Selasa, 08 November 2011

Penyelamatan Eropa Lambat


Penyelamatan Eropa Lambat
A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK, UGM
Sumber : KOMPAS, 08 November 2011


Dunia kini dicekam kecemasan mengikuti perkembangan operasi penyelamatan ekonomi Eropa. Masalahnya, belum ada sebuah skema tertentu yang bisa diterima oleh negara-negara besar, yang cukup meyakinkan. Semua masih serba mencari-cari, ada unsur coba-coba, dan tetap menimbulkan kebingungan. Akibatnya, pasar didera ketidakpastian besar.

Inilah yang menyebabkan perekonomian dunia terombang-ambing. Kadang-kadang muncul harapan, tetapi sering kali datang kepanikan.

Secara substansial, permasalahannya sudah jelas, yakni beberapa negara Eropa mengalami ”besar pasak daripada tiang”. Pemerintah Yunani terpaksa berutang sekian lama akibat ingin memberikan pelayanan serta jaminan sosial dan kesehatan kepada masyarakat. Skema ini di Indonesia baru akan dimulai dengan lahirnya UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Ditambah belanja besar lain, termasuk menyelenggarakan Olimpiade 2004, akumulasi utang jadi kian berat. Puncaknya, sejak dua tahun terakhir, utang Pemerintah Yunani sudah mencapai 160 persen terhadap PDB. Hal yang sama terjadi di AS. Kombinasi besarnya beban jaminan sosial dan kesehatan, ditambah biaya perang di Timur Tengah, menyebabkan utang Pemerintah AS kini menyamai besaran PDB, sekitar 14,7 triliun dollar AS.

Masalahnya, bagaimana solusinya? Bagi AS, pilihan kebijakan sedikit lebih banyak dari Yunani. Selain karena skala kegentingannya agak sedikit lebih ringan (rasio utang terhadap PDB AS sedikit di atas 100 persen, sedangkan Yunani 160 persen), AS juga punya kemampuan ekonomi lebih baik. Misalnya, mereka berupaya menaikkan pajak penduduk kaya sehingga diharapkan terkumpul tambahan penerimaan pajak 1,5 triliun dollar AS.

Jika ini tercapai, perekonomian AS praktis selamat karena jumlah itu setara dengan defisit fiskal setahun. Pemerintah AS juga masih bisa mencari utang baru melalui penerbitan obligasi. Meski peringkat surat utangnya menurun, kepercayaan terhadap masa depan perekonomian AS masih tinggi.

Namun, bagaimana Yunani? Sebenarnya, skala utang Yunani relatif tidak besar, yakni 340 miliar euro. Bandingkan dengan utang AS yang sekitar 14,7 triliun dollar AS. Namun, jika dibandingkan penduduk Yunani yang 11 juta orang—sementara penduduk AS 312 juta orang—jumlah utang Yunani bisa dibilang lebih menakutkan.

Solusi terhadap Yunani adalah pemberian dana talangan berupa utang (bail out loans). Melalui fasilitas ini, setidaknya Pemerintah Yunani masih bisa menjalankan aktivitas fiskalnya, terutama membayar gaji pegawai. Dana talangan sudah diberikan dua kali, 110 miliar euro (Mei 2010) dan 109 miliar euro (Juli 2011).

Namun, Yunani masih perlu skema penyelamatan lain, misalnya dengan memberikan kelonggaran pada utangnya yang jatuh tempo. Karena itulah muncul ”skema radikal” berupa pemotongan utang Yunani. Bahkan, muncul ide pemotongan utang (haircut) hingga 50 persen. Meski termasuk radikal dan tak lazim, apa boleh buat, skema ini terpaksa dilakukan. Namun, di tengah-tengah upaya ini dilakukan, PM George Papandreou justru ingin melakukan referendum. Ia ingin bertanya kepada rakyatnya, apakah mereka menyetujui paket talangan.

Sikap ini membingungkan pasar. Sudah jelas Yunani perlu pertolongan, mengapa masih bertanya lagi? Barangkali Papandreou sedang mencoba mencari justifikasi secara politik. Ia perlu dukungan politik untuk memecahkan masalah ekonomi yang rumit. Kebijakan ini membuat marah para pemimpin Eropa. Karena tekanan yang kuat itulah Papandreou akan segera mengumumkan pengunduran dirinya segera (The Telegraph, 7/11/2011).

Menurut tajuk The Economist (29/10-4/11/2011), sebenarnya skema penyelamatan dengan memangkas utang Yunani secara besaran masih bisa diterima alias masuk akal. Para kreditor Yunani sesungguhnya bersepakat, Yunani harus diselamatkan meski harus dikompensasi dengan sejumlah ongkos tertentu. Ongkos itu berupa pemangkasan utang. Namun, masalahnya, jika haircut dilakukan, akan segera menular ke negara-negara yang nasibnya sama. Pada saat ini sudah mengantre ”pasien” dengan utang yang akut, yakni Irlandia, Portugal, Italia, dan Spanyol. Jika mereka juga serentak minta pemangkasan utang, apa yang terjadi?

Saat ini dana yang dihimpun oleh zona euro untuk mengatasi krisis ekonomi (the European Financial Stability Facility) adalah 440 miliar euro. Jumlah ini memadai jika pasiennya hanya Yunani. Namun, pasti tidak cukup jika pasiennya bertambah.

Selain itu, juga akan timbul komplikasi lain. Jika Yunani mengalami gagal bayar (default), akan memicu masalah pada asuransi obligasi, yakni credit-default swaps. Pasar akan mengalami kekacauan karena ini merupakan pengalaman baru, yang belum teruji. Investor akan panik dan merasa tak terproteksi. Respons dari para investor bisa tak terduga. Dalam keadaan ini, negara-negara emerging markets seperti Indonesia akan terkena imbasnya, berupa membanjirnya dana asing masuk.

Hal ini sepintas tampak positif karena bisa menggelembungkan cadangan devisa dan memperkuat rupiah. Namun, hot money semacam ini amat rentan terhadap guncangan-guncangan kecil dan besar yang akan terjadi selanjutnya. Indonesia menjadi cenderung tidak stabil.

Berita terakhir menyatakan, KTT G-20 di Cannes, Perancis (4/11/2011), menolak berkomitmen memberikan talangan dan malah mendesak negara-negara Eropa mengatasi sendiri masalahnya. Sikap ini tampaknya merespons belum adanya skema penyelamatan yang jelas bagi Yunani.

Tampaknya jalan masih cukup terjal bagi penyelesaian krisis Eropa. Namun, mestinya sudah dipegang satu kesimpulan bahwa krisis Yunani tak boleh dipandang enteng dan harus segera diselamatkan secara kolektif. Bukan cuma Eropa, melainkan juga kawasan lain, termasuk emerging economies yang menonjol, seperti China dan Brasil, harus ikut membantu. Krisis Yunani tak bisa diisolasi, bisa menular cepat ke mana pun.

Bagi Indonesia, krisis Eropa akan berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah menargetkan pertumbuhan 6,7 persen pada 2012, tampaknya perlu dikoreksi jadi 6,3 persen. Sebagaimana disampaikan Profesor Nouriel Roubini (New York University), Indonesia diuntungkan kekuatan konsumsi domestik. Dengan penduduk 240 juta orang dan daya beli per kapita 3.000 dollar AS, perekonomian masih akan tumbuh positif. Namun, ini janganlah membuat pemerintah lengah. Stimulus fiskal berupa belanja barang harus terus dinaikkan. APBN tak boleh lagi terlalu banyak menyisakan dana tak terserap. Inilah salah satu kelemahan terbesar pemerintah saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar