|
SINAR HARAPAN, 28 Mei 2013
Siak adalah
salah satu bentuk ironi Indonesia. Sebagai salah satu kabupaten yang lahir
setelah reformasi di Provinsi Riau, Siak mendapat berkah sekaligus kutukan dari
pengelolaan potensi daerah.
Pada
1999 Kabupaten Siak berdiri dan berpisah dari kabupaten induk, Bengkalis melalui
UU No 55/1999. Bengkalis dimekarkan menjadi beberapa kabupaten lain, seperti
Rokan Hilir, Dumai, dan Kepulauan Meranti.Meskipun demikian, sejarah Siak bisa
dikatakan lebih besar dibandingkan Bengkalis bahkan Riau.
Pada abad
18, Siak adalah kerajaan regional yang kuat dan menguasai kesultanan Deli,
Langkat, dan Serdang.
Kendali
atas kayu memungkinkan elite di Siak memiliki manfaat langsung dari rekan
perdagangan mereka di Melaka atau Penang, karena pada masa itu kedua daerah
tersebut telah menjadi pusat perdagangan bebas internasional untuk
produk-produk Sumatera, yaitu rempah-rempah dan kayu (Anthony Reid, 2012). Pada abad 18, hanya ada dua kerajaan Islam
Melayu yang kuat: Aceh di utara dan Siak di selatan.
Di
era modern dan otonomi daerah, meskipun Siak menjadi kabupaten ketiga terkaya
dari segi APBD di Riau (Rp 2,3 triliun), tidak banyak membantu kesejahteraan
masyarakat. Beberapa praktik buruk terkait manajemen pemerintahan dan
lingkungan telah menyebabkan kejayaan di masa lalu seperti terkikis-habis di
masa sekarang.
Korupsi
telah mewabah dan merusak sendi-sendi pemerintahan dan kehidupan sosial.
Demikian pula eksploitasi hutan dan sumber daya alam, bukan hanya semakin
memiskinkan, tapi juga memberikan kebangkrutan kultural dan konflik sosial.
Kaya
tapi Miskin
Inilah
sebagian fakta yang saya temui ketika melakukan pemetaan sosial di Siak
beberapa waktu lalu. Politik ekonomi skala global yang telah terjadi di daerah
ini telah melahirkan komplikasi pembangunan dan kesejahteraan.
Sebenarnya
bukan hanya Siak yang menghadapi masalah ini, hampir semua daerah kaya di
Indonesia mengalami enigma pembangunan seperti itu. Bisnis ekstraktif dan
eksploitatif lingkungan lebih sering meninggalkan masalah sosial dan ekonomi
dan lebih sulit diurai dibandingkan daerah yang memiliki potensi sumber daya
alam minim.
Sejak
70-an, Riau telah menjadi ajang investasi migas skala global dengan beragam
perusahaan seperti Caltex, Chevron, Kondur Petroleum, Medco, termasuk juga kayu
dan sawit (Indakiat, RAPP, Palma, dll). Dari atas dan dalam bumi tanah Melayu
Riau diekonomisasi.
Pada
era 70-an, Riau menjadi produsen migas terbesar untuk Indonesia. Lebih 50
persen produksi migas nasional hanya berasal dari satu provinsi ini. Riau juga
menyumbang APBN sebesar 12 persen hanya dari migas (Mubyarto, Riau dalam Kancah
Perubahan Ekonomi Global, 1992). Yang sangat kontradiktif, di tahun 2012 jumlah
penduduk miskin di Riau - menurut Badan Pusat Statistik (BPS)- masih 481.000
atau 8,05 persen.
Dari
sini terlihat limpahan kekayaan alam tidak berhasil menanggulangi kemiskinan.
Bahkan, sebenarnya angka riil penduduk miskin bisa jadi jauh lebih besar
dibandingkan data BPS. Indikator tentang kemiskinan dari lembaga pemerintah itu
telah lama ditolak pengamat ekonomi karena politisasi asumsi yang digunakan
yang cenderung mengecilkan (Sritua Arief,
1993).
Daerah
kaya sumber daya alam sering terkena kutukan miskin sumber daya manusia. Ini
dapat juga dilihat dari indeks pembangunan manusia dan angka kemiskinan daerah
seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua/Barat yang tertinggal dari
provinsi lain di Indonesia.
Masyarakat
di daerah kaya migas malah menjadi miskin-papa. Daerah-daerah kaya di Indonesia
ini kerap distigmaisasi secara negatif oleh pusat seperti “daerah pembangkang”
yang patut dihukum, melalui politik anggaran dan operasi militer.
Di
era otonomi daerah, demokrasi lokal ternyata tidak juga mampu memandirikan
proyek pembangunan (self-government)
dan membuka peluang lebih besar pada kebahagiaan masyarakatnya.
Demokrasi
Pecah, Integrasi Meletus
Jika
dunia memuji perkembangan demokrasi di Indonesia dan kalangan usahawan global
menyebut negeri ini lebih prospektif dibandingkan Amerika Serikat, Brasil,
India, dan Eropa untuk berinvestasi, sebenarnya kita dibawa pada cermin
apresiasi semu.
Meski
secara makro pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kedua terbaik di Asia setelah
China, kaki-kaki kokoh ekonomi itu sebagian besar dikuasai asing. Jika dilihat
blok-blok investasi di Indonesia maka tertampang jejaring tanpa putus dari Aceh
sampai Papua yang dikuasai asing, atau perusahaan nasional bermental
kapitalistik.
Seperti
diketahui, korporasi selalu menghendaki keuntungan maksimal dengan derita
minimal. Watak ekonomi yang bertumpu pada akumulasi modal, produksi, manufaktur
dan melulu mengejar keuntungan jelas bertentangan dengan konstitusi bangsa yang
mempertimbangkan kepentingan publik dan keadilan sosial.
Keberadaan
UU No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal dan UU No 40 Tahun 2007 tentang
perseroan terbatas adalah jembatan bagi celah ketidakadilan investasi bagi
masyarakat melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
Sayangnya
dalam praktiknya program bantuan itu terlihat artifisial karena hanya menjadi
momentum pamer sedekah (charity) dan
belum meng-humanisasi dan insentif pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainability) dari perusahaan.
Kesalahan
tidak dapat dikatakan ada di tingkat lokal semata – dengan dalih demokrasi
lokal, karena secara politik tetap tergantung pada niat pemimpin nasional. Jika
pemimpin nasional tidak memiliki jiwa nasionalisme yang kuat, kita akan
disajikan Indonesia seperti nusantara di masa lalu yang dikuasai imperialisme
asing.
Tiga
siklus demokrasi di era reformasi telah memberikan banyak pelajaran bagi kita.
Era Gus Dur adalah transisi demokrasi ideal. Sialnya terinterupsi oleh labilnya
watak demokrat-demokrat tanggung yang baru muncul saat itu.
Era
Megawati adalah proses trial and error dalam menjalankan demokrasi. Era
pemerintahan SBY sebenarnya dapat dikatakan berhasil memberikan kemajuan
berarti, terutama kemampuan bertahan di dua periode kekuasaan, lebih ramah dan
akomodatif dengan kepentingan politik dan non-militeristik. Namun, libido
menswastanisasi hajat hidup orang banyak sayangnya masih terus terjadi tanpa
terkendali.
Kepemimpinan
2014 jelas menuntut sosok yang bisa mengembalikan jiwa dan karakter bangsa ini
sebagai bangsa merdeka par excellence.
Tidak harus anti-asing untuk mencari pemimpin yang lebih sensitif mendengar
lenguh-sakit rakyat yang tersingkir dari sirkuit mega-korporasi, baik nasional
atau transnasional.
Pemimpin
ke depan harus memiliki visi yang jelas dalam memperbaiki demokrasi,
menyelamatkan ekonomi kerakyatan dan melindungi bangsa dari serangan predatoris
asing. Kita tak perlu presiden rupawan dan bergelar PhD kalau hanya menjadi
jongos berjongkok-jongkok takzim ke lembaga ekonomi dunia dan sukarela
menggadaikan Indonesia bak perusahaan sekarat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar