|
KOMPAS, 27 Mei 2013
Perdebatan
soal penghapusan subsidi BBM dan listrik terbentur segudang kepentingan
popularitas menjelang suksesi 2014. Konsensus nasional patut ditempuh agar
ketahanan energi nasional terwujud.
Menjelang
Pemilu 2014, kecenderungan partai politik menyikapi persoalan subsidi lebih
mengarah kepada pertimbangan populis ketimbang pertimbangan rasional. Padahal,
tak sedikit cendekiawan dan ahli yang mengatakan subsidi adalah kebijakan tak
rasional dan tak berkeadilan, yang kalau tidak diselesaikan dengan baik akan
menjadi penyakit kronis yang berkepanjangan.
Pertimbangannya
begitu jelas. Jumlah subsidi BBM dan listrik pada APBN 2013 sekitar Rp 305
triliun (hampir mencapai 20 persen APBN). Jumlah itu lebih besar dari belanja
modal pemerintah dan juga lebih besar dari anggaran investasi sarana BUMN
energi. Jika tidak diselesaikan, jumlahnya akan terus meningkat dan akan tetap
membebani siapa pun pemangku pemerintahan, dari tahun ke tahun.
Terlebih,
alokasi subsidi BBM dan listrik yang katanya untuk rakyat kecil kenyataannya
tidak menyentuh mereka. Bagi masyarakat kecil di pelosok dan daerah terpencil,
harga BBM yang harus mereka bayar jauh dari hitungan subsidi, dan sebagian
besar masyarakat terpencil belum menikmati listrik PLN.
Rasio
elektrifikasi 2012 baru sekitar 70 persen. Artinya, sekitar 30 persen dari 240
juta penduduk belum menikmati listrik yang selama ini disubsidi dengan biaya
menjulang. Lebih ironis lagi, tidak sedikit dari masyarakat terpencil yang
menggunakan listrik bersumber dari genset diesel milik sendiri atau swasta yang
jauh lebih mahal ketimbang listrik PLN karena keterbatasan PLN menjangkau
mereka. Alhasil, masyarakat kecil yang kerap diperdebatkan sebagai alasan
mempertahankan program subsidi justru sejak lama membayar BBM, gas, dan
listriknya dengan harga yang lebih mahal dari ketetapan subsidi pemerintah.
Tengok
saja di pulau-pulau terpencil dan desa di pedalaman, harga eceran 1 liter
premium mencapai Rp 7.000-Rp 10.000. Di Ternate, harga gas elpiji tabung 12
kilogram mencapai Rp 150.000 karena didatangkan dari Makassar. Bahkan,
masyarakat Palembang, Sumatera Selatan, harus membeli gas elpiji 3 kg Rp 20.000
meski harga eceran tertinggi hanya Rp 14.000. Mahalnya biaya distribusi
menyebabkan subsidi sesungguhnya tidak berdampak bagi masyarakat kecil.
Lalu,
siapa sebenarnya yang menikmati subsidi BBM dan listrik? Tentu saja mereka yang
banyak menggunakan energi, seperti kelompok perusahaan besar dan kalangan
menengah ke atas.
Artinya,
bila subsidi tetap dilakukan di tengah pertumbuhan energi yang akan mencapai
7-8 persen per tahun, dan harga energi khususnya minyak yang sewaktu-waktu
bergejolak, beban APBN pun semakin besar dan kondisinya kian membahayakan
perekonomian nasional. Inilah bom waktu yang mengancam perekonomian nasional di
masa depan.
Konsensus
pengelolaan
Pencabutan
subsidi BBM gas dan listrik mungkin terasa getir bagi sebagian pihak. Namun,
langkah itu kelak berbuah sangat manis, khususnya dalam mewujudkan ketahanan
dan kemandirian energi nasional. Karena itu, perlu sebuah konsensus nasional
untuk memutuskan langkah terbaik bagi kelangsungan bangsa yang kelak akan
diwarisi generasi selanjutnya.
Konsensus
nasional terdiri dari lima kesepakatan dalam menata keenergian nasional.
Pertama, sepakat bila energi adalah modal pembangunan. Kedua, sepakat bila
subsidi komoditas BBM dan listrik dikurangi secara bertahap hingga menuju
keekonomiannya, kemudian diganti menjadi subsidi langsung kepada masyarakat
miskin. Ketiga, sepakat bila sumber gas alam dan batubara dicadangkan untuk
generasi masa depan. Keempat, sepakat mendorong pengembangan energi terbarukan dengan
memberi prioritas dan dukungan anggaran. Dan kelima, sepakat membangun
kemandirian pengelolaan energi nasional dengan memprioritaskan pelaku nasional
dalam rancang bangun dan proyek-proyek energi.
Idealnya,
konsensus nasional pengelolaan energi dapat dilakukan sebelum Pemilu 2014. Hal
itu sebagai langkah preventif dari kemungkinan penggunaan isu pencabutan
subsidi BBM lebih banyak dilandasi kepentingan untuk menarik simpati rakyat.
Melalui
konsensus nasional, ketahanan dan kemandirian energi dapat ditingkatkan karena
kemandirian energi
nasional mengandung lima pengertian. Pertama, berdaulat
dalam pembuatan keputusan pengelolaan energi dari hulu hingga hilir. Kedua,
memperbanyak penyediaan dana sendiri untuk infrastruktur energi (diperlukan
sekitar 2 persen PDB atau 10 persen dari APBN) setiap tahun. Ketiga, jika harus
berutang, harus diupayakan seminimal mungkin pengaruhnya pada kedaulatan
negara. Keempat, pelaku dalam negeri menjadi tuan di negeri sendiri. Untuk itu,
perlu penguasaan teknologi dan manajemen usaha pertambangan migas, batubara,
kilang minyak, hingga infrastruktur kelistrikan. Kelima, membangun kemampuan
fabrikasi lokal pendukung keenergian.
Untuk
menghindari inflasi, khususnya terhadap harga kebutuhan dan bahan pokok lain,
penghapusan subsidi dilakukan bertahap sedikit demi sedikit. Caranya? Untuk
BBM, pemerintah memulai dengan suatu subsidi tetap dan mengambangkan harga
sesuai irama harga minyak mentah dunia. Katakan dengan harga minyak mentah yang
sekarang 90 dollar AS per barrel, harga wajar Premium Rp 7.000 per liter, yang
berarti ada subsidi Rp 2.500 per liter. Selanjutnya, dalam waktu 24-36 bulan
pemerintah mengurangi subsidi Rp 50-Rp 100 per liter setiap bulan dengan
mempertimbangkan harga minyak dunia. Harga mengambang ini memberi kesempatan
pelaku dan masyarakat mempersiapkan diri.
Demikian
pula untuk listrik. Jika posisi sekarang terdapat subsidi rata-rata sebesar Rp
500 per kWh (biaya produksi per kWh rata rata Rp 1.400, dan harga jual
rata-rata Rp 900), subsidinya dikurangi sekitar Rp 50 per kWh tiap periode atau
tiap bulan atau bahkan bisa tiap 3 bulan. Dalam waktu 10-30 bulan, subsidi akan
menjadi habis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar