Selasa, 08 November 2011

Bahaya Kecanduan Televisi


Bahaya Kecanduan Televisi
Jeffrey D. Sachs, GURU BESAR EKONOMI DAN EARTH INSTITUTE PADA COLUMBIA UNIVERSITY
Sumber : KORAN TEMPO, 08 November 2011


Selama separuh abad terakhir ini kita telah menyaksikan maraknya media massa elektronik. Televisi telah membentuk ulang masyarakat di setiap penjuru dunia. Sekarang terjadi ledakan perangkat media yang baru mengikuti jejak pesawat TV: DVD, komputer, game box, smart phone, dan banyak lagi. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa proliferasi media ini membawa banyak dampak yang buruk.

Amerika Serikat memimpin dunia memasuki abad televisi ini, dan implikasinya bisa dilihat paling jelas pada jatuh cintanya Amerika yang lama kepada apa yang dinamakan oleh Harlan Ellison sebagai “the glass teat”, atau puting susu layar kaca. Pada 1950, tidak lebih dari 8 persen rumah tangga di Amerika memiliki pesawat TV. Menjelang 1960, jumlahnya sudah mencapai 90 persen. Di negaranegara lain, tingkat penetrasi sebesar ini memakan waktu puluhan tahun lebih lama, sementara negara-negara miskin belum sampai pada tingkat tersebut.

Sampai saat ini Amerika mungkin masih merupakan negeri pemirsa TV terbesar di dunia, walaupun data yang ada masih tidak jelas dan tidak lengkap. Bukti yang terkuat menunjukkan bahwa rakyat Amerika rata-rata menghabiskan waktu lebih dari lima jam sehari menonton TV suatu angka yang luar biasa, mengingat beberapa jam lagi juga mereka habiskan di depan perangkat video-streaming lainnya. Negara-negara lain di dunia mencatat jam menonton TV yang jauh lebih rendah. Di Skandinavia, misalnya, waktu yang dihabiskan rakyat di kawasan itu ternyata hanya sekitar separuh dari waktu yang rata-rata dihabiskan warga Amerika.

Konsekuensi dari semua ini bagi masyarakat Amerika sangat dalam, meresahkan, dan harus menjadi peringatan bagi negara-negara lainnya di dunia, walaupun peringatan ini mungkin terlambat untuk didengar dan dipatuhi. Pertama, menonton TV secara berlebihan itu tidak banyak membawa kepuasan hati. Banyak survei yang menunjukkan
menonton TV itu hampir sama dengan kecanduan yang memberi manfaat sesaat, tapi berujung dalam jangka panjang pada ketidakbahagiaan dan penyesalan. Para pemirsa seperti ini mengatakan mereka sebenarnya lebih suka mengurangi waktu di depan pesawat TV daripada seperti yang mereka lakukan sekarang.

Lagi pula, menonton TV yang berlebihan itu menyumbang kepada fragmentasi sosial. Waktu yang biasanya dihabiskan bersama-sama dalam masyarakat sekarang dihabiskan nyaris seorang diri di depan pesawat TV. Robert Putnam, ilmuwan Amerika yang meneliti turunnya rasa bermasyarakat ini, mengatakan menonton TV merupakan penyebab utama turunnya modal sosial (social capital), rasa saling percaya yang menyatukan masyarakat. Rakyat Amerika sekarang kurang memiliki rasa saling percaya satu sama lain dibanding satu generasi yang lalu. Sudah tentu, banyak juga faktor lainnya, tapi peran TV dalam hal ini tidak bisa dikucilkan artinya.

Jelas, menonton TV secara berlebihan tidak baik bagi kesehatan fisik dan mental seseorang. Amerika memimpin dalam jumlah warganya yang menderita obesitas
di dunia. Sekitar dua pertiga rakyat Amerika sekarang kelebihan berat badan. Sekali lagi, banyak faktor yang berperan dalam hal ini, termasuk asupan makanan gorengan yang murah dan tidak sehat, namun waktu yang dihabiskan duduk di depan TV merupakan pengaruh yang penting juga.

Pada saat yang sama, apa yang terjadi secara mental sama pentingnya dengan apa yang terjadi secara fisik. Televisi dan media yang terkait dengannya telah menjadi alat
penyebar propaganda korporat dan politik di dalam masyarakat.

Stasiun TV di Amerika hampir semuanya milik swasta, dan para pemilik ini banyak mengeruk untung dari iklan-iklan yang terus menerus dipompakan ke dalam masyarakat. Iklan-iklan yang efektif, yang memicu dorongan-dorongan bawah sadar—umumnya yang terkait dengan makanan, seks, dan status—telah menciptakan ketagihan akan produk dan belanja yang tidak punya nilai yang riil bagi konsumen atau masyarakat.

Hal yang sama, sudah tentu, berlaku juga di bidang politik. Para politikus Amerika sekarang menjadi merek-merek terkenal (brand names), yang dikemas seperti hidangan sarapan pagi. Setiap orang, dan setiap ide, bisa dijual dengan kemasan yang menarik dan jingle yang memikat.

Semua jalan menuju kekuasaan di Amerika ditempuh lewat TV, dan semua akses TV bergantung pada uang banyak (big money). Logika yang sederhana ini telah semakin kuat menempatkan politik di Amerika dalam tangan orang-orang kaya.

Bahkan perang pun dapat dikemas sebagai produk baru. Pemerintahan Bush mempromosikan alasan dilancarkannya perang Irak—senjata pemusnah yang katanya dimiliki Saddam Hussein, tapi yang nyatanya tidak ada sama sekali—dengan gaya iklan TV yang akrab, memikat, cepat, dan sarat grafik. Kemudian perang itu sendiri dimulai
dengan apa yang dinamakan shock and wave bombing, dihujaninya Bagdad dengan
bom-bom yang memberi kejutan dan menimbulkan kekaguman, suatu hidangan pemandangan yang khusus dibuat khusus untuk TV. Dan peristiwa invasi yang
dipimpin AS itu meraih rating yang tinggi.

Banyak neurolog yakin bahwa efek menonton TV terhadap kesehatan mental mungkin lebih parah daripada kecanduan, konsumerisme, hilangnya rasa saling percaya antar-masyarakat, dan propaganda politik. Mungkin TV telah mengacaukan otak pemirsa itu dan merusak kapasitas kognitifnya. American Academy of Pediatrics baru-baru ini memperingatkan bahwa menonton TV secara berlebihan, seperti yang dilakukan anak-anak, berbahaya bagi perkembangan otak mereka, dan lembaga itu menyeru para orang tua agar menjauhkan anak-anak di bawah usia dua tahun dari TV dan media serupa.

Survei yang baru-baru ini dilakukan di AS oleh organisasi Common Sense Media mengungkapkan paradoks yang sebenarnya bisa dipahami. Anak-anak dalam keluarga miskin di Amerika sekarang bukan saja lebih banyak menonton TV daripada anak-anak dalam keluarga kaya, tapi juga mungkin sekali punya TV sendiri dalam kamarnya. Ketika konsumsi suatu komoditas berkurang, sementara pendapatan meningkat, ekonom menyebutnya sebagai komoditas itu yang “inferior”.

Yang pasti, media massa bisa berguna sebagai penyalur informasi, pendidikan, hiburan, dan bahkan kesadaran politik. Tapi terlalu banyak media itu bakal
menghadapkan kita pada bahaya yang seharusnya kita hindari. Setidaknya kita bisa meminimalkan bahaya itu. Pendekatan yang berhasil dilakukan di seantero dunia termasuk membatasi iklan TV, terutama yang ditujukan kepada anak-anak; adanya jaringan TV non-komersial milik publik seperti BBC, dan waktu siaran TV yang bebas (tapi dibatasi) untuk kampanye politik.

Sudah tentu, benteng yang terbaik adalah kontrol diri kita sendiri. Kita semua bisa membebaskan diri dari TV beberapa jam lebih lama per hari dan menghabiskan waktu itu dengan membaca, bertukar pikiran dengan masyarakat, dan membangun kembali basis social trust serta kesehatan diri kita sendiri.  HAK CIPTA: PROJECT SYNDICATE, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar