Dunia yang Makin Tidak Toleran
Husni Thoyyar, PENGAJAR DI PONDOK PESANTREN DARUSSALAM,
ANGGOTA ASOSIASI THE COUNCIL FOR
RESEARCH IN VALUES AND PHILOSOPHY
Sumber : KOMPAS, 22 November 2011
Lebih
dari 2,2 miliar manusia—lebih kurang sepertiga penduduk dunia—hidup di
negara-negara dengan restriksi, represi, dan diskriminasi kehidupan beragama,
baik oleh negara maupun masyarakat.
Inilah
laporan Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life dalam dokumen
Rising Restrictions on Religion (2011). Pew Research Center adalah institusi
nonpartisan yang banyak meneliti bidang demografi, media, agama, dan politik.
Sumbangan
penting lembaga ini adalah The Government Restrictions Index (GRI) dan The
Social Hostilities Index (SHI). GRI adalah indeks yang mengukur tingkat
restriksi atau pembatasan pemerintah terhadap penganut agama, khususnya dari
kelompok minoritas. SHI untuk mengukur tingkat ancaman, tekanan, kebencian,
permusuhan, dan intimidasi oleh individu dan anggota masyarakat terhadap kelompok
agama minoritas.
GRI
terdiri atas 20 pertanyaan dan SHI 13 pertanyaan. Berdasarkan kedua indeks itu,
negara-negara dikelompokkan ke dalam pemerintahan dengan tingkat
restriksi/represi keagamaan sangat tinggi, tinggi, moderat, dan rendah.
Kategori yang hampir sama digunakan untuk mengelompokkan tingkat tekanan,
ancaman, permusuhan, dan kebencian anggota masyarakat kepada penganut agama
minoritas.
Survei
berlangsung di 198 negara periode 2006-2010. Hasilnya, antara lain, menyebutkan
terjadi peningkatan restriksi (restrictions) dan kebencian (hostilities)
berbasis agama di 23 negara (12 persen), stagnasi di 163 negara (82 persen),
dan penurunan di 12 negara (6 persen).
Dari
jumlah negara, angka 12 persen tampak kecil. Namun, dari sisi jumlah penduduk,
persentasenya membengkak menjadi 32 persen karena negara yang makin tak toleran
sebagian besar berpopulasi besar seperti Mesir, Aljazair, Uganda, Malaysia,
Yaman, Suriah, dan Somalia.
Enam
persen yang menurun tingkat restriksi keagamaannya justru terjadi di negara-negara
dengan populasi rendah, yaitu Yunani, Togo, Nikaragua, Macedonia,
Guinea-Bissau, Timor Leste, Guinea-Ekuatorial, dan Nauru. Dengan demikian,
hanya 1 persen penduduk dunia yang tingkat toleransi keagamaannya semakin baik.
Peningkatan
indeks GRI dan SHI di 23 negara dan penurunan indeks hanya di enam negara
menunjukkan bahwa dunia memang makin tidak toleran.
Demokrasi dan Toleransi
Umumnya
indeks GRI dan SHI sangat tinggi atau tinggi terjadi di negara-negara yang
masih bermasalah dengan demokrasi. Arab Saudi, Uzbekistan, China, dan Myanmar
adalah negara dengan GRI sangat tinggi. Sebaliknya negara-negara dengan indeks
GRI dan SHI rendah merupakan negara demokratis lama seperti AS, Belanda,
Selandia Baru, maupun demokratis baru seperti Timor Leste, Kroasia, Albania,
dan Bosnia-Herzegovina.
Yang
menarik dari laporan itu, ternyata sistem demokrasi suatu negara tidak otomatis
disertai dengan penerapan prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan kesetaraan
dalam hal agama. Beberapa negara demokrasi justru memiliki indeks GRI ”tinggi”.
Israel, misalnya, indeks GRI-nya tinggi, antara lain, karena kebijakan
pemerintah yang sering membatasi akses penganut agama terhadap situs-situs
keagamaan. Israel juga memberikan perlakuan istimewa kepada orang Yahudi Ortodoks.
Negara
demokrasi lain dengan indeks GRI tinggi adalah Turki yang mayoritas penduduknya
Islam Sunni. Di Turki jutaan penganut Islam Alawi dipaksa menerima pelajaran
Islam Sunni di sekolah negeri.
Selain
Israel dan Turki, negara-negara demokrasi dengan indeks GRI tinggi antara lain
Indonesia, Pakistan, Aljazair, Rusia, India, dan Singapura.
Masih
tingginya indeks GRI di sejumlah negara demokrasi mengindikasikan bahwa
demokrasi negara-negara tersebut masih sebatas demokrasi formalitas dalam
bentuk ritual pemilu. Justru demokrasi substantif melalui pelembagaan
nilai-nilai pluralisme, toleransi, egalitarianisme, supremasi hukum, dan
keadilan belum menjadi spirit bersama masyarakat. Elite politik dan penguasa
lebih tertarik kepada demokrasi seremonial, terutama dalam perebutan kekuasaan.
Fakta
lain yang menarik adalah bahwa indeks GRI umumnya berkorelasi positif dengan
indeks SHI, tetapi ternyata di sejumlah negara indeks GRI dan SHI-nya
berbanding terbalik. Ghana, Filipina, Banglades, Sri Lanka, Nigeria, Kenya, dan
Etiopia memiliki indeks GRI rendah atau moderat, tetapi indeks SHI-nya tinggi
atau sangat tinggi. Ini, antara lain, karena penegakan hukum lemah ditambah
kegagalan pemerintah melembagakan prinsip demokrasi substansial.
Terdapat
juga beberapa negara dengan indeks GRI tinggi atau sangat tinggi, tetapi indeks
SHI-nya moderat atau rendah, yaitu Eritrea, Malaysia, China, Maladewa, Brunei,
Vietnam, Myanmar, dan Uzbekistan. Ini mengindikasikan perilaku dewasa
masyarakat tidak terwadahi oleh sistem hukum negara. Bisa jadi di China,
Vietnam, Myanmar, dan Uzbekistan agama dipandang sebagai ancaman status quo
elite politik dan penguasa.
Indonesia
menempati posisi indeks GRI ”tinggi” (high government restrictions) dan indeks
SHI ”sangat tinggi” (very high social hostilities).
Kasus Indonesia
Indeks
GRI dan SHI Indonesia tak mengalami perubahan signifikan selama 2006-2010.
Kategori GRI ”tinggi” mengindikasikan sejumlah aturan hukum kita restriktif dan
represif terhadap kelompok minoritas. Aturan hukum di Indonesia yang disinggung
dalam dokumen setebal 117 halaman itu antara lain Surat Keputusan Bersama
Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah (2006), Bantuan Luar Negeri untuk
Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978), dan Pedoman Penyebaran Agama (1978).
Ada
pula Pasal 156 KUHP yang menyatakan bahwa perbuatan penyebaran kebencian,
penyimpangan ajaran, dan penistaan agama dapat dihukum hingga lima tahun
penjara.
Aturan-aturan
hukum itu memang berlaku untuk semua penganut agama di Tanah Air, tetapi
praktiknya aturan-aturan itu lebih sering ditujukan kepada kelompok agama
minoritas.
Indeks
SHI ”sangat tinggi” menunjukkan bahwa kebencian dan permusuhan atas nama agama
terbukti ada di masyarakat kita. Dalam SHI ada pertanyaan: apakah ada
kejahatan, tindakan berbahaya, atau kekerasan yang dimotivasi oleh kebencian
atau bias agama? Apakah ada kekerasan massa yang berhubungan dengan agama?
Apakah ada tindak kekerasan sektarian atau komunal antarkelompok agama? Apakah
di negeri ini terdapat kelompok teroris terkait agama?
Dengan
indeks SHI yang ”sangat tinggi” itu, apakah berarti bangsa Indonesia sangat
tidak toleran? Tidak juga. Lembaga itu mengakui bahwa kebebasan beragama—yang
ditandai tidak adanya halangan, pengekangan, dan penindasan—adalah sesuatu yang
sulit diukur. Akan tetapi, kita teramat prihatin karena kebencian, permusuhan,
intimidasi, ancaman, dan kekerasan masih sering dihadapi saudara-saudara kita.
Lebih memilukan lagi karena negara nyaris tidak hadir untuk memberikan
perlindungan.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar