivasi perlombaan aneka budaya untuk didaftarkan tadi? Untung finansial
secara
langsung dengan mendapat bantuan perawatan warisan budaya tersebut?
Bangsa yang bermartabat tak perlu minta bantuan perawatan ke tempat lain.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar