|
KOMPAS, 29 Mei 2013
Kita akan menyaksikan babak baru perjuangan
tanah-air masyarakat adat di Indonesia.
Sejak 16 Mei 2013, hutan adat bukan lagi
bagian dari kawasan hutan negara yang berada di bawah penguasaan Kementerian
Kehutanan, tetapi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan demikian dalam perkara Nomor
35/PUU-X/2012 berkenaan dengan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
bersama dua anggotanya, yakni Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu
dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu.
Mereka memohon pengujian Pasal 1 Ayat (6)—dan
beberapa pasal lain—dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan
demikian, MK telah menjalankan tugas dalam menanggapi secara positif perjuangan
tanah-air masyarakat adat.
Kita belum sanggup memberi tempat memadai
pada pesan utama Mr Muhammad Yamin untuk menjaga ”... kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata
negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun lalu, dapat
diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Jawa, 700
nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di
Borneo, di tanah Bugis, Ambon, Minahasa, dan sebagainya.” Pandangan Yamin
tersebut ikut menginspirasi rumusan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen
(Hedar Laujeng, 2012).
Kenyataan pahitlah yang dialami masyarakat
adat Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Negara hadir dan berpengaruh pada
kehidupan rakyat di pelosok dan wilayah-wilayah pedesaan, pedalaman, dan
pesisir melalui paksaan dan rekayasa sosial. Termasuk dengan menghadirkan
konsesi tanah, pertambangan, perkebunan, dan kehutanan yang dikuasai
perusahaan-perusahaan raksasa. Juga taman-taman nasional. Bentuk-bentuk lain
yang menyertai semua itu adalah penggusuran dari wilayah hidup mereka dengan
proyek-proyek permukiman kembali.
Masyarakat adat memiliki karakteristik khusus
sebagai empunya wilayah adat dengan beragam karakteristiknya. Mulai dari yang
menempati wilayah pedesaan, pedalaman, hingga pesisir; baik di dataran rendah
maupun dataran tinggi; dalam lanskap hutan belantara hingga padang rumput
savana.
Keragaman wilayah itu juga memengaruhi
penghidupan mereka, mulai dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan, bertani
dan berladang, hingga bertani menetap dengan mengerjakan sawah. Tidak adanya
pengakuan hak atas wilayah adat ini merupakan masalah kronis meskipun sejak
masa Reformasi sudah ada penegasan hak itu dalam UUD 1945 Pasal 18b Ayat (2).
Perjuangan keadilan
AMAN mengartikulasikan secara jelas tuntutan
tersebut dalam motonya terdahulu, ”Kalau
negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara”.
Tidaklah sulit untuk memahami, perjuangan
yang diusung AMAN merupakan perjuangan keadilan sosial. Perjuangan keadilan
sosial ini bukan cuma satu wajah, kita perlu pula mempertimbangkan
bentuk-bentuk perjuangan sehubungan perbedaan kelas di dalam masyarakat adat.
Di AMAN saat ini ada perjuangan
kelompok-kelompok perempuan adat untuk mengedepankan keadilan jender. Mereka
percaya perjuangan keadilan sosial masyarakat adat itu berwajah aneka ragam dan
berjenis kelamin dan tidak hanya wajah laki-laki. Mama Aleta Baum dari wilayah
Molo, Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT—yang baru-baru ini meraih penghargaan
Goldman Environmental Prize 2013—telah
menunjukkan jalan bagaimana perempuan pemimpin adat secara konkret
memperjuangan keadilan sosial itu.
Selain mengusung perjuangan untuk keadilan
sosial, AMAN juga mengusung perjuangan kewarganegaraan masyarakat adat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni pengakuan nyata atas eksistensi
masyarakat adat dan hak atas wilayah adat akan membuatnya dapat menikmati
hak-hak lain.
Sesungguhnya, tantangan terbesar saat ini
adalah meralat kebijakan-kebijakan penyangkalan atas eksistensi masyarakat adat
beserta hak atas wilayah adatnya. MK telah memulai ralat itu. Agenda berikutnya
adalah bagaimana badan-badan pemerintah pusat dan DPR melanjutkan keputusan MK
itu. Adakah kesediaan kita, terutama para pejabat pemerintah dan DPR/DPRD,
untuk menyadari kekeliruan dan mengaudit kebijakan dan praktik kelembagaan yang
keliru itu?
Syarat keberhasilan dari ralat tersebut
adalah kesediaan penyelenggara pemerintahan untuk secara penuh membuat ruang
partisipasi sekaligus membuat proses belajar dalam meralat kebijakan
penyangkalan menjadi kebijakan pengakuan dan pemulihan yang memadai. Dalam
konteks ini, akankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat pernyataan
permintaan maaf sebagaimana diharapkan Abdon Nababan selaku Sekretaris Jenderal
AMAN? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar