Sabtu, 12 November 2011

Perbatasan dengan Malaysia


Perbatasan dengan Malaysia
Soetoyo NK, SEKRETARIS UMUM PERSATUAN PURNAWIRAWAN TNI-AD
Sumber : KOMPAS, 12 November 2011



Ketika heboh soal Tanjung Datu dan Camar Bulan, beberapa pejabat menyatakan, tidak ada masalah dan tak ada wilayah kita yang dicaplok Malaysia. Benarkah demikian?

Sebenarnya telah tercapai berbagai kesepakatan tentang perbatasan, tetapi masih tersisa sepuluh tempat bermasalah di batas wilayah negara. Ini akibat perbedaan penafsiran Traktat 1891, 1915, 1928 yang menjadi landasan bersama, perbedaan pengertian istilah watershed atau batas air, keadaan di lapangan yang tidak cocok dengan ketentuan, dan peta yang digunakan.

Perbatasan Darat

Kesepuluh tempat itu terletak di garis perbatasan darat dan disepakati untuk status quo.
Tanjung Datu termasuk di antaranya. Berada di ujung barat Pulau Kalimantan, medannya datar berawa, sungainya tidak bermata air, dan tak bergunung. Indonesia berpendapat, pengertian watershed tidak dapat diberlakukan. Apabila diberlakukan sesuai kehendak Malaysia, Indonesia akan kehilangan wilayah seluas 1.500 hektar.

Berikutnya adalah Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, daerah non-konsidensi batas. Ini dikukuhkan dengan MOU tahun 1976/1978, tetapi belum final. Non-konsidensi batas artinya penyimpangan garis batas hasil pengukuran di lapangan dan plotting foto udara tak berimpit dengan peta yang digunakan.

Kasus lain ada di Gunung Raya, Kecamatan Seluas, Kabupaten Sambas. Malaysia berusaha tidak memenuhi Traktat 1928. Dalam rumusan traktat terdapat dua Gunung Raya: Gunung Raya dan Gunung Raya II. Kedudukan potongan garis batas Gunung Raya dan Gunung Raya II menguntungkan pihak Indonesia, maka Malaysia tidak mematuhinya.

Selanjutnya adalah Sungai Buan, Kecamatan Seluas. Terdapat perbedaan Traktat 1928 dengan keadaan di lapangan. Dalam traktat, sungai yang berdekatan dengan Pilar Jagoi dan bermata air di Gunung Jagoi ditulis Sungai Buan. Di lapangan bukan Sungai Buan, tetapi Sungai Brubai, dan belum ada titik temu.

Ada kasus Batu Aum, Kecamatan Seluas. Terdapat perbedaan Traktat 1928 dengan keadaan di lapangan. Kedua belah pihak tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan traktat, tetapi petani Malaysia telah menduduki tempat ini seluas 7 hektar.
Sengketa lain ada di daerah Semitau, Kecamatan Nanga Kantuk, Kabupaten Kapuas Hulu. 
Kepala adat membuat persetujuan pertukaran tanah pertanian dengan penduduk Malaysia. Tanah yang dipertukarkan itu luasnya 230 acre. Persetujuan seperti ini bertentangan dengan kedaulatan negara.

Di Badau, Kecamatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, penduduk Malaysia berladang di wilayah Indonesia seluas 60 hektar. Tidak ada masalah pada watershed pengukuran bersama.

Persoalkan Ukuran

Di Sungai Sinapad, Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Malaysia mempermasalahkan hasil pengukuran Belanda dengan Inggris tahun 1915. Malaysia menolak kebenaran watershed 1915 dan menghendaki watershed di sebelah timur Sungai Sinapad.

Malaysia berpendapat, Sungai Sinapad tributary Sungai Sedalir yang bermuara di utara garis lintang 4°20”. Apabila tuntutan Malaysia dipenuhi, Indonesia kehilangan wilayah 4.800 hektar.

Di Sungai Semantipal, Kecamatan Lumbis, Malaysia, lagi-lagi berusaha mengingkari persetujuan Belanda dengan Inggris pada 1915. Malaysia menduga Sungai Semantipal bermuara di utara garis lintang yang sama.

Terakhir adalah Pulau Sebatik di Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, ujung timur Pulau Kalimantan. Persetujuan Belanda dengan Inggris pada 1915 menetapkan pilar perbatasan di sebelah timur dan barat Pulau Sebatik, tetapi pilar barat hilang sehingga tidak dapat dilakukan rekonstruksi posisi. Malaysia menunjukkan dokumen tak otentik yang hasil pengukurannya menjorok ke selatan dan merugikan Indonesia 103 hektar.

Malaysia Agresif

Malaysia berusaha menambah wilayah kedaulatan darat di perbatasan Kalimantan dengan merugikan Indonesia. Dari sepuluh tempat bermasalah di perbatasan, Malaysia menuntut wilayah, mengingkari ketentuan, dan secara de facto menduduki wilayah Indonesia. Malaysia memanfaatkan situasi di Indonesia secara konsepsional dan makin agresif pasca-lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan. Di Tanjung Datu dan Camar Bulan, Malaysia mau mengulang kembali keberhasilan di Pulau Sipadan dan Ligitan.

Kekurangpedulian kita terhadap daerah dan masyarakat perbatasan menguntungkan (dan dimanfaatkan) Malaysia. Ada berita sekelompok pemuda berniat menggabungkan Kalimantan Barat dengan Sarawak dan beberapa kampung di perbatasan mengibarkan bendera Malaysia.
Padahal, di perbatasan darat terdapat sepuluh tempat status quo. Dari sepuluh itu, tujuh dituntut Malaysia, bahkan tiga sudah diduduki warga Malaysia.

Kalau tidak ingin semua itu satu per satu dikuasai Malaysia, waktunya kita bergerak.
Pertama, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, serta Panglima TNI perlu menyusun konsepsi bersama, berjuang sekaligus memenangi proses penyelesaian sepuluh tempat bermasalah itu.

Kedua, Mendagri bekerja sama dengan Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat sebaiknya mendayagunakan bupati, camat, dan prajurit TNI untuk menjaga sepuluh tempat bermasalah itu. Yang juga penting, tingkatkan kesejahteraan agar orientasi masyarakat ke Serawak dan Sabah berkurang.

Ketiga, institusi terkait di TNI, seperti BAIS, Spam Kasad, Sintel Mabes TNI, dan Topografi, perlu membuka arsip perbatasan untuk mewaspadai persoalan kedaulatan sekaligus membuka mata para pejabat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar