OJK dan APBN: Mampukah Menahan Krisis?
Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
Sumber : KOMPAS, 10 November 2011
Di Cannes, Perancis, minggu lalu, pertemuan tingkat pemimpin dunia negara-negara G-20 menyatakan bahwa perekonomian global cenderung memburuk. Bahkan, disimpulkan, pemburukan mulai merembet dari negara maju ke negara berkembang.
Meski demikian, para pemimpin G-20 belum menganggap perlu ada tindakan bersama mengatasi krisis. Krisis utang di Yunani dan beberapa negara di Uni Eropa masih dianggap sebagai masalah yang dapat diselesaikan Uni Eropa sendiri melalui pemotongan utang dan rekapitalisasi bagi investor keuangan yang terkena dampak pemotongan dan penghematan anggaran.
Namun, jelas krisis Eropa akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi global, khususnya di negara maju. Dampak krisis global 2012 bisa menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurut beberapa analis mencapai 6,0-6,5 persen, di bawah target pemerintah 6,7 persen. Pemerintah meyakini pertumbuhan akan tetap 6,7 persen pada 2012 meski ada potensi pelambatan ekonomi dunia. Untuk itu, disiapkan sejumlah langkah mitigasi dampak krisis global.
Keyakinan tersebut bertambah karena baru saja Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, dampak pelambatan ekonomi global belum menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2011 sebesar 6,5 persen year on year (yoy). Pertumbuhan ini, menurut Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Slamet Sutomo, lebih banyak ditunjang ekspor tahunan yang tumbuh 8,3 persen. Impor juga tumbuh 5 persen sehingga neto 3,3 persen.
Penyumbang pertumbuhan ekonomi lainnya adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga yang naik 2,7 persen triwulan III-2011 yoy. Pembentukan modal tetap bruto tumbuh 1,7 persen dan pengeluaran konsumsi pemerintah naik 0,2 persen. Meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah tangga memberikan bantalan bagi resiliensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap gejolak eksternal saat ini. Pengeluaran rumah tangga sangat dipengaruhi rendahnya inflasi, pengeluaran pemerintah, dan kredit perbankan untuk sektor konsumtif.
Kerumitan OJK
Disahkannya UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengakomodasi kondisi perekonomian tak normal alias darurat merupakan salah satu cara mencegah saat terjadi krisis keuangan secara cepat. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) dengan anggota menteri keuangan, gubernur BI, ketua komisioner OJK dan LPS adalah organ utama untuk menanggulangi krisis keuangan.
Meski memadai untuk menanggulangi krisis, UU OJK yang baru saja disahkan mengalami kerumitan dalam pembentukan dan operasionalisasi Dewan Komisioner. Terlalu banyak ketentuan dan pasal yang mengaturnya. Sebanyak 22 dari 65 pasal dalam UU dimaksudkan untuk mengatur pembentukan, struktur, tugas, kewenangan, pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Komisioner. Asal-usul keanggotaan Dewan Komisioner tidak ditekankan dari sisi persyaratan teknis dan kompetensi, tetapi justru lembaga pengusul atau keterwakilan yang lebih penting. Sangat sedikit ketentuan pelaksanaan tugas yang memberikan fleksibilitas dan diskresi oleh lembaga itu sendiri.
Hubungan antara BI dan OJK dalam memantau kondisi sektor keuangan dan kaitannya dengan kebijakan moneter sangat sedikit disinggung. Yudi Purbaya dari Danareksa mengungkapkan persoalan yang akan muncul setelah nanti pengawasan harian dilakukan oleh OJK, sementara kebijakan moneter diputuskan oleh BI. BI memutuskan kebijakan moneter karena BI yang setiap hari mengecek dan mengetahui keadaan perbankan nasional.
Menurut Yudi, jika memang pada 2014 OJK akan mengambil alih peran Bank Sentral dalam mengawasi bank-bank di Indonesia, OJK harus selalu berkoordinasi dan melaporkan hasilnya kepada BI untuk merumuskan kebijakan moneter. Koordinasi setiap tiga bulan sekali seperti diatur dalam UU OJK dinilai terlalu lama. Paling tidak tujuh kali dewan komisioner OJK bertemu dengan DPR, yakni pada proses seleksi, pengajuan program, laporan pelaksanaan kebijakan, membahas anggaran, hubungan internasional, kebijakan FKSSK, dan apabila terdapat konsekuensi dengan APBN. DPR dalam hal ini adalah alat kelengkapan DPR, yakni komisi yang membidangi keuangan dan perbankan.
Keterbatasan APBN 2012
Jika OJK tidak memberikan kelonggaran pada kebijakan penanganan terhadap kejadian yang mengindikasikan krisis pada sistem keuangan, APBN 2012 justru sebaliknya. APBN 2012 memberikan kewenangan besar kepada menteri keuangan dalam penetapan krisis berdasarkan prognosis indikator makroekonomi, posisi nominal dana pihak ketiga perbankan, dan Crisis Management Protocol (CMP).
Meski harus ke DPR, jelas kini menteri keuangan punya instrumen fiskal untuk menanggulangi krisis yang cukup memadai, cepat dan tepat. Menurut Wakil Menkeu Anny Ratnawati, untuk antisipasi krisis, disiapkan beberapa pasal dalam APBN 2012, yang mengatur solusi yang dapat digunakan jika terjadi krisis. Misalnya, penggunaan Sisa Anggaran Lebih (SAL) untuk stabilisasi pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik dengan persetujuan DPR, pinjaman siaga untuk ketahanan pangan dan pengeluaran yang dapat melebihi pagu untuk antisipasi keadaan darurat.
Hak DPR dalam kebijakan fiskal dalam APBN 2012 betul-betul minimal sehingga jika diperlukan pemerintah lewat kebijakan fiskal dapat bertindak cepat. Instrumen ini juga telah dimanfaatkan dalam APBN 2009.
Penggunaan dana APBN dimaksudkan untuk menstabilkan pasar keuangan. Caranya, lewat pembelian kembali SBN. Pasal 40 mengatur ketentuan dalam mengatasi krisis global dan menjelaskan penggunaan SAL untuk stabilisasi pasar SBN domestik.
Pasal 41 UU APBN 2012 mengatur hal terkait upaya menghadapi krisis pangan yang isinya penyediaan pinjaman siaga untuk ketahanan pangan. Pasal 43 memperbolehkan pengeluaran yang dapat melebihi tingkat antisipasi keadaan darurat. Bahkan, Pasal 38 lebih ekstrem menyebutkan, ada atau tak ada krisis, pemerintah bisa menyesuaikan besaran komponen dalam APBN (pendapatan, belanja, dan pembiayaan) apabila ternyata meleset untuk kemudian disesuaikan di APBN-Perubahan atau dilaporkan di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Salah satu langkah mitigasi yang dilakukan, menurut Anny, adalah menggunakan CMP. CMP yang ada di Kemkeu variabelnya sudah sejalan dengan yang ada di BI. Sayangnya, CMP hanya menyangkut kerja sama Kemkeu dan BI, tidak mengikutsertakan aparat penegak hukum yang juga sangat penting. Langkah lain adalah menyediakan Bond Stabilization Framework (BSF). Ini kombinasi dengan BUMN dalam intervensi di pasar pada obligasi pemerintah. Seperti biasa dan sangat disayangkan, pemerintah sering mengungkapkan rencana yang belum jelas, seperti pembentukan BSF tersebut.
Tidak seperti dalam UU OJK, pembahasan anggaran krisis dalam skema APBN di DPR dilakukan di Badan Anggaran. Ini akan menimbulkan potensi masalah internal antara komisi keuangan dan Badan Anggaran sebagai alat kelengkapan DPR yang membahas masalah anggaran krisis keuangan.
Dalam APBN juga tersedia dana cadangan risiko fiskal Rp 15,8 triliun. Jumlah risiko fiskal ini, meski cukup besar, masih saja kurang dilihat dari risiko APBN, yakni pertumbuhan ekonomi, turunnya lifting minyak, tak tercapainya penerimaan pajak, lebihnya konsumsi BBM, kenaikan harga minyak, tak tersedianya gas dan batubara untuk PLN, serta risiko biaya dan suplai penerbitan obligasi. Jika anggaran risiko fiskal masih kurang, masih ada cara mengatasi. Apabila anggaran pemerintah pusat tak dicairkan 5 persen saja, APBN kita sudah berhemat paling tidak Rp 20 triliun. Bahkan, sering sekali timbul Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) pada akhir tahun. Kelebihan SILPA sama sekali bukan prestasi membanggakan.
Risiko global seharusnya menjadi kesempatan bagi Indonesia memperkuat perekonomian domestik yang perlu terus didorong dengan intermediasi perbankan dan stimulasi fiskal. Melihat kerumitan pembentukan dan operasionalisasi OJK serta keterbatasan APBN 2012, sulit diharapkan itu jadi instrumen penahan krisis sehingga diperlukan instrumen tambahan lain. Meski demikian, dengan adanya OJK, kita berharap akan terus tercipta perbankan yang tangguh untuk meningkatkan intermediasi perbankan dan APBN yang sehat akan terus berekspansi untuk mendorong perekonomian dalam negeri yang tahan krisis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar