Kamis, 10 November 2011

Basoeki Abdullah Pahlawan Nasional?


Basoeki Abdullah Pahlawan Nasional?
Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, PENYUSUN BUKU BASOEKI ABDULLAH
Sumber : KORAN TEMPO, 10 November 2011



Bagi pelukis besar Basoeki Abdullah (almarhum), tanggal 5 dan 10 November ternyata punya hubungan erat. Lima November adalah hari kematiannya, sementara                10 November adalah Hari Pahlawan. Keeratan hubungan itu ceritanya demikian.

Syahdan, ketika pada 5 November 1993 Basoeki wafat lantaran dibunuh maling, Jusuf Ronodipuro, seorang pejuang dan tokoh nasional, terstimulasi untuk gusar bukan main. Jusuf berkata,“Sampai mati Basoeki tetap tidak pernah disentuh penghargaan nasional. Padahal ia pahlawan kebudayaan. Padahal ia memiliki jasa luar biasa kepada seluruh bangsa Indonesia.”

Ia membandingkan dengan rekan sepantaran Basoeki yang justru jauh hari sudah
mendapatkannya. Sudjojono diberi Anugerah Seni 1970. Affandi mendapat Bintang Jasa Utama 1978. Bahkan Kusnadi dan Zaini, dua murid terdekat Basoeki Abdullah di Keimin Bunka Sidhoso (pusat kebudayaan zaman Jepang), juga sudah menerima Anugerah Seni 1977 dan 1979.

Sementara itu, hubungannya dengan 10 November adalah: adanya upaya sekelompok
pencinta seni mengajak Pemerintah Pusat untuk memikirkan kemungkinan pengangkatan pelukis flamboyan itu menjadi pahlawan nasional. Upaya menggadang-gadang kepahlawanan itu disiratkan lewat sebuah diskusi yang dilakukan di Museum
Basoeki Abdullah, di Jalan Keuangan Raya 19, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, pada
15 Oktober 2011. Dalam diskusi terbuka itu ditampilkan empat pembicara, dengan dua di antaranya dari pemerintah.

Sebagai salah satu pembicara utama dalam diskusi itu, saya mengatakan: jangankan
jadi pahlawan nasional, untuk menerima bintang jasa dari Pemerintah Pusat pun Basoeki harus melalui pencalonan yang melelahkan selama lebih dari 30 tahun. (Berbagai dokumen menyatakan bahwa nama Basoeki masuk sebagai kandidat
penerima penghargaan seni sejak 1980). Sampai akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama Pemerintah Pusat memberikan Bintang Budaya Parama Dharma pada Agustus 2011, atau setelah 31 tahun pencalonan. Kita tahu, gugurnya Basoeki sebagai kandidat penerima bintang lantaran pertimbangan politik.

Padahal Raden FX Basoeki Abdullah, kelahiran Solo, 1915, selalu membalas “air tuba” Pemerintah Pusat itu dengan “air susu”. Misalnya, lewat surat wasiat yang dibuat pada 15 Juni 1993 di Kantor Notaris Neneng Salmiah, SH, ia menyerahkan harta bendanya untuk pemerintah Republik Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Harta benda itu berupa 112 lukisan (yang ditaksir berharga total Rp 30 miliar), ratusan buku, puluhan patung dan topeng, serta tanah seluas 440 meter persegi dan bangunan rumah di atasnya, yang kini dikemas menjadi Museum Basoeki Abdullah. Sungguh mati, dalam sejarah seni Indonesia, tidak ada seniman semurah hati Basoeki.

Politik Berbicara

Persoalannya, mengapa pelukis Basoeki selalu luput dari pengakuan Pemerintah Pusat? Jawabannya ada dalam sejumlah tuduhan politis embusan para pemikir kesenian yang berseberangan visi. Kita tahu, para pemikir kesenian semacam ini pada
masanya adalah narasumber yang menjadi acuan hadirnya penghargaan.

Banyak tuduhan yang dilontarkan kepada Basoeki. Ada yang menyebut Basoeki sekadar pelukis komersial lantaran gampang menerima pesanan. Dan itu dimulai
sejak 1930-an kala melayani kegembiraan para pencinta seni Mooi Indie dengan
karya-karya salon yang “kurang modern”. Ada yang mengatakan betapa Basoeki
itu pelukis borjuis, yang dalam pemahaman politik tak beda dengan antirakyat.
Sebuah sikap yang bertentangan dengan paham kebangsaan Indonesia yang
menjunjung wong cilik di lingkup deru campur debu.Keborjuisan itu diindikasikan dengan kiprahnya sebagai Pelukis Istana Belanda, Muangthai, Kamboja, Filipina, dan
Brunei Darussalam.

Namun tuduhan paling serius adalah yang mengatakan bahwa Basoeki Abdullah pelukis tidak nasionalis. Anasionalis! Tuduhan ini dikaitkan dengan peristiwa tahun 1948. Alkisah, pada saat Clash II terjadi di Yogyakarta, dan bangsa Indonesia sibuk di tengah mesiu, Basoeki sedang ikut lomba melukis penobatan Ratu Juliana di Niew Kerk, Amsterdam, Belanda. Uniknya, dalam kompetisi yang diikuti 87 pelukis Eropa pilihan tersebut, lukisan Basoeki tampil sebagai juara kedua. Sri Sultan Hamengku Buwono IX merasa tersinggung oleh realitas ini.Kejengkelan Sri Sultan menjadi acuan kriterium pemikir kesenian selama puluhan tahun.

Basoeki merasa heran akan “stigma lomba Juliana”itu. Ia berkali-kali mengatakan
bahwa tak ada hubungan antara kebijakan militer yang dilakukan Belanda di Indonesia dan program kesenian yang dikembangkan pemerintah Belanda di negerinya.

Ikon Kesenian

Basoeki Abdullah, alumnus akademi seni Den Haag, cucu tokoh kebangkitan nasional Dr Wahidin Sudirohusodo, tentu bukan seniman paripurna. Di samping karyanya yang luar biasa, tak sedikit ciptaannya yang kurang memadai. Suatu hal yang niscaya dalam jajaran cipta seniman produktif, siapa pun namanya.

Namun harus diakui Basoeki adalah seniman yang mengangkat seni lukis menjadi primadona kesenian di Indonesia Raya. Dari sebuah penelitian yang bersandar pada
pendapat umum, diperoleh jawaban bahwa Basoeki adalah seniman yang paling melekat dalam ingatan. Mengatasi nama Raden Saleh dalam seni rupa, Ismail Marzuki dalam musik, Bing Slamet dalam seni panggung. Basoeki memang sangat populer. Itu sebabnya, pameran tunggal Basoeki di Indonesia selalu dipadati ribuan pengunjung. Pun ketika pameran itu memungut tiket masuk (yang hasilnya disumbangkan untuk yayasan amal).

Bahkan Tim Kajian Ikon Basoeki Abdullah yang dikoordinasikan oleh Museum Basoeki
Abdullah baru saja menemukan adanya lukisan-lukisan ikonik Basoeki. Lukisan-lukisan
tersebut dianggap selalu menghiasi kenangan visual bangsa Indonesia. Lukisan itu di antaranya Nyai Loro Kidul, Pertarungan Rahwana Melawan Jatayu, dan Pangeran Diponegoro Memimpin Perang.

Penghargaan nasional untuk Basoeki Abdullah memang sangat terlambat. Dan upaya mempertimbangkan kepahlawanan nasional Basoeki juga terlalu kasip.Tapi itu jauh lebih baik daripada jasa-jasa Sang Maestro dikubur lupa, setelah kebesarannya direduksi oleh penilaian korup.

Sambil menggadang-gadang kepahlawanan Basoeki Abdullah, Pemerintah Pusat ada baiknya juga mengingat jasa Dullah, pejuang perang kemerdekaan, pendidik, Pelukis Istana Presiden Sukarno 1950-1960,“Raja Realisme”seni lukis Indonesia. Lee Man Fong, seniman jenius, pendiri “Yin Hua”, Pelukis Istana Presiden Sukarno 1961-1965 yang kabur lantaran dianggap Sukarnois, sehingga akhirnya diaku sebagai maestro seni Singapura. Atau Hendra Gunawan, pejuang perang kemerdekaan, seniman humanis, tokoh sanggar Pelukis Rakyat yang dipenjara sebagai tahanan politik lantaran pernah masuk Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi afiliasi Partai Komunis Indonesia.

Tokoh-tokoh besar di atas tak pernah disentuh penghargaan resmi Pemerintah Pusat, karena rujukan politik telah mengotori penilaian. Meski jasa mereka tiada terbilang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar