Negosiasi Ulang Kontrak Tambang?
A. Sonny Keraf, MANTAN KETUA PANJA RUU PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Sumber : KOMPAS, 09 November 2011
Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan Januari 2009, tidak ada lagi bentuk pengelolaan tambang mineral dan batubara kita dalam wujud Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Alasan konstitusionalnya jelas, mengembalikan kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batubara kita. Negara Republik Indonesia yang terhormat tidak boleh lagi sejajar dengan sebuah entitas bisnis untuk melakukan kontrak pengelolaan sumber daya alam, yang menurut konstitusi dikuasai oleh negara.
Konsekuensi dari perubahan itu, semua Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PK2B) yang beroperasi sebelum ada UU Nomor 4 Tahun 2009 harus disesuaikan. Pasal 169 Butir b pada bab peralihan memerintahkan agar isi KK dan PK2B disesuaikan paling lambat satu tahun sejak UU disahkan.
Kenyataannya, sebagaimana dikemukakan Pri Agung Rakhmanto (Kompas, 7 November 2011), kemajuan dalam pelaksanaan amanat undang-undang sangat lambat dan tidak signifikan. Kalaupun ada kemajuan, itu hanya berlaku untuk kontrak tambang skala remeh-temeh yang tidak signifikan.
Posisi Lemah
Saya sependapat dengan Pri Agung tentang lambatnya kinerja pemerintah dalam soal ini. Saya juga sepakat bahwa itu disebabkan oleh posisi pemerintah yang lemah menghadapi pemegang KK dan PK2B.
Akan tetapi, kelemahan posisi pemerintah tersebut bukan disebabkan oleh pasal-pasal perundang-undangan, melainkan akibat pemerintah sendiri yang sengaja menempatkan diri pada posisi lemah dan ragu-ragu melaksanakan perintah undang-undang. Baik pemerintah maupun Pri Agung keliru memahami perintah UU No 4/2009 sehingga dimanfaatkan pemegang kontrak tambang.
Dalam hal ini, Pasal 169 harus dibaca secara utuh di antara butir-butirnya. Butir a mengamanatkan bahwa ”bentuk” KK dan PK2B memang tetap dipertahankan. Akan tetapi, isi KK dan PK2B harus disesuaikan dengan isi UU No 4/2009 paling lambat satu tahun sejak disahkan.
Menjalankan undang-undang ini bisa dianalogikan dengan gelas. Bentuk gelas tetap dipertahankan, tetapi isinya kita ganti. Misalnya, jika semula isi gelas adalah air, kini kita ganti dengan sirup.
Maka sebetulnya tidak ada yang perlu menimbulkan kebingungan, ambiguitas, dan salah tafsir di sini. Bentuk gelas tidak sama dengan isi gelas. Bentuk gelas bisa saja kita pertahankan, tetapi isinya bisa diganti. Oleh karena itu, mempertahankan bentuk gelas jelas tidak sama dan identik dengan mempertahankan juga isi gelasnya.
Jadi, mengapa harus bingung dengan perintah Pasal 169? Bentuk kontrak tambang tetap kita pertahankan seperti bentuk gelas tadi. Akan tetapi, isinya kita sesuaikan dengan maksud yang terkandung di dalam UU No 4/ 2009.
Sama seperti analogi gelas di atas, mempertahankan bentuk kontrak tambang tidak sama
dengan mempertahankan isinya.
Sesuaikan Isi Kontrak
Konsekuensinya, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah penyesuaian isi kontrak tambang dengan UU No 4/2009. Bukan renegosiasi atau negosiasi ulang. Ini jelas dua hal yang berbeda dan dengan implikasi serta konsekuensi yang juga sangat berbeda.
Implikasi renegosiasi adalah, kalau kedua belah pihak tidak sepakat, gagallah negosiasi. Padahal, perintah undang-undang jelas: lakukan penyesuaian!
Oleh karena itu pula, yang harus dibentuk pemerintah adalah Tim Penyesuaian, bukan Tim Negosiasi Ulang Kontrak Tambang. Ini sesungguhnya sudah diingatkan ketika pembahasan RUU ini. Bahwa pemerintah pada saatnya hanya menyampaikan kepada DPR dan rakyat Indonesia hasil penyesuaian isi kontrak tambang dengan isi undang-undang, bukan hasil negosiasi ulang, yang menurut istilah pemerintah bisa saja gagal atau bisa juga berhasil.
Harus Percaya Diri
Tentu saja untuk proses penyesuaian perlu ”duduk bersama” antara pemerintah dan pemegang kontrak tambang. Dalam ”duduk bersama” itu harus ada keterbukaan dan kesediaan, khususnya dari pihak pemegang kontrak tambang untuk menyesuaikan isi kontrak.
Dari pihak pemerintah dibutuhkan sikap percaya diri sebagai pemegang amanat konstitusi dan UU untuk mengimplementasikannya. Pemerintah tidak boleh ragu-ragu, karena hanya dengan itu, penyesuaian isi kontrak tambang bisa segera dituntaskan dengan hasil memuaskan. ●
Bagi saya, pernyataan Pak Sonny berikut menarik untuk diperhatikan. "Baik pemerintah maupun Pri Agung keliru memahami perintah UU No 4/2009 sehingga dimanfaatkan pemegang kontrak tambang". Kalau pemerintah dan Pak Pri Agung keliru memahami perintah UU No 4/2009, maka menurut pemahaman saya, itu artinya UU tersebut lemah karena perintahnya masih terbuka untuk disalah-tafsirkan. Saya yakin, baik Pak Sonny maupun Pak Pri Agung tahu persis bagaimana memperbaiki UU tersebut supaya tidak disalah-tafsirkan. Selanjutnya, jangan-jangan perbedaan istilah "negosiasi ulang" dan "penyesuaian" juga terjadi karena kesalahpahaman (salah tafsir) terhadap perintah UU tersebut. Saya khawatir, pemerintah menjadi ragu-ragu dan tidak percaya diri karena ada bagian tertentu dari perintah UU tersebut yang tidak jelas. Andai saja nanti ada wakil pemerintah yang bersedia menanggapi tulisan Pak Sonny ini, tentu pemahaman publik terhadap permasalahan "penyesuaian isi kontrak tambang" tersebut akan semakin jelas. Semoga.
BalasHapus