|
KORAN SINDO, 29 Mei 2013
Wow, kalangan
bankir berteriak dominannya asing di industri perbankan nasional? Kali ini saya
agak terkejut karena ”jeritan” itu dilontarkan di arena pameran perbankan
nasional dan disampaikan Wapres Boediono.
Ke mana saja mereka selama ini? Saya ingin menjawab sendiri dan ingin memperoleh sanggahan dari kalangan bankir mana pun di Indonesia, termasuk dari otoritas moneter dan Wapres sendiri. Lagi, saya ingin mereka bertanggung jawab atas kebijakan yang mereka lakukan dan jujur, baik sebagai pejabat, profesional maupun sebagai intelektual. Guna menjawabnya, kita tidak perlu memulainya sejak mereka menguasai kursi-kursi kekuasaan bidang ekonomi pada 1967/1968.
Kita mulai dengan peristiwa dilepasnya nilai tukar rupiah mengambang bebas (free floating exchange rate) pada 14 Agustus 1997. Kebijakan ini diambil oleh Dewan Moneter yang waktu itu dikendalikan oleh Mar’ie Muhammad (Menkeu) dan J Soedradjad Djiwandono (Gubernur BI). Dampaknya rupiah terpuruk. Tentu saja karena kebutuhan akan dolar AS untuk bayar utang sangat besar disebabkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (sebagai wujud liberalisasi perbankan) yang membuka lebar-lebar pinjaman swasta asing dan tumbuhnya perbankan bak jamur pada musim hujan.
Lalu karena kebijakan yang juga mereka ambil, bermunculanlah masalah kredit macet. Pemerintah pun kemudian meminta bantuan IMF guna meraih kembali kepercayaan internasional dan agar rupiah kembali stabil pada nilai yang wajar. ”Obat” pertama IMF yang disodorkan adalah menutup 16 bank pada 1 November 1997 dan berlanjut membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Februari 1998 yang kemudian dikuatkan dengan PP No17/1999.
Jangan salah, dampakpenutupanbankpada 1 November 1997 adalah ditariknya dana masyarakat dari perbankan. Maka terbitlah penjaminan pemerintah (blanket guarantee) yang ternyata malah membuat ”perampokan” uang negara makin menjadi-jadi di tengah pengawasan perbankan demikian buruknya. Salah satu argumen mereka kenapa industri perbankan demikian terpuruk adalah karena UU No7/1992 tentang perbankan dianggap sudah tidak memadai. Karena itu, mereka yang demikian patuh atas doktrin sang dokter IMF menyatakan, UU No7/1992 harus diubah.
Sejak awal saya menolak gagasan ini. Bahkan, sebagai anggota DPR saat itu, saya pun menolak ajakan sejumlah anggota DPR yang hendak menjumpai Stanley Fischer agar segera mencairkan pinjaman USD1 miliar. Alasannya sederhana, kita rumuskan dan strukturkan dulu masalahnya. Artinya, kita harus menentukan lebih dulu penyebab krisis dan salurannya. Pada kasus Indonesia tahun 1997/1998, penyebabnya adalah perbankan dengan saluran nilai tukar.
Pada kasus Amerika Serikat (AS) pada 2008, penyebabnya adalah kalahnya industri manufaktur AS melawan industri manufaktur China dengan saluran ekspor impor yang berdampak pada guncangnya industri keuangan dan perbankan AS. Jika kita sudah menentukan hal itu, kita bisa menetapkan langkah strategis. Harus dibuat jelas dulu, apakah krisis Indonesia 1997/1998 disebabkan kebijakan liberalisasi perbankan dan keuangan atau disebabkan hal lain? Jika kita lihat salurannya adalah nilai tukar, maka minimalkan dulu pukulan ini. Ini berarti yang harus diubah adalah soal kebijakan lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
Kebijakan pokoknya adalah memperbaiki UU No13/1968 tentang Bank Sentral, sekaligus membenahi kebijakan lalu lintas devisa. Selanjutnya adalah menata ulang sistem dan pengawasan perbankan. Tapi apa yang terjadi? Atas instruksi (walaupun bertuliskan ”strong recommendation”) IMF yang dituang dalam Letter of Intent (LoI), pemerintah dan BI sepakat mengubah lebih dulu UU No7/1992. Dan, perubahan itu adalah membenarkan asing memiliki saham 99% di bank nasional.
Perubahan lainnya adalah mengubah model layanan perbankan dari pendekatan sektor ekonomi menjadi perbankan umum dan perbankan rakyat. Saya menolaknya sehingga saya harus menerima teguran keras Wakil Ketua Fraksi Bidang APBN, Keuangan, dan Perbankan Herman Widyananda (terakhir sebagai wakil ketua BPK), almarhum, yang mendamaikan saya walau saya tetap tidak ingin mendukung perubahan itu. Karena itu, dalam notulen pembahasan dan rapat kerja perubahan UU No7/1992 tidak akan ditemukan tanda tangan persetujuan saya.
Setelah UU No7/1992 berubah menjadi UU No10/1998—yang melegalkan kepemilikan asing atas industri perbankan nasional—baru mereka mengajukan perubahan UU No13/168 menjadi UU 23/1999 tentang Bank Indonesia jo UU No3/2004 dan perubahan UU No32/1964 menjadi UU No24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Dampak dari hadirnya UU itu diikuti dengan perundang-undangan lain pada masa reformasi adalah ”kewajiban” Indonesia menjual aset nasional, baik yang ada di BPPN maupun yang tersimpan sebagai sumber daya alam.
Karena itu, mereka pun berteriak lagi, pentingnya memperoleh kepercayaan asing yang diindikasikan dengan masuknya investasi asing membeli aset-aset yang dilego secara obral (fire sale) karena perekonomian Indonesia harus segera pulih. Itu semua tertuang dalam LoI, termasuk bagaimana seharusnya merekapitalisasi perbankan dan kemudian menjualnya. Saya ingat betul bagaimana saya menolak obligasi rekap dalam rapat tertutup yang dikendalikan Ginandjar Kartasasmita, Bambang Subiyanto, dan Boediono di Hotel Mulia, Februari 1999.
Mereka menerbitkan posisi tawar bahwa jika DPR tidak setuju atas kebijakan rekapitalisasi perbankan, maka dana pensiun anggota DPR tidak akan disetujui. Setelah itu, saya pun tidak setuju dengan divestasi perbankan yang direkap. Penjualan bank bukan saja menjual aset secara obral, juga menjual informasi bisnis, dan hal itu sama dengan menyerahkan sebagian darah dan aliran darah ke tangan asing. Sebagai komisaris independen dan wakil ketua komite audit di suatu bank yang direkap dan kemudian dijual ke pihak asing, secara tertulis saya menegaskan penjualan bank yang direkap justru merugikan dan saya menolaknya dengan berbagai argumen.
Sejak 2001 hingga saat ini, sebagai pembicara di diskusi Perbanas, di diskusi BI dan di seminar perbankan se-Jawa Timur dan se-Jawa Barat, serta di diklat LAN, berulang kali saya menegaskan bagaimana kesalahan mendasar kebijakan perbankan. Bagi petinggi BI dan OJK serta petinggi perbankan, kajian saya bukanlah hal baru. Karenanya, mereka harus belajar bahwa tidak mungkin mengambil kebijakan sembarangan. Kalau salah lalu mereka bilang, kita harus memperbaiki seakan itu bukan karena kebijakan mereka, dan seakan bertangan bersih.
”Semua ini karena kesalahan kita semua,” ujar mereka membela diri. Mungkin mereka boleh bicara seperti itu jika protes dan perlawanan atas kebijakan mereka tidak terdokumentasi dengan baik. Adapun yang saya rasakan, kelompok ini dengan enak menghina kajian-kajian yang berseberangan dengan mereka, sekaligus membunuh ”karakter” lawan-lawan mereka yang didukung oleh media massa besar. Kalau kini mereka berniat membenahi kebijakan ekonomi yang membuat negeri ini amburadul, saya ingin menyaksikan, apakah itu ucapan dalam rangka Pemilu 2014, di tengah mereka tidak bernyali untuk berbeda sikap dan pemikiran dengan tuan besarnya, USAID, IMF, Bank Dunia, OECD, dan ADB?
Rasanya mimpi karena karakter mereka adalah mau berkuasa tanpa mau bertanggung jawab. Itulah yang terjadi sejak mereka di panggung kekuasaan pada 1967 hingga sekarang. Hasilnya, perekonomian Indonesia dikepung oleh kekuatan asing. Masyarakat mengejek, sejak bangun tidur hingga tempat tidur, semuanya produk asing. Lalu seperti orang bangun kesiangan, mereka berteriak, kurangi dominasi asing.
Tentu saja kebijakan ini bertentangan dengan titah tuan besar mereka. Kita patut menduga teriakan ini dalam rangka membeli simpati publik dan media sehingga dari hasil Pemilu 2014 mereka lagi-lagi memperoleh dukungan untuk memperoleh kursi ekonomi. Siapa yang tahu? ●
Ke mana saja mereka selama ini? Saya ingin menjawab sendiri dan ingin memperoleh sanggahan dari kalangan bankir mana pun di Indonesia, termasuk dari otoritas moneter dan Wapres sendiri. Lagi, saya ingin mereka bertanggung jawab atas kebijakan yang mereka lakukan dan jujur, baik sebagai pejabat, profesional maupun sebagai intelektual. Guna menjawabnya, kita tidak perlu memulainya sejak mereka menguasai kursi-kursi kekuasaan bidang ekonomi pada 1967/1968.
Kita mulai dengan peristiwa dilepasnya nilai tukar rupiah mengambang bebas (free floating exchange rate) pada 14 Agustus 1997. Kebijakan ini diambil oleh Dewan Moneter yang waktu itu dikendalikan oleh Mar’ie Muhammad (Menkeu) dan J Soedradjad Djiwandono (Gubernur BI). Dampaknya rupiah terpuruk. Tentu saja karena kebutuhan akan dolar AS untuk bayar utang sangat besar disebabkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (sebagai wujud liberalisasi perbankan) yang membuka lebar-lebar pinjaman swasta asing dan tumbuhnya perbankan bak jamur pada musim hujan.
Lalu karena kebijakan yang juga mereka ambil, bermunculanlah masalah kredit macet. Pemerintah pun kemudian meminta bantuan IMF guna meraih kembali kepercayaan internasional dan agar rupiah kembali stabil pada nilai yang wajar. ”Obat” pertama IMF yang disodorkan adalah menutup 16 bank pada 1 November 1997 dan berlanjut membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Februari 1998 yang kemudian dikuatkan dengan PP No17/1999.
Jangan salah, dampakpenutupanbankpada 1 November 1997 adalah ditariknya dana masyarakat dari perbankan. Maka terbitlah penjaminan pemerintah (blanket guarantee) yang ternyata malah membuat ”perampokan” uang negara makin menjadi-jadi di tengah pengawasan perbankan demikian buruknya. Salah satu argumen mereka kenapa industri perbankan demikian terpuruk adalah karena UU No7/1992 tentang perbankan dianggap sudah tidak memadai. Karena itu, mereka yang demikian patuh atas doktrin sang dokter IMF menyatakan, UU No7/1992 harus diubah.
Sejak awal saya menolak gagasan ini. Bahkan, sebagai anggota DPR saat itu, saya pun menolak ajakan sejumlah anggota DPR yang hendak menjumpai Stanley Fischer agar segera mencairkan pinjaman USD1 miliar. Alasannya sederhana, kita rumuskan dan strukturkan dulu masalahnya. Artinya, kita harus menentukan lebih dulu penyebab krisis dan salurannya. Pada kasus Indonesia tahun 1997/1998, penyebabnya adalah perbankan dengan saluran nilai tukar.
Pada kasus Amerika Serikat (AS) pada 2008, penyebabnya adalah kalahnya industri manufaktur AS melawan industri manufaktur China dengan saluran ekspor impor yang berdampak pada guncangnya industri keuangan dan perbankan AS. Jika kita sudah menentukan hal itu, kita bisa menetapkan langkah strategis. Harus dibuat jelas dulu, apakah krisis Indonesia 1997/1998 disebabkan kebijakan liberalisasi perbankan dan keuangan atau disebabkan hal lain? Jika kita lihat salurannya adalah nilai tukar, maka minimalkan dulu pukulan ini. Ini berarti yang harus diubah adalah soal kebijakan lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
Kebijakan pokoknya adalah memperbaiki UU No13/1968 tentang Bank Sentral, sekaligus membenahi kebijakan lalu lintas devisa. Selanjutnya adalah menata ulang sistem dan pengawasan perbankan. Tapi apa yang terjadi? Atas instruksi (walaupun bertuliskan ”strong recommendation”) IMF yang dituang dalam Letter of Intent (LoI), pemerintah dan BI sepakat mengubah lebih dulu UU No7/1992. Dan, perubahan itu adalah membenarkan asing memiliki saham 99% di bank nasional.
Perubahan lainnya adalah mengubah model layanan perbankan dari pendekatan sektor ekonomi menjadi perbankan umum dan perbankan rakyat. Saya menolaknya sehingga saya harus menerima teguran keras Wakil Ketua Fraksi Bidang APBN, Keuangan, dan Perbankan Herman Widyananda (terakhir sebagai wakil ketua BPK), almarhum, yang mendamaikan saya walau saya tetap tidak ingin mendukung perubahan itu. Karena itu, dalam notulen pembahasan dan rapat kerja perubahan UU No7/1992 tidak akan ditemukan tanda tangan persetujuan saya.
Setelah UU No7/1992 berubah menjadi UU No10/1998—yang melegalkan kepemilikan asing atas industri perbankan nasional—baru mereka mengajukan perubahan UU No13/168 menjadi UU 23/1999 tentang Bank Indonesia jo UU No3/2004 dan perubahan UU No32/1964 menjadi UU No24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Dampak dari hadirnya UU itu diikuti dengan perundang-undangan lain pada masa reformasi adalah ”kewajiban” Indonesia menjual aset nasional, baik yang ada di BPPN maupun yang tersimpan sebagai sumber daya alam.
Karena itu, mereka pun berteriak lagi, pentingnya memperoleh kepercayaan asing yang diindikasikan dengan masuknya investasi asing membeli aset-aset yang dilego secara obral (fire sale) karena perekonomian Indonesia harus segera pulih. Itu semua tertuang dalam LoI, termasuk bagaimana seharusnya merekapitalisasi perbankan dan kemudian menjualnya. Saya ingat betul bagaimana saya menolak obligasi rekap dalam rapat tertutup yang dikendalikan Ginandjar Kartasasmita, Bambang Subiyanto, dan Boediono di Hotel Mulia, Februari 1999.
Mereka menerbitkan posisi tawar bahwa jika DPR tidak setuju atas kebijakan rekapitalisasi perbankan, maka dana pensiun anggota DPR tidak akan disetujui. Setelah itu, saya pun tidak setuju dengan divestasi perbankan yang direkap. Penjualan bank bukan saja menjual aset secara obral, juga menjual informasi bisnis, dan hal itu sama dengan menyerahkan sebagian darah dan aliran darah ke tangan asing. Sebagai komisaris independen dan wakil ketua komite audit di suatu bank yang direkap dan kemudian dijual ke pihak asing, secara tertulis saya menegaskan penjualan bank yang direkap justru merugikan dan saya menolaknya dengan berbagai argumen.
Sejak 2001 hingga saat ini, sebagai pembicara di diskusi Perbanas, di diskusi BI dan di seminar perbankan se-Jawa Timur dan se-Jawa Barat, serta di diklat LAN, berulang kali saya menegaskan bagaimana kesalahan mendasar kebijakan perbankan. Bagi petinggi BI dan OJK serta petinggi perbankan, kajian saya bukanlah hal baru. Karenanya, mereka harus belajar bahwa tidak mungkin mengambil kebijakan sembarangan. Kalau salah lalu mereka bilang, kita harus memperbaiki seakan itu bukan karena kebijakan mereka, dan seakan bertangan bersih.
”Semua ini karena kesalahan kita semua,” ujar mereka membela diri. Mungkin mereka boleh bicara seperti itu jika protes dan perlawanan atas kebijakan mereka tidak terdokumentasi dengan baik. Adapun yang saya rasakan, kelompok ini dengan enak menghina kajian-kajian yang berseberangan dengan mereka, sekaligus membunuh ”karakter” lawan-lawan mereka yang didukung oleh media massa besar. Kalau kini mereka berniat membenahi kebijakan ekonomi yang membuat negeri ini amburadul, saya ingin menyaksikan, apakah itu ucapan dalam rangka Pemilu 2014, di tengah mereka tidak bernyali untuk berbeda sikap dan pemikiran dengan tuan besarnya, USAID, IMF, Bank Dunia, OECD, dan ADB?
Rasanya mimpi karena karakter mereka adalah mau berkuasa tanpa mau bertanggung jawab. Itulah yang terjadi sejak mereka di panggung kekuasaan pada 1967 hingga sekarang. Hasilnya, perekonomian Indonesia dikepung oleh kekuatan asing. Masyarakat mengejek, sejak bangun tidur hingga tempat tidur, semuanya produk asing. Lalu seperti orang bangun kesiangan, mereka berteriak, kurangi dominasi asing.
Tentu saja kebijakan ini bertentangan dengan titah tuan besar mereka. Kita patut menduga teriakan ini dalam rangka membeli simpati publik dan media sehingga dari hasil Pemilu 2014 mereka lagi-lagi memperoleh dukungan untuk memperoleh kursi ekonomi. Siapa yang tahu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar