Redefinisi Pahlawan
Donny Syofyan, DOSEN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
Sumber : KORAN TEMPO, 12 November 2011
Saban tahun kita memperingati Hari Pahlawan pada 10 November. Tanggal ini merujuk pada pertempuran arek-arek Surabaya pada 1945 antara tentara Indonesia dan tentara
Belanda, atau Nederlandsch Indie Civil Administratie, dengan dukungan dari tentara Inggris. Pertempuran ini dianggap sebagai pertempuran terberat revolusi dan menjadi simbol nasional perlawanan Indonesia.
Tokoh paling terkenal yang memimpin pertempuran ini adalah Bung Tomo. Beliau memainkan peran penting dalam pertempuran Surabaya itu. Ia terkenal dengan pidatonya yang berapi-api, yang disiarkan lewat siaran radio. Baru pada 2008, 27 tahun setelah kematiannya, atau 63 tahun setelah terjadinya pertempuran Surabaya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Tomo. Sungguh disayangkan pahlawan nasional sering tidak mendapatkan respek dan pengakuan yang selayaknya mereka terima.
Bagi sebagian kita, Hari Pahlawan hanyalah salah satu dari sekian perayaan besar atau hari libur nasional pada kalender tahunan. Sungguh mengejutkan bahwa Hari Pahlawan yang dirayakan setiap tahun esensinya sudah mulai dilupakan. Semuanya hanya sebatas seremonial untuk tujuan yang sudah dilupakan. Foto-foto legendaris para pahlawan bangsa hari ini hanya dibuat khusus untuk pamflet, poster, atau leaflet.
Semuanya sepakat Hari Pahlawan seyogianya menanamkan rasa dan semangat patriotisme yang tinggi.Tapi pernahkah kita berpikir sejenak bagaimana melelahkan dan menyiksanya situasi pada malam pertempuran Surabaya 66 tahun yang lalu. Apakah kita punya ide dan narasi yang tepat tentang pengorbanan rakyat dan tentara kita serta strategi brilian Bung Tomo dalam pidatonya kepada rakyat Indonesia sewaktu itu? Masihkah kita memiliki keterkaitan jiwa dengan saudara kita yang wafat pada 10 November tersebut? Terus terang kita belum bergerak jauh dan lebih mendalam dalam
pengakuan dan apresiasi terhadap pengorbanan pahlawan tanpa tanda jasa dalam pertempuran Surabaya.
Pada saat ini, kita perlu menyadari banyak pahlawan lain yang sama pantasnya mendapatkan rasa hormat dan penghargaan kita, seperti kaum manula. Menghormati
mereka akan membantu kita menghargai sejarah kita sendiri. Meninggalkan mereka berarti meninggalkan sejarah dan identitas kita. Pemerintah, melalui Kementerian sosial, perlu menciptakan sebuah program keluarga untuk manula yang serius dan intensif. Ini untuk menjamin para warga senior selalu diperhatikan, seraya pada saat yang sama mendorong keterlibatan keluarga, masyarakat, dan relawan. Program ini sejalan dengan Madrid International Plan tentang para manula, yang memuat sejumlah
tujuan dan komitmen, seperti memastikan para manula betul-betul menerima bantuan keuangan yang memadai serta memiliki hak atau akses yang sama pada pelayanan sosial.
Target lainnya dalam Madrid International Plan adalah penghapusan diskriminasi berbasis gender dan penyediaan kesempatan pengembangan individu, pemenuhan
diri, dan kesejahteraan seumur hidup. Ini bisa diraih, misalnya, lewat akses pada pembelajaran seumur hidup dan partisipasi dalam masyarakat. Masyarakat perlu mengakui para manula bukanlah kelompok yang homogen. Mereka perlu mendapatkan jaminan sosial. Untuk itu, Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial II yang baru saja disahkan, yang salah satunya mencakup jaminan hari tua dan orang-orang tua, perlu dibuktikan sebagai salah satu bukti keseriusan pemangku kuasa negeri ini dalam menghargai para “pahlawan keramat” yang bernama manula. Diharapkan program demikian akan memberi kesempatan kepada warga tua berbaur satu sama
lain dan beroleh manfaat produktif lewat buku-buku atau pendidikan formal. Harus ada kesadaran bahwa para manula sebetulnya bagian dari sumber daya yang juga dihargai.
Hanya, setiap upaya menghormati para pahlawan menjadi sia-sia karena batu sandungan kecil, yaitu para politikus busuk. Rekayasa sosial untuk mencetak para pahlawan kontemporer akan mustahil tatkala banyak orang hanya sibuk berpolitik pamrih. Lebih-lebih energi habis untuk persoalan pemilihan umum. Pahlawan tidak dipilih. Pemilu tidak akan pernah melahirkan seorang pahlawan yang akan menyelamatkan bangsa ini. Krisislah yang melahirkan seorang pahlawan. Seorang reformis pun, jika berkata “ya” demi mendapatkan kursi kekuasaan dalam pelbagai kampanye, akan mengalami reduksi menjadi politikus kesiangan sehingga menghancurkan reputasi yang telah dibangun selama ini.
Menjelang Pemilu 2014, fenomena ini amat kentara pada saat banyak politikus atau pemimpin partai politik yang sudah mengkader putra dan putrinya sebagai calon anggota legislatif. Mereka menempatkan anggota keluarga mereka tersebut secara sengaja di puncak daftar calon untuk mengamankan kursi mereka pada pemilu mendatang. Para politikus lebih suka membangun dinasti politik untuk menyenangkan
konstituen mereka, sedangkan para pahlawan hadir untuk memperkuat orang lain. Mereka mentransformasikan dedikasi mereka kepada lingkungan sekitar serta menyalurkan energi kepahlawanan dalam diri mereka melalui keberanian dan pengorbanan yang luar biasa. Pahlawan kerap lahir di bawah tekanan peperangan dan kerusakan budaya. Mereka tak akan memilih sebagai politikus culas, kecuali bila mereka tunduk pada negosiasi rendahan dan pragmatisme palsu.
Sebetulnya masih ada waktu bagi politikus menjadi pahlawan—merayap dari zero ke hero. Apa yang harus mereka lakukan adalah menyerap integritas sebagai standar kolektif dan menjunjung kehormatan sebagai hak-hak dasar rakyat. Pemerintah, politikus, dan masyarakat perlu menyadari bahwa bangsa ini memiliki musuh bersama: kejahatan dalam berbagai bentuk. Bangsa ini tidak bisa lagi bergerak menuju titik balik lewat konflik atau anarki. Semangat heroisme mengharuskan semua warga menemukan kekuatan dalam solidaritas bersama, visi bersama, dan tindakan kolektif yang agung, yang menghajatkan loyalitas bersama tanpa pamrih.
Justru pada saat sekarang, kita memerlukan pahlawan yang tidak harus berani mati seperti Bung Tomo, tapi juga berani memberi kesaksian kebenaran seperti almarhum
W.S. Rendra, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer,Wiji Thukul, atau Munir. Mereka semua para pahlawan yang kebesarannya terletak pada bela rasa (compassion) yang mereka punyai. Negara ini masih terseok-seok menjadi sebuah negara besar, karena mereka yang memegang posisi kunci tidak tersentuh hatinya oleh karya orang besar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar