"Antihero"
Budiarto Shambazy, WARTAWAN KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 12 November 2011
Salah seorang Pahlawan Nasional, Syafruddin Prawiranegara, pernah jadi presiden. Kelahiran Serang, 28 Februari 1911, yang wafat dalam usia 77 tahun ini, adalah Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia saat pemerintah jatuh ke tangan Belanda saat agresi Desember 1948.
Penetapan gelar Pahlawan Nasional untuk Syafruddin membuka peluang meluruskan sejarah kepresidenan kita. Syafruddin presiden kedua setelah Soekarno yang memimpin PDRI sejak Desember 1948 sampai Juli 1949.
Jangan lupa, ada pula yang ketiga, yakni Pejabat Presiden Asaat Datuk Mudo yang memerintah Desember 1949 sampai Agustus 1950. Jika merujuk kepada fakta-fakta sejarah ini, kita sudah dipimpin oleh delapan—bukan enam—presiden.
Seperti biasa, muncul pro dan kontra tentang pemberian gelar Pahlawan Nasional. Keluarga, kerabat, dan pendukung Soeharto dan Abdurrahman Wahid kembali kecewa karena untuk kesekian kalinya gagal memperoleh gelar bergengsi itu.
Pemberian gelar ini telanjur menjadi isu politik yang pelik, yang bukan sekadar jadi kepentingan keluarga, kerabat, dan pendukung saja. Ia bukan tak mungkin melibatkan pula kepentingan penguasa, partai, provinsi, dan juga SARA.
Ia jadi isu politik karena ada pula berbagai syarat perundangan dan birokratis yang membuat penetapannya makin mengernyitkan dahi. Misalnya syarat yang bersangkutan harus dicalonkan provinsi atau butuh pengakuan tertulis para saksi.
Betapapun, kurang pas menyalahkan pemerintah dalam penetapan gelar-gelar karena faktor subyektivitas tetap ada. Kontroversi penetapan gelar-gelar di zaman Orde Lama mungkin belum terlalu pelik karena republik masih muda dan yang ditetapkan masih sedikit.
Namun, kontroversi itu menjadi-jadi sejak masa Orde Baru. Di satu pihak ada mereka yang dicabut gelarnya karena faktor-faktor politis, di lain pihak juga terdapat kesan begitu mudahnya ”mengobral” gelar untuk siapa saja.
Pertanyaan yang menggelitik saat merayakan Hari Pahlawan 10 November adalah mengapa kita butuh pahlawan? Salah satu jawabannya adalah pahlawan inspirasi bagi kita semua ketika sendi- sendi kehidupan semakin keropos.
Suasana batin itulah yang dirasakan bersama sejak kita memasuki era Reformasi 1998. Bagi sebagian kita, pahlawan kita saat ini para atlet SEA Games yang penyelenggaraannya baru saja dibuka resmi kemarin. Mereka menyandang beban membangkitkan kembali prestasi olahraga kita yang terpuruk di ajang SEA Games sejak tahun 1999, setahun setelah Reformasi.
Beban para atlet semakin berat karena dana SEA Games dikorupsi sehingga persiapan penyelenggaraan mengundang tanda tanya. Kira-kira apa yang bakal terjadi andai mereka gagal?
Kemungkinan besar kita tentu kecewa, dan bukankah kita sudah berulang kali dikecewakan oleh para ”pahlawan” selama era Reformasi?
Kita mengira Badu pemimpin yang mengayomi, ternyata ia cuma memperkaya diri. Kita menyangka Polan punya nurani, tetapi belakangan ketahuan ia ternyata tak punya hati.
Kita mengharapkan kedatangan Satrio Piningit atau Ratu Adil. Namun, yang kita sambut hanya pemimpin yang merasa bak raja.
Kita memang menyambut kelahiran presiden, menteri, gubernur, wali kota, sampai bupati yang ”istimewa”. Kita tak menyadari mereka cuma manusia biasa saja, yang tampak amat menonjol karena di zaman acakadut ini.
Itu salah kita sendiri karena sekarang ini memang bukan lagi zaman pahlawan, tetapi zaman ”antihero”. Ya, di negeri ini makin hari makin banyak antipahlawan.
Antihero adalah figuran-figuran yang merasa larger than life. Mereka merasa lebih atraktif, lebih kuat, lebih berani, lebih pandai, dan lebih karismatis dibandingkan kita manusia biasa.
Tak sukar mengenali mereka karena mereka tampil setiap hari di media massa. Mereka hanya jago berbicara tentang semua perkara, kecuali urusan yang justru jadi tanggung jawabnya.
Dan, jika belajar dari Syafruddin atau Assat atau para pendiri republik, kita butuh kepemimpinan karismatis. Sayangnya, karisma merupakan bakat yang hanya dipunyai pemimpin besar macam Adolf Hitler, Martin Luther King, Winston Churchill, Fidel Castro, Nelson Mandela, atau Evita Peron.
Di negeri ini pemimpin karismatis adalah the founding fathers pasca-kemerdekaan. Mereka mempunyai karisma bagaikan sumber mata air bening yang tidak habis-habisnya.
Karisma membujuk, tidaklah memaksa. Menurut Joseph Nye dalam buku The Powers to Lead, karisma bersumber dari individu, para pengikutnya, dan situasi masyarakatnya. Sosiolog Max Weber mengatakan, karisma merepresentasikan cita-cita yang bisa diaplikasikan.
Kita butuh kepemimpinan, bukan kepahlawanan. Kita butuh keteladanan, bukan kepahlawanan.
Apakah asumsi ini kiranya berlebihan? Rasanya tidak karena kita memang tak lagi punya panutan.
Tak ada pemimpin yang bisa dijadikan sebagai panutan untuk hal-hal yang bersifat keseharian. Tak ada pemimpin bergagasan besar yang sanggup melahirkan kebangkitan serta kedaulatan.
Kalau antipahlawan, kita tidak akan pernah kekurangan. Mereka ibaratnya mati satu tumbuh seribu dan akan selalu tetap menggiring kita tersesat masuk ke hutan.
Maaf, di negeri ini memang nyaris tak ada lagi pahlawan. Saya kasihan kepada siapa pun yang akan memimpin tahun 2014 karena negeri ini selama sekitar tujuh tahun terakhir makin berantakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar