|
IndoPROGRESS, 27 Mei 2013
TAMPAKNYA,
bulan madu antara Jokowi-Ahok dengan sebagian rakyat Jakarta mulai gersang.
Satu per satu, keduanya mulai menemukan kenyataan bahwa program-programnya
harus bertabrakan dengan kepentingan rakyatnya sendiri. Contoh terkini dan
paling ramai diliput media adalah kasus penggusuran rakyat di bantaran Waduk
Pluit, yang melibatkan tiga pihak: warga yang bermukim di waduk dan sekitar
waduk; pemerintah DKI Jakarta, dan pihak Komnas HAM.
Sejauh
pengamatan saya melaui media, Pemda DKI yang dituntut untuk menyelesaikan
masalah banjir tahunan, berpendapat bahwa salah satu cara menanggulangi banjir
adalah dengan mengembalikan fungsi dari waduk Pluit tersebut. Konsekuensinya
waduk itu harus dikeruk, dan itu berarti penduduk yang mukim di wilayah itu
harus dipindahkan. Tak ada toleransi bagi penduduk untuk tetap tinggal di waduk
tersebut. Semua harus digusur tanpa kecuali. Jika tidak, program penanggulangan
banjir pasti terhambat. Dengan visi Jakarta baru, pemindahan/penggusuran warga
ini dibarengi dengan penyediaan rumah susun buat warga yang kena gusur.
Tapi
program ini mendapat tentangan dari warga yang bakal tergusur. Banyak dalih
kenapa mereka menolak digusur, dan ketika berhadapan dengan tembok kokok
pemprov yang sudah ‘penggusuran harga mati,’ maka warga ini kemudian melapor ke
Komnas HAM. Singkat cerita, Komnas HAM menuding bahwa ada pelanggaran HAM dalam
proses pengerukan Waduk Pluit tersebut. Tak mau nama baik Pemprov tercemar,
Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pun meradang. Seperti Jokowi, ia
merasa heran kenapa mereka dituduh melanggar HAM oleh lembaga seperti Komnas
HAM?
‘Ada yang bilang kita ini
melanggar HAM. HAM yang mana? Wong kita
pindahkan ke rusun kok, lengkap ada TV
gratis, meja kursi gratis, tempat tidur gratis, kompor gratis, tinggal masuk.
(Pelanggaran) HAM-nya yang mana? Masa melanggar HAM? HAM yang mana gitu lho,’ ujar Jokowi di Universitas Tarumanegara,
Jakarta (detik.com, 16/05/2013).
‘Apa perlu saya kasih kuliah
umum kepada mereka tentang arti HAM itu apa. Nanti kalau jadi kuliah umum, ya,
saya jelaskan HAM itu apa kepada mereka,’ kata Basuki di Balaikota DKI Jakarta,
(Kontan,16/5/2013).
Saya
ingin mendiskusikan debat ini, bukan pada hal-hal detail di lapangan, karena
saya tidak tahu bagaimana keadaan di lapangan yang sebenarnya. Yang ingin saya
soroti di sini, bagaimana dalam debat ini, baik Komnas HAM maupun Pemprov
memiliki kesadaran historis yang terbatas. Dan ini berdampak pada strategi
pembangunan Jakarta ke depan nantinya.
Masalah urbanisasi
Dalam teori yang telah
menjadi klasik, ada dua cara untuk menjelaskan mengapa orang bermigrasi dari
desa ke kota, dari pinggiran kota ke pusat kota, dari negara miskin ke negara
maju. Pertama adalah teori push factor, yang
mengatakan bahwa urbanisasi terjadi karena terpaksa. Orang desa atau orang dari
pinggiran kota terpaksa pindah ke kota (Jakarta), karena di desa tidak
ada lagi pekerjaan yang bisa membuat kehidupan mereka bertambah baik. Kalau ada
pekerjaan yang baik dengan pendapatan yang memadai di desa, maka mereka tidak
akan pindah ke kota. Jadi mereka pindah karena didorong oleh keterpaksaan, oleh
ketiadaan pilihan.
Teori kedua adalah teori pull factor, yang mengatakan bahwa orang
bermigrasi ke kota karena adanya iming-iming kehidupan kota yang lebih baik
dari kehidupan di desa. Jadi, pilihan untuk pindah ke kota, lebih merupakan
pilihan yang sadar. Bukan karena kehidupan di desa tak lagi menjanjikan
perbaikan hidup, tapi kota memberikan janji perbaikan hidup yang lebih besar
lagi.
Tetapi,
kedua pendekatan teoritik ini tidak bisa menjawab secara memadai kenapa orang
mesti pindah ke kota. Kedua teori itu menjelaskan ‘kenapa orang bermigrasi ke
kota (aspek mikro’), tetapi bukan menjelaskan ‘latar belakang/aspek
makro’ dari kenapa orang bermigrasi ke kota. Untuk mengetahui aspek
makronya, maka kita mesti melihat bagaimana kebijakan pembangunan
secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih panjang. Tersebutlah cerita,
ketika Orde Baru berkuasa, ideologi pembangunan kapitalistik yang dianut oleh
rezim tersebut bertumpu pada tiga doktrin utama (trilogi pembangunan):
pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan hasil-hasil
pembangunan. Trilogi ini diadopsi untuk mewujudkan sebuah ide tentang ‘jalan
menuju kemakmuran’ yang pernah ditempuh oleh negara-negara yang telah
dikategorikan maju. Pertumbuhan ekonomi dilakukan melalui jalan modernisasi,
yang diukur dari seberapa besar dan cepat pergeseran dari sumbangan sektor
pertanian ke sektor industri. Pembangunan dikatakan maju, jika kontribusi
sektor industri semakin besar dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian
dalam pendapatan domestik bruto (PDB).
Karena
itu, industrialisasi menjadi panglima. Investasi asing diundang masuk melalui
penyediaan fasilitas dan insentif keuangan perbankan dan non-perbankan,
pendirian pabrik-pabrik dipermudah, pembebasan lahan pertanian diperluas hingga
ke daerah pinggiran dan pedesaan, dan di sektor pertanian revolusi hijau
digalakkan yang menyebabkan terjadinya proletarianisasi pedesaan. JIka ada
rakyat menolak tanahnya dipakai untuk ‘kepentingan umum,’ di situ kemudian
stabilitas politik bicara. Karena itu, semua proyek modernisasi ini tidak
berlangsung secara sukarela, tetapi melalui paksaan dengan menggunakan alat
kekerasan negara seperti polisi, tentara, serta para preman yang dibina oleh
negara.
Apa yang terjadi kemudian?
Sesuai dengan hukum kapitalisme yang selalu berwatak uneven development (pembangunan yang tidak
seimbang), yang terjadi kemudian adalah kota lebih maju dari desa atau desa
menjadi tergantung pada kota; sektor pertanian menjadi sangat tergantung
pada sektor industri; sebagian orang menjadi sangat kaya dan mayoritas tetap
miskin atau menjadi semakin miskin. Akibatnya, bukan saja penduduk pinggiran
atau pedesaan ini kehilangan tanahnya karena perluasan pabrik-pabrik, tapi
lebih dari itu mereka kehilangan sumber penghidupannya karena sektor pertanian tak
lagi menarik untuk ditekuni. Para ahli studi pembangunan menyebut mereka ini
sebagai korban pembangunan. Tentu tak semua penduduk pedesaan ini jatuh miskin,
sebagian kecil dari mereka mendapatkan keuntungan dari proses modernisasi yang
berlangsung sangat pesat itu.
Dengan
tingkat pendidikan dan sistem transportasi yang semakin baik, maka tingkat
urbanisasi penduduk pedesaan, yang notabene adalah korban pembangunan itu,
ke kota meningkat dari waktu ke waktu. Kota, ibaratnya, adalah gula yang
mengundang para semut (penduduk pedesaan dan pinggiran) untuk beramai-ramai
mengerubunginya. Mereka berjudi mengadu-nasib, membangun mimpi tentang
kehidupan yang lebih baik di kota yang menjadi pusat perdagangan, industri, dan
jasa. Tetapi, seperti juga sudah ditunjukkan oleh banyak sekali studi
empiris, mayoritas penduduk pedesaan yang bermigrasi ke kota ini gagal
mengisi peluang-peluang kerja formal yang tersedia di kota. Akhirnya mereka
terlempar ke sektor informal yang tidak ada jaminan keselamatan kerja, karir,
dan tingkat upah yang tetap. Sebagian dari mereka yang tidak tertampung di
sektor informal ini pada akhirnya terjatuh ke dunia ‘hitam,’ menjadi preman
atau penjahat kambuhan.
Karena
bekerja di sektor informal, maka mereka otomatis tak bisa menyewa rumah dengan
kualitas yang memadai, tidak mampu membeli tanah, sehingga tak ada pilihan lain
kecuali menduduki sembarang tempat kosong yang ada di Jakarta: di pinggir
sungai, di bantaran waduk, di bawah jembatan, di kolong jalan tol, dsb. Di sisi
lain, banjir manusia ini tidak mampu lagi ditampung oleh daya dukung lahan dan
ruang yang tersedia di kota. Bukan hanya mereka menduduki lahan kosong, tapi
juga membangun pemukiman kumuh di atas lahan tersebut. Dan karena menduduki
tanah-tanah yang bukan ‘miliknya’ itu maka mereka seringkali menjadi korban
penggusuran dengan kekerasan, pemerasan, maupun intimidasi dari pejabat
pemerintah yang menjadi kaki-tangan para kapitalis. Jadi para korban
pembangunan ini, yang terusir dari desanya, kemudian di kota juga menjadi korban
dari hukum formal yang ada.
Dengan demikian, kalau kita
bicara urbanisasi dalam perspektif historis seperti ini, maka kita mesti
menempatkan para migran itu sebagai korban, yang hak-haknya mesti dilindungi
dan dipulihkan. Bukan mengkriminalisasi mereka karena telah
menjarah atau menduduki tanah yang bukan haknya. Kita tidak bisa semena-mena
menggunakan hukum formal kepada mereka, karena hukum formal itu tegak di atas
sebuah sistem sosial yang timpang, diskriminatif, dan rasis. Dengan kata lain,
kalau kita gunakan hukum formal semata, maka kita sebenarnya tengah mengekalkan
sistem sosial yang timpang, diskriminatif, dan rasis tersebut. Ini jelas
bertentangan dengan tujuan bahwa kita ingin memberdayakan mereka.
Lantas,
apakah penduduk di bantaran Waduk Pluit itu tak usah dipindahkan karena mereka
adalah ‘korban pembangunan?’ Saya tidak ingin mengatakan demikian. Membiarkan
penduduk hidup di tempat-tempat kumuh, tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan
yang baik tentu saja merupakan pelanggaran HAM yang serius. Tetapi, mengatakan
penduduk tersebut melakukan pelanggaran HAM karena menduduki tanah negara, juga
tidak benar. Sebab, sekali lagi, mereka ada di sana, menduduki tanah-tanah
kosong itu sebagai akibat dari kebijakan negara yang salah di masa lalu.
Apa yang
ingin saya kemukakan di sini, baik Jokowi-Ahok dan Komnas HAM harus sama-sama
menyadari bahwa ada persoalan struktural dan kultural yang begitu besar dan
rumit yang mereka hadapi ketika hendak memperbaiki Jakarta dan penduduknya saat
ini. Dalam kasus bantaran Waduk Pluit ini, mereka harus menempatkan HAM dalam
konteks ini, bukan dengan merapal teks-teks HAM dari buku atau hukum-hukum
positif yang ada. Hambatan struktural dan kultural ini merupakan warisan dari
sistem pembangunan kapitalistik yang dilakukan oleh rezim Orba. Dan sistem
kapitalisme yang berbentuk neoliberal saat ini, masih menjadi model acuan
pembangunan nasional. Dalam model ini, Jakarta hanya merupakan salah satu bab
darinya. Dengan demikian, jika Jokowi-Ahok tetap mengunakan model pembangunan
yang meniru ‘jalan menuju kemakmuran’ yang telah dicapai oleh negara-negara
maju sekarang, maka keduanya pasti akan gagal. Atau, paling tidak, program
Jakarta Baru mereka akan menelan ‘korban manusia’ yang sangat mahal.
Adakah jalan keluar? Tidak
ada resep yang cespleng. Tapi baiklah saya
ingin memaknai slogan ‘Jakarta Baru’ ini dengan positif, dan juga melihat
beberapa program positif yang dilakukan oleh pasangan Jokowi-Ahok. Menurut
saya, jika keduanya ingin program-programnya sukses, maka jalan terbaik adalah
‘semakin memperkuat kerjasama politiknya dengan rakyat.’ Jangan berharap bahwa
tanpa dukungan rakyat, program kalian akan berjalan mulus. Jokowi, terutama
Ahok, jangan bermimpi bahwa hambatan struktural dan kultural itu bisa
mereka hadapi hanya dengan bersandar pada aparatus rezim lama. Tidak pernah ada
sejarah dimana program-program populis berlangsung mulus tanpa dukungan rakyat
yang kuat. Dan dukungan rakyat itu harus dibangun dan diorganisasikan, karena
itulah kelemahan utama rakyat saat ini: tidak punya organisasi yang mandiri
dan kuat. Kasus Anggaran Partisipatif di Porto Alegre, Brazil, bisa
dijadikan contoh. Program Anggaran Partisipatif itu sukses dan diakui, termasuk
oleh Bank Dunia, karena adanya dukungan luas dan kuat dari rakyat bawah yang
selama itu terpinggirkan dari proses pembangunan. Tetapi, ketika program yang
sama diterapkan di negara lain, misalnya, di kota Montevideo, Uruguai, program
ini tidak berjalan mulus. Sebabnya, karena yang diadopsi hanya aspek teknisnya
saja, sementara aspek partisipasi warga dihilangkan.
Sebaliknya,
rakyat juga mesti sadar bahwa Jokowi-Ahok tidak bisa diharapkan terus berpihak
pada kepentingan mereka. Jalan terbaik untuk memastikan bahwa Jokowi-Ahok tetap
setia pada janji-janji politiknya, adalah rakyat sendiri mesti mengorganisir
dirinya dengan baik. Yang saya bayangkan, warga di bantaran Waduk Pluit,
misalnya, sudah harus mulai mengorganisir dirinya, kemudian membangun
organisasi yang mandiri, belajar membangun tradisi demokrasi dalam organisasi tersebut,
dan belajar merumuskan masalah dan menentukan program-program kerja yang
terukur. Dengan begitu, mereka bisa datang atau meminta Pemprov DKI, untuk
berdialog dengan lebih jelas dan tepat apa yang menjadi kehendaknya. Jika
hanya mengharapkan terus kebaikan hati dari Jokowi, tapi tidak mau
mengorganisir diri, itu sama artinya menyiapkan diri untuk menjadi korban dari
kebijakan Jokowi-Ahok yang belum tentu berpihak pada kepentingannya.
Kasus bantaran Waduk Pluit
seharusnya memberi pelajaran berharga pada kedua belah pihak, Jokowi-Ahok dan
warga Jakarta, kini saatnya membangun kerjasama politik yang lebih baik, secara
organisasional dan programatik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar