Tragedi Pak Sjaf dan Etika Pejabat
Akmal Nasery Basral, PENULIS NOVEL ”PRESIDEN PRAWIRANEGARA”
Sumber : KOMPAS, 10 November 2011
Show me a hero,
and I will write you a tragedy.
and I will write you a tragedy.
- F Scott Fitzgerald (1896-1940)
Hal menggembirakan dari penganugerahan status pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, awal pekan ini, adalah diputuskannya Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) sebagai salah seorang dari tujuh nama penerima gelar.
Pak Sjaf, panggilan akrab Sjafruddin Prawiranegara, adalah sosok kontroversial yang lima dekade lebih dikerdilkan namanya dengan menyematkan kesan pemberontak. Labelisasi yang dilakukan Orde Lama dan Orde Baru itu tersebab dua hal: perannya sebagai Perdana Menteri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menantang langsung Soekarno pada 1958-1961 dan sebagai salah satu penanda tangan Petisi 50 yang mengecam Soeharto pada 1980.
Dua peristiwa itu menjadi stigma yang terus dilestarikan. Akibatnya, hampir tak terlacak bahwa Pak Sjaf pernah menempati banyak posisi kunci pemerintahan. Sebutlah Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Presiden De Javasche Bank (sebelum dinasionalisasi jadi Bank Indonesia dan Pak Sjaf sebagai gubernur pertama), atau Wakil Perdana Menteri. Lebih tak terlacak lagi, di setiap jabatan itu Pak Sjaf menunjukkan standar etika yang menjadi antitesis sempurna dari adagium pesimistik Lord Acton: kekuasaan cenderung korup!
Tiga suri teladan
Ada sedikitnya tiga contoh tindakan Pak Sjaf yang patut diteladani para pejabat negeri ini. Pertama, saat lelaki kelahiran Anyar Kidul, Banten, itu ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir ke-3. Ketika itu, dalam usia 35 tahun, ia dianugerahi Tuhan anak ketiga: Chalid Prawiranegara.
Pasti sulit dipahami dari kacamata sekarang jika Menteri Keuangan tak punya uang. Namun, itulah yang terjadi pada keluarga Prawiranegara. Begitu buruknya kondisi finansial Sang Menteri sehingga tak mampu membeli kain gurita bagi bayi Chalid. Untungnya, Lily—nama panggilan Tengku Halimah, istri Pak Sjaf—tak kehilangan akal. Seperti dikutip Ajip Rosidi dalam biografi tentang Pak Sjaf, Lebih Takut kepada Allah SWT (1985), Lily menyobek kain kasur, lalu ia jadikan gurita bayi. Padahal, seberapa mahalkah secarik kain jika seorang Menteri Keuangan ingin menggunakan pengaruhnya? Pak Sjaf tak tergoda menggunakan sepeser pun uang negara.
Peristiwa kedua terjadi ketika Agresi Militer II Belanda, 19 Desember 1948. Pak Sjaf yang saat itu Menteri Kemakmuran sudah sebulan bertugas di Bukittinggi atas perintah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Patut diingat, waktu itu yang disebut daerah republik hanya tiga tempat: Yogyakarta, Bukittinggi, dan Kutaraja (kini Banda Aceh). Daerah lain sudah bergabung ke dalam BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg/Musyawarah Negara Federal) bentukan Van Mook. Awalnya Hatta menjamin kepada Lily bahwa Pak Sjaf hanya akan bertugas sekitar satu pekan.
Saat Agresi II bermuara pada penangkapan dan pengasingan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, serta banyak pemimpin republik ke Bangka, rapat kabinet dadakan yang sempat dipimpin Bung Karno menghasilkan dua radiogram. Pertama, penyerahan mandat untuk menjalankan Republik Darurat di Sumatera kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara. Kedua, penyerahan mandat kepada Dr Sudarsono (Duta Besar Indonesia di India) dan Mr AA Maramis (Menteri Keuangan yang sedang di New Delhi) untuk membentuk Exile Government sekiranya upaya Pak Sjaf membentuk pemerintah darurat tidak berhasil. Namun, kedua radiogram itu tak sempat dikirimkan kepada penerima mandat karena Kantor Pos, Telegraf dan Telepon (PTT) telanjur diduduki Belanda. Kisah selanjutnya tentang PDRI sudah ditulis banyak sejarawan.
Namun, yang tak banyak diketahui publik adalah pengakuan Aisyah Prawiranegara, putri sulung Pak Sjaf. Untuk mengatasi saat-saat sulit tanpa kepala keluarga pemberi nafkah selama itu, Lily sebagai istri menteri memilih berjualan sukun goreng untuk menghidupi keluarganya ketimbang terima bantuan, misalnya ”titipan keju” dari Merle Cochran (diplomat AS, Ketua Komisi Tiga Negara) yang disampaikan para ibu menteri non-PDRI.
Peristiwa ketiga terjadi setelah Perjanjian Roem-Roijen (Mei 1949) yang membuat kubu republik terpecah dua kelompok: kubu Tracee Bangka, sebutan bagi tahanan politik di Bangka yang bersedia berunding dengan Belanda melalui Mohammad Roem, dan kubu PDRI dengan dukungan Panglima Besar APRI Letnan Jenderal Sudirman yang menolak Perjanjian Roem-Roijen.
Sudirman bahkan mengirimkan surat sangat keras: ”...Minta keterangan apakah orang-orang yang masih ditahan atau dalam pengawasan Belanda berhak berunding? Lebih-lebih menentukan sesuatu yang berhubungan dengan politik untuk menentukan status negara, sedangkan telah ada Pemerintah Pusat Darurat yang diresmikan sendiri oleh Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno ke seluruh dunia pada tanggal 19/12/1948.”
Awal Juli 1949, M Natsir yang dikirim Bung Hatta untuk melunakkan hati kubu PDRI mengatakan ia sependapat dengan PDRI. Namun, ia berharap Pak Sjaf bersedia mengembalikan mandat PDRI kepada Soekarno-Hatta. Tawaran Natsir ditolak semua anggota PDRI.
Akhirnya Pak Sjaf sendiri yang melunakkan hati kawan-kawannya dengan menyatakan, jika PDRI dan APRI tetap mempertahankan pendirian secara kaku berdasarkan mandat belaka, maka terjadi dualisme kepemimpinan nasional yang membingungkan rakyat dan mengancam persatuan. Oleh karena itu, meski PDRI tetap menolak Perjanjian Roem-Roijen, ia bersedia mengembalikan mandat kepada Soekarno-Hatta ”untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia serta demi persatuan nasional atas dasar rida Allah”. Argumentasi itu membuat Natsir menangis dan anggota kubu PDRI cair hatinya.
Moralitas bernegara
Dengan moralitas bernegara setinggi itu, gelar pahlawan nasional bukan hanya layak diberikan kepada Pak Sjaf, melainkan baru langkah awal untuk pengakuan lebih resmi sebagai salah seorang presiden negeri ini. Sebab, Bung Hatta sendiri dalam otobiografinya, Memoir (1971, cetak ulang 2011 dengan judul Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi), memberikan judul pada salah satu anak bab dengan ”Sudirman Terus Bergerilya, Sjafruddin Presiden Darurat” (hal 197). Akankah para penentu kebijakan belum juga tersentuh nuraninya dengan kesaksian Bung Hatta yang tak diragukan lagi sebagai salah seorang pelaku sejarah paling absah di negeri ini?
Dalam konteks ini, sepanjang wacana tentang peran Pak Sjaf hanya berputar-putar pada dimensi hukum formal apakah sebutan Ketua PDRI itu sebuah jabatan politik pada tingkat perdana menteri atau presiden seperti berlangsung selama ini, pada hakikatnya belenggu tragedi masih terus dipasangkan pada leher Pak Sjaf, seperti sinyalemen penulis besar F Scott Fitzgeral pada awal tulisan. ●
Kita sudah terlalu sering diberikan pelajaran bahwa, dalam kenyataan, jarak antara Pahlawan dan Pengkhianat itu kadang sangat-sangat tipis sekali.
BalasHapus