|
SUARA KARYA, 29 Mei 2013
Belakangan ini, wacana
tentang sosok dan masalah kaum miskin serta kemiskinan mencuat ke permukaan.
Ini bertalian dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM sekaligus
mengurangi subsidi yang selama ini dirasakan memberatkan APBN. Kenaikan harga
BBM, ibarat bola salju yang terus menggelinding dan membawa serta naiknya harga
segala kebutuhan hidup.
Maka, kaum miskin yang
berpendapatan sangat minim akan sulit menjangkau harga barang-barang kebutuhan
hidup yang terus naik. Karena itu, salah satu cara untuk meringankan beban kaum
miskin adalah merelokasikan dana hasil pengurangan subsidi BBM itu kepada kaum
miskin. Persoalan yang kerap dikemukakan sehubungan dengan relokasi subsidi BBM
adalah apakah tepat sasaran pendistribusiannya?
Menurut beberapa pengamat, jika
mekanisme distribusinya seperti yang kerap ditawarkan pemerintah
selama ini,
maka dapat dipastikan bahwa distribusi subsidi BBM akan meleset. Karena,
sasaran distribusi BBM adalah sepertiga dari kelompok miskin, sedangkan
informasi yang ada tidak mungkin benar-benar objektif. Data yang ada di Badan
Pusat Statistik (BPS) dan BKKBN atau Bappenas, lebih bersifat seperti sensus,
padahal orang-orang miskin yang layak mendapat dana kompensasi BBM belum tentu
semua terdata secara akurat sesuai keadaan kaum miskin yang sebenarnya.
Selain itu, kriteria
kaum miskin yang dijadikan contoh
sample data bersifat kuantitatif, baik dari konsumsi kalori
maupun kepemilikan harta benda lainnya, meski sangat membantu dalam berbagai
perhitungan dan estimasi, tetapi tidak bermanfaat dalam menentukan sasaran
program. Apalagi, pemerintah juga tidak transparan mengajukan kriteria
kemiskinan yang seyogyanya digunakan, apakah kriteria berdasarkan ukuran yang
bersifat lokal spesifik dalam koridor otonomi daerah, atau secara nasional,
atau kriteria kemiskinan yang harus dibaca dalam konteks kemiskinan di dunia
saat ini, di mana sekitar 1 miliar manusia dikategorikan extreme poor.
Tetapi, satu hal yang
perlu dikatakan bahwa apa pun sample data dan metode sampling, semua itu tidak
bisa dipakai untuk melakukan upaya menarik orang keluar dari belenggu
kemiskinan, apalagi mengentaskan kemiskinan. Untuk membantu orang untuk dapat
keluar dari belenggu kemiskinan secara permanen, atau mengentaskan kemiskinan,
perlu diketahui terlebih dahulu penyebab kemiskinannya.
Jika kita ingin
menentukan sasaran program serta upaya untuk mengentaskan kemiskinan yang
dimaksud, maka pertanyaannya, siapakah orang yang kita sebut miskin? Mengapa
mereka miskin? Apa itu kemiskinan? Yang kita butuhkan adalah penjelasan
sosiologis antropologis dan politis, bukan statistik ekonomi semata.
Pertama, orang yang
disebut miskin adalah sekomunitas masyarakat yang karena berbagai faktor
geografis -tempat tinggalnya, adat istiadatnya ataupun karena faktor
sosial-politis tidak mampu berpartisipasi optimal dalam pasar. Kedua, mengapa
mereka miskin? Karena situasi dan kondisi yang dijelaskan di atas memungkinkan
mereka untuk tidak terlayani dengan baik karena tidak adanya mekanisme dan
mesin pemerintah untuk membawa program-programnya kepada mereka. Sehingga,
kemiskinan mereka bisa diartikan baik secara ekonomis, sosiologis antropologis
maupun politis.
Kemiskinan secara
ekonomi, artinya tidak punya kebutuhan dasar yang cukup (sandang, papan dan
pangan). Secara sosiologis, artinya tidak punya status sosial dalam strata
sosial yang dihormati dalam struktur masyarakat, bahkan tidak dihiraukan dalam
korelasi sosial dalam bermasyarakat. Secara politis, artinya tidak punya hak
dan kebebasan dalam berpolitik, khususnya dalam bersuara apalagi dalam hal
pengambilan keputusan politik. Jadi, semua bentuk kemiskinan itu bukan
merupakan akibat kemalasan dan kebodohan semata, melainkan akibat
strukturalisasi proses-proses ekonomi, politik dan sosial. Kemiskinan di
Indonesia ini, bukan hanya bervariasi dalam kondisri geografis dan ekonomisnya,
tetapi dalam korelasi sosial dan politik itu.
Akibat dari itu adalah,
indikator kemiskinan tidak bisa hanya ditetapkan pada tingkat apalagi dalam
konteks kemiskinan dunia dan diberlakukan secara umum. Contoh klasiknya adalah
salah indikator kemiskinan yang pernah dipakai pemerintah untuk menentukan
penerima dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada tahun-tahun sebelumnya yaitu
"lantai rumah terbuat dari tanah", petani garapan dan nelayan miskin.
Indikator yang bias perkotaan ini tidak dipakai untuk mengukur kemiskinan di banyak
daerah pedesaan di mana banyak penduduk yang rumahnya berlantai tanah, tetapi
mempunyai ternak dan lahan pertanian yang cukup. Jadi, yang namanya indikator
kemiskinan dan indikator spesifik lokal yang sesuai dengan fenomena kemiskinan
di masing-masing daerah.
Untuk mencapai sasaran
itu, perlu dilakukan pendekatan kemiskinan secara desentralisasi dan cermat.
Ini untuk menghindari ketidakakuratan dan dengan pertimbangan yang tidak
objektif. Pendataan yang dilakukan yang secara sentralistis yang selama ini
dipercayakan kepada lembaga-lembaga nasional seperti BPS, BKKBN, Bappenas,
harus dikembalikan kepada daerah masing-masing. Karena, pendataan itu bukan
semata-mata untuk mengidentifikasi keberadaan kaum miskin, tetapi terutama
untuk mengetahui penyebab kemiskinan dan menemukan cara-cara pengentasan yang
tepat.
Memang, ada
kekhawatiran tentang adanya ketidakjujuran yang ditujukan kepada pemda dalam
hal pendataan itu; entah lewat penggelembungan data atau KKN, sehingga sasaran
yang diharapkan objektif dan akurat tidak juga tercapai. Tetapi, meski ada
kekhawatiran itu, desentralisasi pendataan masih lebih baik, lebih objektif dan
lebih kena sasaran. Hanya saja, yang diperlukan di sini adalah adanya mekanisme
kontrol dari pusat dan dilakukan dengan tanggung jawab moral yang tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar