OJK, Superbody Baru
FX Sugiyanto, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UNDIP
Sumber : SUARA MERDEKA, 12 November 2011
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan berarti lembaga baru itupun segera terbentuk. Lembaga itu bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan, meliputi jasa keuangan perbankan, jasa keuangan pasar modal, jasa perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Kegiatan koperasi simpan pinjam, baitul maal wat tamwil (BMT) dan sejenisnya belum masuk dalam lingkup tugas OJK, sampai sekitar 2 tahun menunggu apakah dalam waktu dekat terbentuk lembaga yang mengatur dan mengawasi koperasi dan sejenisnya .
Selain sebagai lembaga baru superbody, OJK rawan menjadi pertarungan kepentingan politik. Dari nuansa isi dan cakupan RUU itu, terbentuknya OJK ini tampak sekali sebagai bentuk balas dendam terhadap kasus Bank Century. Layaknya pelampiasan dendam, OJK menjadi media untuk menghabisi peran Bank Indonesia (BI).
Dibandingkan dengan lembaga sejenis di beberapa negara, OJK punya cakupan pengaturan dan pengawasan yang jauh lebih luas. Di Amerika Serikat, fungsi itu diberikan kepada banyak lembaga, seperti Federal Reserve System (FED) dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk lembaga perbankan, Security and Exchange Commission (SEC) untuk pasar modal dan valuta, serta Commodity Future Trading Commission (CFTC) untuk perdagangan berjangka.
Di Inggris, Federal Supervisory Authority (FSA) hanya secara terbatas mengawasi dan mengatur kegiatan jasa keuangan mencakup perbankan, asuransi dan sekuritas. Demikian juga, BaFin di Jerman, yang lingkupnya hanya mengawasi jasa perbankan, asuransi, dan sekuritas.
Konflik Kepentingan
Yang mengejutkan, OJK selain bertugas mengawasi juga punya kewenangan mengatur, bukan sebatas membuat peraturan (Pasal 7 RUU). Berkaitan dengan industri perbankan misalnya, OJK akan mengambil alih tugas BI dalam mengatur dan mengawasi perbankan. Persoalannya menjadi ganjil ketika lembaga itu juga mengurusi perizinan pendirian, pembukaan kantor, anggaran dasar, rencana kerja, kepengurusan dan SDM, merger, konsolidasi dan akuisisi, serta pencabutan izin usaha industri perbankan.
Tentang pengaturan dan pengawasan, RUU itu tidak memuat pengaturan dan pengawasan kegiatan di pasar modal, pasar perdagangan berjangka, pengelolaan dana pensiun, pasar asuransi, pergadaian, dan lembaga pembiayaan. Kesannya, OJK nantinya lebih banyak mengatur kegiatan industri perbankan saja.
Terkait dengan keanggotaan, kelihatannya tidak ada yang luar bisa (Pasal 15 RUU). Namun nantinya komisioner OJK dipilih melalui DPR, sebagaimana komisioner berbagai komisi. Selain itu, tidak ada larangan bagi anggota parpol atau mantan narapidana yang pernah dihukum kurang dari 5 tahun untuk menjadi anggota komisioner.
Belajar dari berbagai akrobat yang dilakukan anggota DPR selama ini, apakah kita bisa memercayai bahwa perekrutan anggota komisioner lembaga sepenting itu terbebas dari tarik-menarik kepentingan? Tidakkah kekuatan-kekuatan modal dan politik berebut mendapat akses untuk ikut berperan dalam pengambilan keputusan mengendalikan dana dan modal di Indonesia?
Misalnya berkaitan dengan pemberian izin usaha atau penutupan usaha. Walaupun sudah ada studi objektif, siapa yang bisa menjamin bahwa pemberian izin atau penutupan usaha akan dilakukan secara objektif, jika di balik itu ada kekuatan politik atau modal besar yang memainkan peran. Ruang ini menjadi medan sangat rawan untuk berbagai negosiasi kepentingan jahat dan moral hazard yang mungkin secara legal tidak melanggar hukum.
Selain itu, ada aspek rawan yang lain, berkaitan dengan efektifitas kebijakan moneter dan stabilisasi perekonomian. Hubungan kelembagaan (Pasal 39 s.d. 48 RUU) memang sudah mengatur tata cara hubungan antarlembaga, khususnya antara OJK dan BI. Poin ini sangat krusial karena berkaitan dengan stabilitas moneter dan ekonomi.
Sesuai tugasnya, BI harus mampu menjaga stabilitas harga dan nilai tukar rupiah. Untuk mendung perannya, bank sentral itu harus punya informasi lengkap, akurat, terkini, dan kontinu mencakup semua lembaga keuangan, khususnya perbankan dan pasar modal. Bagaimana nantinya jika ada ketersendatan informasi dari OJK, mengingat hal itu pasti membawa bencana bagi perekonomian kita. ●
Selain sebagai lembaga baru superbody, OJK rawan menjadi pertarungan kepentingan politik. Dari nuansa isi dan cakupan RUU itu, terbentuknya OJK ini tampak sekali sebagai bentuk balas dendam terhadap kasus Bank Century. Layaknya pelampiasan dendam, OJK menjadi media untuk menghabisi peran Bank Indonesia (BI).
Dibandingkan dengan lembaga sejenis di beberapa negara, OJK punya cakupan pengaturan dan pengawasan yang jauh lebih luas. Di Amerika Serikat, fungsi itu diberikan kepada banyak lembaga, seperti Federal Reserve System (FED) dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk lembaga perbankan, Security and Exchange Commission (SEC) untuk pasar modal dan valuta, serta Commodity Future Trading Commission (CFTC) untuk perdagangan berjangka.
Di Inggris, Federal Supervisory Authority (FSA) hanya secara terbatas mengawasi dan mengatur kegiatan jasa keuangan mencakup perbankan, asuransi dan sekuritas. Demikian juga, BaFin di Jerman, yang lingkupnya hanya mengawasi jasa perbankan, asuransi, dan sekuritas.
Konflik Kepentingan
Yang mengejutkan, OJK selain bertugas mengawasi juga punya kewenangan mengatur, bukan sebatas membuat peraturan (Pasal 7 RUU). Berkaitan dengan industri perbankan misalnya, OJK akan mengambil alih tugas BI dalam mengatur dan mengawasi perbankan. Persoalannya menjadi ganjil ketika lembaga itu juga mengurusi perizinan pendirian, pembukaan kantor, anggaran dasar, rencana kerja, kepengurusan dan SDM, merger, konsolidasi dan akuisisi, serta pencabutan izin usaha industri perbankan.
Tentang pengaturan dan pengawasan, RUU itu tidak memuat pengaturan dan pengawasan kegiatan di pasar modal, pasar perdagangan berjangka, pengelolaan dana pensiun, pasar asuransi, pergadaian, dan lembaga pembiayaan. Kesannya, OJK nantinya lebih banyak mengatur kegiatan industri perbankan saja.
Terkait dengan keanggotaan, kelihatannya tidak ada yang luar bisa (Pasal 15 RUU). Namun nantinya komisioner OJK dipilih melalui DPR, sebagaimana komisioner berbagai komisi. Selain itu, tidak ada larangan bagi anggota parpol atau mantan narapidana yang pernah dihukum kurang dari 5 tahun untuk menjadi anggota komisioner.
Belajar dari berbagai akrobat yang dilakukan anggota DPR selama ini, apakah kita bisa memercayai bahwa perekrutan anggota komisioner lembaga sepenting itu terbebas dari tarik-menarik kepentingan? Tidakkah kekuatan-kekuatan modal dan politik berebut mendapat akses untuk ikut berperan dalam pengambilan keputusan mengendalikan dana dan modal di Indonesia?
Misalnya berkaitan dengan pemberian izin usaha atau penutupan usaha. Walaupun sudah ada studi objektif, siapa yang bisa menjamin bahwa pemberian izin atau penutupan usaha akan dilakukan secara objektif, jika di balik itu ada kekuatan politik atau modal besar yang memainkan peran. Ruang ini menjadi medan sangat rawan untuk berbagai negosiasi kepentingan jahat dan moral hazard yang mungkin secara legal tidak melanggar hukum.
Selain itu, ada aspek rawan yang lain, berkaitan dengan efektifitas kebijakan moneter dan stabilisasi perekonomian. Hubungan kelembagaan (Pasal 39 s.d. 48 RUU) memang sudah mengatur tata cara hubungan antarlembaga, khususnya antara OJK dan BI. Poin ini sangat krusial karena berkaitan dengan stabilitas moneter dan ekonomi.
Sesuai tugasnya, BI harus mampu menjaga stabilitas harga dan nilai tukar rupiah. Untuk mendung perannya, bank sentral itu harus punya informasi lengkap, akurat, terkini, dan kontinu mencakup semua lembaga keuangan, khususnya perbankan dan pasar modal. Bagaimana nantinya jika ada ketersendatan informasi dari OJK, mengingat hal itu pasti membawa bencana bagi perekonomian kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar