Kamis, 10 November 2011

Sanggupkah Memberi Makan?


Sanggupkah Memberi Makan?
Khudori, PENULIS BUKU  IRONI NEGERI BERAS
Sumber : SINDO, 10 November 2011



Dua abad lalu, saat penduduk belum 1 miliar jiwa, Thomas Malthus tahun 1798 mengingatkan bahwa bumi tak akan mampu memberi makan.

Per 31 Oktober lalu, bumi telah dihuni 7 miliar jiwa, tapi mereka masih bisa makan. Sepertinya dugaan Malthus meleset sehingga pendeta dan matematikawan itu jadi olokolok. Apakah ”batas Malthus” dibuang ke tempat sampah? Sudut pandang Malthus tidak berbeda dari pandangan AdamSmithdijilidpertama The Wealth of Nations. “Tidak seorang pun yang berakal sehat meragukan jumlah penduduk harus berada dalam batasan sumber daya. Kapasitas masyarakat dalam meningkatkan sumber daya dari batas itu juga sangat terbatas,” kata Tim Dyson,profesor kependudukan di London School of Economics, Inggris.

Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan hidup membaik.Pada 1914,penduduk dunia 1,6 miliar dan pada 2025 diperkirakan jadi 8 miliar. Tahun 1900, bayi lelaki dan perempuan bisa hidup hingga usia 46–48 tahun. Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan,dan kualitas pangan membuat harapan hidup mencapai 70 tahun. Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit, terdesak keperluan nonpertanian.Bagaimana meningkatkan produksi pangan saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air?

Bisakah produksi digenjot saat terjadi erosi genetika intensif, salinitas mencemari sawah, lahan rusak,dan hanya tersedia sedikit air irigasi? Bisakah mendongkrak produksi pangan saat perubahan iklim dan cuaca semakin sulit diprediksi sehingga pola tanam kacau-balau? Jumlah 7 miliar itu jelas merepotkan, salah satunya soal sanggupkah memberi makan. Secara global,suplai pangan (gandum,beras,dan biji-bijian) melimpah: 3.500 kilo kalori/ kapita/hari (www.census.gov), melebihi kebutuhan konsumsi dasar manusia (2.200 kilo kalori/kapita/ hari). Suplai ini bisa membuat tiap orang jadi gembrot (obesse).

Tapi pangan tidak mengalir pada yang memerlukan, melainkan menuju kepada mereka yang berduit. Kemiskinan membuat warga di negara-negara miskin tak bisa mengakses pangan. Maka, kelaparan dalam berbagai manifestasinya sulit dilenyapkan dari muka bumi, bahkan kini jumlah warga kelaparan dan kekurangan gizi parah membengkak dari 840 juta (2003) jadi925 juta(www.etcgroup.org). Ini masalah global yang pelik dan mengancam target Millennium Development Goals: mengurangi kemiskinan sebesar 50% pada 2015.

Proteksi

Tuhan merahmati dunia dengan aneka ragam pangan: tanaman dan hewan. Namun, lewat globalisasi yang dipromosikan negara maju, pangan dunia kian seragam. Meski sedikitnya ada 3.000 spesies tumbuhan untuk pangan, saat ini hanya 16 tanaman pangan utama yang dibudidayakan (Thrupp, 1998), yang patennya dikuasai segelintir korporasi transnasional (TNCs). Lewat pendiktean TNCs, budi daya pertanian global hanya bertumpu pada segelintir biji-bijian, terutama gandum, beras, dan jagung.

Kacang pun hanya kedelai dan kacang tanah,bukan kecipir yang lebih unggul (tahan kering dan totally edible) dan tersebar di negara berkembang. Keberlanjutan produksi hanya bisa dipertahankan dengan penambahan input (pestisida, pupuk, dan benih) terus-menerus, yang juga dikuasai TNCs.Padahal, input itu membuat tanah dan lingkungan rusak, erosi genetik,dan predator mati. Berbeda dengan negara miskin, negara maju kian protektif pada pertanian dan petaninya. Liberalisasi sektor pertanian selalu didengungkan dalam berbagai perundingan bilateral dan multilateral oleh negara maju,tapi itu tak pernah diamalkan dalam kebijakan domestik.

Petani AS dan Uni Eropa menerima subsidi per tahun rata-rata USD21.000 dan USD16.000. Sekitar 78% pendapatan petani padi di OECD misalnya berasal dari bantuan pemerintah. Harga jual produk kemudian tak lagi mengacu pada biaya produksi. Harga ekspor gandum AS dan UE masing-masing hanya 46% dan 34% di bawah biaya produksi alias dumping. Ini yang membuat hanya segelintir negara maju seperti AS, Prancis,Kanada,Italia,Jerman dan Inggris bisa memiliki rasio swasembadayangtinggidengan komoditas pangan beragam (barley,gandum,sorgum,jagung, dan bahkan beras).

Hak Warga Miskin

Bagi negara-negara importir neto pangan, krisis kembar energi dan pangan 2007–2008 memberi pelajaran penting: menggantungkan pangan di pasar impor amat berisiko.Saat energi fosil murah tinggal cerita usang,biofuel dari pangan menjadi primadona. Perubahan iklim membuat suplai pangan tidak pasti seperti dialami Rusia,Pakistan,dan China. Agar suplai pangan-energi di masa mendatang terjamin, mereka memanfaatkan instrumen land grabbing. Lebih USD100 miliar dibelanjakan guna mengakuisisi 50 juta hektare lahan di berbagai negara miskin (Foodfirst, 2010).

Pertarungan pangan antara untuk mengisi perut dan menggerakkan mesin akan membuat warga miskin gigit jari. Siapa yang memberi makan warga miskin? Bukankah tidak lapar adalah hak dasar paling asasi? Pertanyaan itu juga relevan untuk Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 241 juta jiwa. Dengan pertumbuhan 1,49%,tiap tahun bertambah 3 juta–4 juta jiwa. Sepintas angka itu kecil. Tapi dampaknya luar biasa merepotkan: tiap tahun harus menambah bahan makanan untuk 3 juta–4 juta mulut saat usia sekolah butuh 3 juta– 4 juta bangku sekolah, saat memasuki usia kerja perlu 3 juta–4 juta lapangan kerja,dan seterusnya dan seterusnya.

Berapa ribu hektare lahan pertanian akan terkonversi untuk rumah,pabrik,industri, dan jalan? Sanggupkah (bumi+air+udara) tempat kita hidup memberi makan? Bagi Indonesia, dengan jumlah warga miskin 30 juta, kelaparan selalu given.Sebagian besar mereka adalah petani. Ketika harga pangan melonjak, daya beli mereka anjlok. Inilah ironi negeri ini: petani justru jadi kelompok paling rawan kelaparan. Mungkinkah menumpukan suplai pangan di masa mendatang pada petani yang miskin? Jelas tidak!

Untuk menjamin kesanggupan memberi makan, harus ada perubahan revolusioner dalam politik anggaran untuk investasi publik (jalan, irigasi, riset, mitigasi, dan adaptasi iklim), politik industrialisasi yang tidak menyakiti petani,pemupukan aset-aset petani (lahan dan air), dan beleid perdagangan yang propetani. Hanya dengan kebijakan simultan inilah kita akan memiliki jaminan kesanggupan memberi makan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar