|
SUARA
MERDEKA, 16 Mei 2013
MENDIKBUD M Nuh telah memenuhi
janjinya pada 13 Mei lalu mengumumkan penyebab kisruh dalam ujian nasional
(UN). Dia menyebut, selain manajemen internal yang kurang sinergis dan
kemenipisan sense of crisis, kisruh itu dipicu oleh ketidaksensitifan Kemenkeu
bahwa momentum itu adalah hal yang sangat penting dan perlu kesiapan matang
dalam waktu relatif panjang.
Ia juga mengungkapkan waktu pencairan dana sangat mepet, hanya sekitar 2 bulan, padahal seharusnya lebih awal supaya langkah persiapannya bisa lebih baik. Terkait dengan masalah manajemen internal, ia mempersoalkan waktu penyerahan naskah soal yang sangat mepet ke percetakan.
Dalam kasus itu, tentu yang paling terkena adalah Kepala Balitbang Kemendikbud Khairil Anwar Notodiputro. Itulah sebabnya, ia memilih mengundurkan diri dari jabatan. Tapi banyak pihak merasa tak puas atas hasil investigasi tersebut, karena tidak sedikit dari mereka berharap hasil dari investigasi itu adalah Mendikbud harus dinyatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab.
Paling tidak harapan itu bisa dirunut dari beberapa pendidik yang menyatakan bahwa sangat tidak pantas ketika kisruh itu terjadi. Itu sebabnya, Khairil Anwar dianggap sebagai tumbal. Hal itu bisa dimaklumi, mengingat pada era M Nuh tuntutan pada pendidikan sangat tinggi sehingga tidak ada tempat bagi tenaga pendidik yang santai dan bermalas-malasan. Maka, ketika momentum ada, hal itu adalah celah besar untuk menyerang sang Menteri.
Terlepas dari persoalan hasil invertigasi yang membuat Khiaril Anwar harus lengser, UN yang selama ini dianggap sebagai tolok ukur kebermutuan pendidikan memang harus dievaluasi. Hal itu mengingat kengototan terhadap penyelenggaraaan ujian secara tidak langsung telah menganggap pembinaan yang semestinya jadi tolok ukur, sebagai sesuatu yang tidak berguna selain sebagai tuntutan administrasi yang diamanatkan perundang-undangan. Pembinaan dimaksud tidak lain adalah akreditasi.
Dengan kata lain, jika UN masih dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur mutu pendidikan, akreditasi tak banyak mendatangkan kemaslahatan. Sementara untuk akreditasi pun diperlukan dukungan sumber dana dan SDM unggul. Bila sebuah sekolah telah memiliki dua dukungan itu dan kemudian dari proses akreditasi, semisal memperoleh A, pertanyaannya adalah apa nilai A itu jika kemudian dipenggal secara membabi-buta dan disamakan dengan sekolah yang akreditasinya di bawah A, menjadi malah tidak terakreditasi sama sekali.
Sebuah sekolah mencapai akreditasi A tentu berdasarkan penilaian seksama oleh para assessor. Seharusnya nilai A sangat terkait dengan mutu. Lantas, jika masih diujinasionalkan, apa makna hasil akreditasi itu. Sebaiknya UN diperuntukkan bagi sekolah yang tidak berakreditasi, baik negeri maupun swasta, sebagai pelecut agar mau meningkatkan mutu. Hal itu, tentu lebih masuk akal, atau sama sekali tak ada akreditasi agar semua sekolah ditentukan lewat satu tolok ukur tunggal, yaitu UN.
Pengawasan Baik
Itu jika bangsa ini akan dikelola dengan pola nalar yang logis, mengingat sudah ada akreditasi, tapi juga ada ujian nasional, dan ini nalar yang tidak logis. Paling tidak ketidaklogisan itu ada pada akreditasi itu, karena terbukti tidak mendatangkan manfaat. Untuk ukuran kepercayaan, sama-sama tidak dipercaya lantaran masih ’’dirampas’’ oleh ujian nasional. Makin terlihat tidak logis ketika murid SD/ MI harus menempuh ujian nasional, seperti siswa SMP/ MTs dan SMA/ MA.
Bagi para siswa, penyelenggaraan ujian nasional, selain mengabaikan akreditasi juga berlawanan dengan peraturan yang menetapkan Wajib Belajar (wajar) 9 Tahun. Bagaimana bisa 9 tahun itu berjalan dengan baik, jika akan melangkah ke level 7 saja sudah diganjal ujian nasional.
Seharusnya, sesuai namanya, siswa tidak perlu ada hambatan ke jenjang level 7 mengingat itu kemauan negara. Realitasnya malah sebaliknya, negara bernafsu untuk memenggal harapan mereka. Tidak usahlah mempersoalan akreditasi yang memang telah membuat nalar pendidikan tidak logis, sesuatu yang wajib saja masih dikesampingkan.
Ia juga mengungkapkan waktu pencairan dana sangat mepet, hanya sekitar 2 bulan, padahal seharusnya lebih awal supaya langkah persiapannya bisa lebih baik. Terkait dengan masalah manajemen internal, ia mempersoalkan waktu penyerahan naskah soal yang sangat mepet ke percetakan.
Dalam kasus itu, tentu yang paling terkena adalah Kepala Balitbang Kemendikbud Khairil Anwar Notodiputro. Itulah sebabnya, ia memilih mengundurkan diri dari jabatan. Tapi banyak pihak merasa tak puas atas hasil investigasi tersebut, karena tidak sedikit dari mereka berharap hasil dari investigasi itu adalah Mendikbud harus dinyatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab.
Paling tidak harapan itu bisa dirunut dari beberapa pendidik yang menyatakan bahwa sangat tidak pantas ketika kisruh itu terjadi. Itu sebabnya, Khairil Anwar dianggap sebagai tumbal. Hal itu bisa dimaklumi, mengingat pada era M Nuh tuntutan pada pendidikan sangat tinggi sehingga tidak ada tempat bagi tenaga pendidik yang santai dan bermalas-malasan. Maka, ketika momentum ada, hal itu adalah celah besar untuk menyerang sang Menteri.
Terlepas dari persoalan hasil invertigasi yang membuat Khiaril Anwar harus lengser, UN yang selama ini dianggap sebagai tolok ukur kebermutuan pendidikan memang harus dievaluasi. Hal itu mengingat kengototan terhadap penyelenggaraaan ujian secara tidak langsung telah menganggap pembinaan yang semestinya jadi tolok ukur, sebagai sesuatu yang tidak berguna selain sebagai tuntutan administrasi yang diamanatkan perundang-undangan. Pembinaan dimaksud tidak lain adalah akreditasi.
Dengan kata lain, jika UN masih dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur mutu pendidikan, akreditasi tak banyak mendatangkan kemaslahatan. Sementara untuk akreditasi pun diperlukan dukungan sumber dana dan SDM unggul. Bila sebuah sekolah telah memiliki dua dukungan itu dan kemudian dari proses akreditasi, semisal memperoleh A, pertanyaannya adalah apa nilai A itu jika kemudian dipenggal secara membabi-buta dan disamakan dengan sekolah yang akreditasinya di bawah A, menjadi malah tidak terakreditasi sama sekali.
Sebuah sekolah mencapai akreditasi A tentu berdasarkan penilaian seksama oleh para assessor. Seharusnya nilai A sangat terkait dengan mutu. Lantas, jika masih diujinasionalkan, apa makna hasil akreditasi itu. Sebaiknya UN diperuntukkan bagi sekolah yang tidak berakreditasi, baik negeri maupun swasta, sebagai pelecut agar mau meningkatkan mutu. Hal itu, tentu lebih masuk akal, atau sama sekali tak ada akreditasi agar semua sekolah ditentukan lewat satu tolok ukur tunggal, yaitu UN.
Pengawasan Baik
Itu jika bangsa ini akan dikelola dengan pola nalar yang logis, mengingat sudah ada akreditasi, tapi juga ada ujian nasional, dan ini nalar yang tidak logis. Paling tidak ketidaklogisan itu ada pada akreditasi itu, karena terbukti tidak mendatangkan manfaat. Untuk ukuran kepercayaan, sama-sama tidak dipercaya lantaran masih ’’dirampas’’ oleh ujian nasional. Makin terlihat tidak logis ketika murid SD/ MI harus menempuh ujian nasional, seperti siswa SMP/ MTs dan SMA/ MA.
Bagi para siswa, penyelenggaraan ujian nasional, selain mengabaikan akreditasi juga berlawanan dengan peraturan yang menetapkan Wajib Belajar (wajar) 9 Tahun. Bagaimana bisa 9 tahun itu berjalan dengan baik, jika akan melangkah ke level 7 saja sudah diganjal ujian nasional.
Seharusnya, sesuai namanya, siswa tidak perlu ada hambatan ke jenjang level 7 mengingat itu kemauan negara. Realitasnya malah sebaliknya, negara bernafsu untuk memenggal harapan mereka. Tidak usahlah mempersoalan akreditasi yang memang telah membuat nalar pendidikan tidak logis, sesuatu yang wajib saja masih dikesampingkan.
Berkaitan masalah itu, tak ada
pilihan lain, kecuali harus melogiskan cara pandang pengambil kebijakan
pendidikan. Jika akreditasi akan dikedepan, tentu tidak perlu menyelenggarakan
UN. Kecuali sebaliknya yang lebih penting akreditasi menjadi sesuatu yang tidak
wajib. Hanya, jika pilihan jatuh kepada akreditasi, tentu harus ada pengawasan
yang baik.
Para penilik juga harus idealis, semata-mata demi kebaikan mutu pendidikan. Bukan seperti selama ini, banyak penilik datang pada akhir bulan sekadar mencari ’’gizi’’ tambahan, dan ketika sudah dikasih amplop, tidak lagi bertanya soal pendidikan. Selain ujian nasional untuk pendidikan dasar, baik dilihat dari kacamata akreditasi maupun keberlanjutan Wajar 9 Tahun, memang harus segera diakhiri.
Para penilik juga harus idealis, semata-mata demi kebaikan mutu pendidikan. Bukan seperti selama ini, banyak penilik datang pada akhir bulan sekadar mencari ’’gizi’’ tambahan, dan ketika sudah dikasih amplop, tidak lagi bertanya soal pendidikan. Selain ujian nasional untuk pendidikan dasar, baik dilihat dari kacamata akreditasi maupun keberlanjutan Wajar 9 Tahun, memang harus segera diakhiri.
Di samping tidak sejalan dengan logika wajar dan akreditasi, itu hanya
meneguhkan otoritarianisme pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar