Jumat, 17 Mei 2013

Tujuh Tahun Kasus Lapindo dan Pencapresan Ical


Tujuh Tahun Kasus Lapindo dan Pencapresan Ical
Bawono Kumoro Peneliti Politik The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 16 Mei 2013

Dalam sebuah forum kuliah umum Soegeng Sarjadi Syndicate bertajuk "Mendengar Suara Rakyat: Menuju 2014”, Senin (29/4) lalu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) dengan penuh rasa percaya diri mengatakan kasus lumpur Lapindo tidak memiliki dampak besar terhadap elektabilitas dirinya sebagai calon presiden (capres).

Lebih lanjut, Ical mengatakan jika gangguan penayangan Indonesia Super League (ISL) di TV One dan ANTV –dua stasiun televisi milik kelompok usaha Bakrie– jauh lebih membawa dampak besar terhadap elektabilitas dirinya ketimbang kasus Lapindo.

Ical mengklaim saat urusan ISL dapat diselesaikan begitu banyak orang yang mengucapkan terima kasih dibandingkan jika dirinya menyelesaikan kasus lumpur Lapindo.

Sekilas pernyataan itu terdengar biasa saja. Akan tetapi, jika kita telaah lebih jauh pernyataan itu mengandung arogansi politik tersendiri.

Dengan mengatakan kasus lumpur Lapindo tidak memiliki dampak besar terhadap elektabilitas dirinya sebagai calon presiden ketimbang gangguan penayangan ISL di TV One dan ANTV, Ical seakan hendak menunjukkan kepada publik kasus lumpur Lapindo bukanlah masalah besar dan penting untuk segera diselesaikan.

Lebih dari itu, Ical juga hendak mengirimkan pesan politik jika pencalonan dirinya dalam pemilihan presiden mendatang tidak menghadapi tantangan berarti. Namun, benarkah demikian?

Jika kita amati secara saksama dinamika internal Partai Golkar selama satu tahun terakhir ini sesungguhnya telah muncul benih-benih perlawanan terhadap pencalonan Ical. Benih-benih perlawanan itu terutama disemai Akbar Tandjung selaku ketua dewan pembina partai. Dalam sejumlah kesempatan Akbar Tandjung meminta Partai Golkar melakukan evaluasi terhadap pencalonan Ical.

Permintaan itu didasarkan pertimbangan tingkat popularitas Ical yang tidak kunjung mengalami kenaikan signifikan. Bahkan, Ical tidak masuk dalam jajaran capres dengan peringkat terbaik hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai kualitas personal capres.

Sebagaimana diketahui bersama LSI telah merilis hasil survei mengenai kualitas personal capres. Survei itu menggunakan 223 (pengemuka pendapat) opinion leader sebagai responden. Mereka diminta menilai kualitas personal tokoh-tokoh yang diperkirakan maju dalam kontestasi pemilihan presiden tahun 2014.

Lima tolok ukur penilaian itu adalah: (1) Kemampuan memimpin negara dan pemerintahan; (2) Tidak melakukan atau diopinikan melakukan korupsi kolusi nepotisme; (3) Tidak melakukan atau diopinikan melakukan pelanggaran hak asasi manusia; (4) Jujur, amanah, dan dapat dipercaya, dan (5) Mampu berdiri di atas semua kelompok atau golongan.

Permintaan Akbar Tandjung agar Partai Golkar melakukan evaluasi terhadap pencalonan Ical tentu tidak dapat dipandang sebelah mata mengingat rekam jejaknya sebagai politikus senior dan mantan ketua umum Partai Golkar di masa-masa awal reformasi yang penuh turbulensi politik. Dapat dipastikan mantan ketua umum PB HMI itu masih memiliki basis massa dan pendukung loyal di tingkat akar rumput partai.

Resistensi Eksternal

Selain menghadapi adangan dari lingkungan internal partai, Ical juga dihadapkan pada resistensi eksternal. Kasus utama dari sebab munculnya resistensi eksternaltersebut adalah kasus lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Kasus lumpur Lapindo bermula pada 29 Mei 2006 akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas milik kelompok usaha Bakrie.

Kasus lumpur Lapindo telah menyebabkan lebih dari ratusan hektare wilayah permukiman tenggelam. Sudah tak terhitung lagi kerugian materi maupun nonmateri yang timbul akibat bencana tersebut. Meskipun sudah tujuh tahun berlalu proses ganti rugi seakan berjalan di tempat tanpa kemajuan signifikan.

Dengan segala kontroversi yang melekat pada dirinya, popularitas Ical memang terasa cukup sulit untuk dikerek dengan cepat dalam jangka waktu dua tahun. Ical memang memiliki modal mumpuni berupa kendaraan politik sekelas Partai Golkar.

Namun, modal kendaraan politik saja tidak cukup untuk memenangi kontestasi pemilihan presiden tahun 2014. Apalagi saat ini Ical sedang menghadapi adangan serius dari lingkungan internal Partai Golkar.
Patut diingat bahwa di era pemilihan presiden secara langsung seperti saat ini tingkat popularitas seorang kandidat juga memainkan peran penting dalam menentukan hasil akhir dari sebuah kontestasi pemilihan presiden secara langsung. Jika seorang kandidat memiliki tingkat popularitas yang tinggi di mata publik, hampir dapat dipastikan ia memiliki tingkat keterpilihan yang tinggi pula.

Fenomena kemunculan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi bukti konkret hal itu. Pada Pemilu 2004, Partai Demokrat selaku pendukung utama SBY hanya memperoleh suara sebesar 7,45 persen sehingga secara matematis peluang SBY untuk menduduki kursi kepresidenan pun kecil. 

Namun, realitas politik berbicara lain. Pada pilpres putaran kedua SBY berhasil meraup suara 60,62 persen.
Hal serupa kembali terjadi lima tahun kemudian. SBY berhasil tampil sebagai pemenang pilpres hanya dalam satu putaran dengan perolehan suara 60,80 persen, jauh melampaui perolehan suara Partai Demokrat sebesar 20,85 persen.

Selain soal popularitas seorang calon presiden, mutlak juga harus disukai para calon pemilih. Mungkin saja sebagian besar masyarakat mengenal nama Ical, tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian apakah pengenalan publik terhadap Ical berada dalam konteks citra positif atau citra negatif? Di tingkat ini Ical akan menghadapi hambatan serius.

Satu pelajaran penting bagi para tokoh yang ingin ambil bagian dalam kontestasi pemilihan presiden 2014 adalah keharusan memperhatikan penilaian publik terhadap diri mereka. Tingkat popularitas dan kesukaan inilah yang kelak akan memengaruhi tingkat elektabilitas seorang kandidat.

Logikanya, jika seorang kandidat pada tingkat popularitas saja sudah anjlok tentu akan sangat sulit untuk mendongkrak tingkat elektabilitas. Dukungan politik yang mumpuni dari partai politik tidak lagi menjadi faktor penentu bagi kemenangan seorang kandidat dalam era pemilihan langsung seperti saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar