|
MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2013
SEORANG mahasiswa dalam sebuah
seminar merasa bingung sekaligus geram, apa sebenarnya yang sedang terjadi
dengan dunia pendidikan di Tanah Air saat ini. Seluruh persoalan pendidikan
seakan tak henti menerpa. Ada masalah ujian nasional (UN) yang selalu bermasalah,
kebijakan kurikulum yang berubah-ubah, dan mutu guru yang rendah meski sudah
disertifikasi, serta segudang masalah lainnya yang berujung pada lemahnya
pendidikan karakter.
Mahasiswa itu mengajak seluruh peserta seminar untuk
bertanya dan berkaca, apa hasil pembangunan di sektor pendidikan yang bisa
dibanggakan dalam 10 tahun terakhir ini? Jawabannya, hampir tak ada yang bisa
dibanggakan. Selain masalah anggaran, tampaknya pendidikan seperti jalan di
tempat. Namun, meskipun anggaran sudah 20% dari total APBN, kualitas pendidikan
juga tampak tak bergerak secara positif. Ini artinya kegelisahan mahasiswa
tersebut bisa jadi mewakili kegelisahan mayoritas masyarakat yang meragukan
bahwa pendidikan sudah lebih baik.
Jelas sekali banyak persoalan pendidikan yang harus ditata
dan dikelola secara sabar dan berkesinambungan. Lantas apa yang mungkin dan
harus dilakukan birokrasi pendidikan kita untuk mengurai keruwetan pendidikan
kita? Menurut saya, setidaknya ada lima perkara yang harus menjadi titik tekan
proses kebijakan pendidikan kita ke depan.
Pertama, buat kebijakan yang mengharuskan dibukanya
kesempatan bagi masyarakat untuk ikut serta secara penuh dalam mengelola
sekolah bagi putra-putri mereka. Prinsip ini harus dalam bentuk mutualbenefit
dan masyarakat bisa mengambil keuntungan dari hadirnya sekolah, sebagaimana
sekolah yang jelas harus memberi kesempatan secara luas kepada masyarakat untuk
berperan serta. Salah satu yang paling kritis dan membutuhkan peran serta
masyarakat adalah membangun perpustakaan sekolah sebanyak dan sebaik mungkin.
Tujuannya untuk meningkatkan minat baca siswa sekaligus masyarakat.
Libatkan masyarakat
Saya
membayangkan perpustakaan yang cukup luas,
penuh koleksi buku yang beragam, ruang baca yang nyaman, dan memungkinkan
masyarakat untuk mengakses fasilitas tersebut secara bebas pada jam sekolah
ataupun di hari libur, pastilah menyenangkan. Melibatkan masyarakat masuk
struktur sekolah dan perpustakaan sebagai pengelola adalah hal yang amat
mungkin dilakukan agar kualitas pendidikan kita meningkat. Dengan menjadikan
sekolah lebih terbuka untuk diakses masyarakat, peluang untuk menjadikan
masyarakat sebagai mitra strategis dan sejajar dalam upaya peningkatan kualitas
pendidikan merupakan imperatif. The
school should be a place where the community is always welcome.
Kedua, Kemendikbud juga harus berani menerapkan kebijakan team-teaching dalam rangka memberikan
siswa kesempatan secara luas untuk belajar bekerja sama. Momentum kurikulum
baru yang lebih mementingkan pengembangan aspek sikap siswa (student attitude) jelas membutuhkan
team-teaching yang kuat. Pola pembelajaran secara kolaboratif harus dijadikan
sebagai salah satu strategi dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas.
Ketiga, melatih para guru dalam penguasaan teknik pembelajaran
yang autentik dan penuh arti dengan melihat apa yang terjadi di dalam
masyarakat. Pola-pola seperti kunjungan lapangan (field trip), kunjungan sekolah, serta project class yang berorientasi pada pengembangan keterampilan
sosial siswa menjadi sangat relevan untuk diajarkan saat ini. Sudah saatnya
meninggalkan buku teks yang antisosial dan membiarkan anak-anak menjadi
pengkhayal apa yang terjadi ketimbang menganalisis apa yang sesungguhnya
terjadi di dalam masyarakat.
Disiplin kolektif
Keempat,
bersama-sama dengan masyarakat, sekolah selaiknya membuat aturan yang secara
etik dapat dipertanggungjawabkan menyangkut moralitas guru. Di tengah marak dan
meningkatnya kekerasan dan pelecehan seksual di
masyarakat, sekolah jelas harus memiliki semacam code of conduct dalam
rangka meminimalkan kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan sekolah.
Kelima,
sekolah jelas harus menjamin bahwa baik guru, kepala sekolah, maupun masyarakat
menyadari pentingnya menambah wawasan dan pengetahuan secara mandiri dalam
rangka meningkatkan kemampuan mereka secara berkesinambungan.
Secara ringkas kelima hal di atas sesungguhnya merupakan
disiplin kolektif yang disebut Peter Senge (2004) dalam Fifth Discipline sebagai suatu hal yang tidak bisa dihindari. Baik
penguasaan diri (personal mastery)
para guru yang merupakan praktik pengartikulasian gambaran koheren dari
pandangan para pribadi yang terlibat dalam setiap sekolah maupun keberanian
setiap pengelola sekolah untuk berbagi pandangan (shared vision) merupakan bentuk-bentuk disiplin kolektif untuk
menghubungkan sekolah-guru-masyarakat yang menekankan perhatian pada tujuan
bersama.
Disiplin kolektif ketiga yang menjadi perhatian Peter Senge
adalah pembentukan mental (mental models),
sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengembangan kepekaan dan persepsi
para guru, orangtua, dan kepala sekolah terhadap siswa dan anak-anak mereka. Bekerja
dengan membentuk mental ini dapat membantu kita untuk lebih jelas dan jujur dalam
memandang kenyataan terkini. Selain itu, dengan membentuk kelompok belajar (team learning), yakni sebuah disiplin
dalam interaksi kelompok melalui teknik-teknik seperti dialog dan skillful discussion. Itu merupakan
kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan mengembangkan kepandaian
serta kemampuan lebih besar secara kelompok.
Adapun yang terakhir adalah disiplin kolektif tentang
sistem berpikir (systems thinking),
yang dalam disiplin ini baik guru, kepala sekolah maupun masyarakat harus
memahami ketergantungan dan perubahan sehingga kita dapat menghadapi dengan
lebih aktif tekanan yang membentuk konsekuensi dari sebuah tindakan. Peralatan
dan teknik yang digunakan dalam melatih sistem berpikir ini seperti diagram stock and flow dan berbagai simulasi
yang membantu siswa untuk memahami lebih dalam dari apa yang dipelajari.
Dengan dasar kelima disiplin kolektif di atas, setiap
sekolah berkesempatan melakukan sebuah ‘uji-coba’ terapan terhadap lima prinsip
dasar di atas bagi sebuah pengembangan institusi pendidikan (sekolah) yang
mengutamakan pengembangan dan penjaminan mutu (quality assurance). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar